STRATEGI PERTUMBUHAN GEREJA MENURUT KITAB KISAH PARA RASUL

 

Photo by: Pixabay

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Prinsip yang fundamental bagi semua kehidupan adalah bahwa organisme hidup itu bertumbuh. Pertumbuhan itu alamiah, sebagai pernyataan kehidupan yang spontan. Satu-satunya cara yang menghentikan pertumbuhan adalah penyakit atau kematian. Prinsip ini juga berlaku untuk gereja. Karena, gereja merupakan sebuah organisasi dan sebagai orgnisme hidup, bukan mati.[1] Sebab itu tidak ada pilihan lain selain bertumbuh. Jika sebuah gereja sehat, dipastikan akan mengalami pertumbuhan. Kesehatan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan. Berkaitan dengan ini, Rick Warren berkata, “Gereja adalah organisme yang hidup, dan semua yang hidup secara alamiah bertumbuh. Tugas kita adalah menyingkirkan rintangan yang menghalangi pertumbuhan. Gereja-gereja yang sehat tidak memerlukan taktik untuk bertumbuh, mereka bertumbuh secara wajar.[2]

Christian A. Schwarz berkata, “Gereja punya potensi pertumbuhan dengan dirinya dan potensi ini adalah pemberian dari Allah”[3] Hal ini berarti, sebagai organisme, gereja ibarat makhluk hidup yang mempunyai kehidupan dan mempunyai kemampuan untuk pertumbuhan secara alamiah, bahkan pertumbuhan alamiah ini bukan sesuatu upaya pertumbuhan yang dapat dilakukan oleh kemampuan manusia. Dengan kata lain, pertumbuhan gereja alamiah adalah kemampuan gereja sebagai organisme hidup, yang mempunyai kemampuan atau potensi untuk bertumbuh. Pertumbuhan ini tidak dapat dilakukan oleh manusia. Potensi pertumbuhan gereja adalah anugerah yang diberikan oleh Allah bagi semua gereja-Nya.[4]

Peristiwa pencurahan Roh Kudus pada Hari Raya Pentakosta di Yerusalem menjadi cikal bakal terbentuknya gereja. Oleh dorongan Roh Kudus, dengan beraninya Petrus berkhotbah dan mempertobatkan ribuan orang percaya baru – hingga akhirnya terbentuk menjadi jemaat Kristen (Gereja). Selanjutnya, dengan jelas Alkitab mencatat dalam Kitab Kisah Para Rasul bagaimana jemaat mula-mula itu bertumbuh dengan pesat – baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Padahal pada saat di Yerusalem justru sedang dipenuhi oleh orang dan penganut Yahudi yang datang dari berbagai wilayah Kekaisaran Romawi.[5] Para penganut agama Yahudi, yang bertahan itu memperlihatkan sikap resistensi bahkan permusuhan terhadap orang-orang percaya tersebut.

Pertumbuhan dalam jemaat mula-mula ini tidak terlepas daripada peranan Roh Kudus dan merupakan inisiatif Allah dalam melakukan kehendak-Nya. Oleh karena itu, setiap anggota jemaat mengetahui prinsip-prinsip pertumbuhan gereja berdasarkan Firman Tuhan. Kitab Kisah Para Rasul adalah salah satu kitab yang cukup banyak memuat sejarah pertumbuhan gereja mula-mula. Oleh sebab itu, kitab tersebut tentu juga menjelaskan prinsip-prinsip pertumbuhan gereja yang dapat diimplementasi bagi gereja masa kini.

Jika dibandingkan dengan kondisi gereja-gereja yang ada di Indonesia sekarang ini, maka akan terlihat perbedaan yang signifikan. Pertumbuhan gereja-gereja di Indonesia secara kuantitas dapat dilihat dengan semakin banyaknya jumlah gereja, namun jumlah jemaat mengalami peningkatan yang lambat. Dengan kata lain, banyaknya perpindahan jemaat dari satu gereja lama ke gereja yang baru. Di sisi lain, banyak pula orang percaya yang baru yang belum menjadi anggota tetap gereja dan terlibat dalam gereja. Dalam melihat hal ini maka gereja seharusnya kembali kepada panggilan awalnya, khususnya gereja-gereja yang ada di Indonesia yang juga mulai terikut dengan pemahaman pemahaman yang keluar dari panggilan Ilahi-nya dan bukan hanya itu saja. Gereja di Indonesia juga mengalami banyak tantangan seperti penganiayaan dan rasa minoritas yang membuat gereja seolah-olah tidak bisa bangkit menjalankan panggilannya. Tetapi jika diteliti lebih lanjut kembali, maka akan terlihat beberapa permasalahan yang ada, dengan kaitannya masalah pertumbuhan tersebut.

Pertama, gereja kurang memaknai pertumbuhan jemaat dengan pola hidup jemaat mula-mula. Hal ini disebabkan pola hidup yang diterapkan jemaat muila-mula sangat mengena dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga jumlah mereka semakin bertambah dan mereka juga semakin disukai oleh banyak orang. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada zaman Kisah Para rasul terjadi kesenjangan sosial yang luar biasa antara tuan-tuan dengan para hamba, golongan atas dengan golongan bawah ada pembatas.[6]

Kedua, banyaknya warga jemaat sekarang yang kurang memahami bagaimana pentingnya bertekun dalam pengajar yang disampaikan oleh pemimpin rohani gereja. Hal ini semakin di perparah dengan adanya gereja-gereja yang “menina-bobo-kan” jemaat dengan khotbah-khotbah yang membicarakan masalah berkat. Beberapa gereja sudah jarang berkhotbah pengajaran, khotbah yang menegur, sehingga tidaklah mengherankan apabila banyak jemaat sekarang ini tidak terlalu suka lagi dengan khotbah-khotbah yang bersifat pengajaran melainkan lebih suka mendengar khotbah yang berbicara tentang janji berkat Tuhan. Hal ini jelas sangat berpengaruh kepada pola hidup jemaat. Yang lebih ironis lagi ketika menerima firman yang agak keras atau menegur, lalu begitu gampangnya jemaat sekarang ini menolak dengan cara protes kepada gembala atau dengan cara memilih pindah gereja. Akibatnya sesama gereja saling bersinggungan satu dengan yang lain. Oleh karena itu penulis melihat hal ini menjadi sebuah permasalahan serius yang perlu diperhatikan dan dipikirkan sebuah solusinya. Sebab itu pentingnya memberikan sebuah pemahaman melalui penulisan ini tentang pola hidup jemaat mula-mula yang memiliki ketekunan dalam pengajaran.

Ketiga, Bahwa warga jemaat dalam gereja sekarang ini tidak lagi memaknai kesatuan karena cenderung mementingkan diri sendiri. Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang relasi antara jemaat satu dengan jemaat yang lain. Perubahan di dalam dunia kekristenan dan kesibukan yang semakin padat yang dihadapi oleh jemaat, membuat mereka tidak memberikan perhatian kepada saudara seiman dalam satu persekutuan.[7] Sikap individualis ini menunjukkan tidak adanya kesatuan antara manusia satu dengan yang lain. Jemaat terkadang beribadah untuk menjadikan berkat bagi dirinya sendiri. Keadaan ini tidak mendukung relasi simpati dan empati antara jemaat yang satu dengan yang lain (berjalan sendiri-sendiri). Akibat dari tindakan ini ialah, tidak adanya saling membangun iman dan kesatuan untuk terus bersandar kepada Kristus.

Keempat, Modernisasi. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih maka banyak jemaat yang sudah merasa cukup puas dengan membaca majalah rohani yang mudah didapat baik melalui media massa, ataupun melalui media elektonik. Selain itu masalah waktu sangat mempengaruhi di mana orang Kristen zaman sekarang ini lebih suka kepada hal-hal yang instan, dibandingkan dengan pergi ke gereja untuk mengikuti PA (Pendalaman Alkitab) dan pembinaan rohani lainnya. Persekutuan dalam jemaat menjadi menurun, seharusnya modernisasi memudahkan untuk bisa bersekutu dan mempererat persatuan, namun dengan adanya hal ini, menjauhkan setiap pribadi untuk bisa saling tolong menolong. Terkadang jemaat dengan adanya modernisasi membuat mereka lebih menjauhkan diri mereka dengan jemaat yang lain. Mereka menyibukkan diri dengan hal-hal yang lain bukan saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.

Kelima, Banyaknya jemaat dan pemimpin jemaat sekarang ini merasa puas hanya dengan melihat pertumbuhan kuantitas tanpa menyadari pentingnya pertumbuhan kualitas. Suatu kebanggaan jika terjadi pertambahan dalam jumlah di tengah-tengah pelayanan ataupun gereja. Tetapi seringkali yang terjadi adalah pertumbuhan secara jumlah bukan dalam kualitas iman. Kuantitas bertambah bukan karena kualitas, tetapi pertumbuhan kuantitas itu lebih kepada faktor alamiah saja seperti kelahiran atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Oleh sebab itu kita perlu mengacu kembali kepada kehidupan gereja mula-mula seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 2:41-47,[8] di mana jumlah mereka semakin hari semakin bertambah dan dikatakan mereka disenangi semua orang, sehingga dengan demikian gereja bisa bangkit kembali semakin disenangi orang dan panggilan gereja itu bisa dipenuhi kembali. Hal ini telah diingatkan juga oleh Manati I. Zega yang mengatakan bahwa:

“Agar gereja dapat bertumbuh dengan cara Allah, maka dasarnya harus kembali pada Alkitab. Kisah Para Rasul 2:41-47 memberikan catatan yang luar biasa perihal formulasi suatu jemaat atau gereja yang bertumbuh”.[9]

Maka perlu kembali memperhatikan dan menelaah bagaimana kehidupan gereja mula-mula dan kembali kepada panggilan gereja yang sesungguhnya. Di dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 diberitakan bahwa jemaat yang mula-mula mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Mereka memiliki pola yang sangat luar biasa, pola atau cara hidup mereka antara lain: mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, dalam persekutuan, mereka berkumpul untuk beribadah dalam ibadah mereka melakukan doa dan memecahkan roti. Mereka disukai oleh banyak orang dan jumlah mereka semakin bertambah-tambah.

Berdasar latar belakang masalah di atas, penulis memiliki beban untuk menulis artikel, “STRATEGI PERTUMBUHAN GEREJA BERDASARKAN KITAB KISAH PARA RASUL”.

 

KITAB KISAH PARA RASUL

Penulis Kitab

 Baik Lukas dan Kisah Para Rasul penulisnya tidak diketahui.[10] Dari kata pengantar Lukas, yang mungkin ditulis sebagai pengantar untuk Kitab Lukas maupun Kisah Para Rasul, kita dapat menyimpulkan bahwa penulisnya berpendidikan baik, bukan salah seorang dari kedua belas rasul atau murid Yesus yang mula-mula, namun mungkin merupakan salah satu partisipan dalam peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Penulis mengetahui Perjanjian Lama dari versi Septuaginta Yunani, memiliki pengetahuan yang bagus akan kondisi politik dan ekonomi di pertengahan abad pertama Masehi, dan menaruh perhatian besar akan Rasul Paulus.[11]

Hal-hal lain yang juga menunjukkan karakter historis penulis Kisah Para Rasul antara lain adalah: dia meneliti detil-detil, dia melakukan pekerjaannya dengan teliti (akribos), dan dia menawarkan penuturan yang berurutan (kathexes).[12]

Hal yang lain mengenai penulis kitab Kisah Para Rasul berasal dari ayat-ayat yang menggunakan “kami” dalam kitab tersebut. Ada empat ayat di mana penulis beralih dari menggunakan kata ganti orang ketiga yang biasa digunakannya dengan narasi kata ganti orang pertama jamak. Inilah bukti-bukti internal sejauh yang diceritakan oleh Lukas dan Kisah Para Rasul. Bukti-bukti eksternal menunjukkan Lukas sebagai penulis kedua kitab tersebut, dan hal ini diakui oleh para bapa gereja termasuk Irenaeus, Clement dari Aleksandria, dan Tertulianus.[13]

Posisi Kitab Dalam Perjanjian Baru

Kitab Kisah Para Rasul adalah kitab yang memiliki data historis yang penting, karena kitab ini melanjutkan cerita sejarah mengenai kehidupan para rasul dan pelayanan mereka setelah Yesus naik ke surga. Seperti yang dikatakan William Barclay Kitab Kisah Para Rasul merupakan buku terpenting di dalam Perjanjian Baru. Yang menjadi alasan Barclay adalah, bila generasi sekarang ini tidak memiliki Kitab Kisah Para Rasul, maka akan sangat sulit untuk mendapatkan informasi mengenai Gereja Perdana atau jemaat mula-mula, sekalipun ada informasi dari surat surat Paulus.[14] Demikian juga F.F Bruce mengatakan dalam bukunya bahwa “Kitab Kisah Para  Rasul memberi informasi yang sangat penting yang menjembatani cerita dari Injil kepada surat-surat Paulus”.

“Acts played an indispensable part in relating the two collections to each other. As regards the first collection, Acts forms its general sequel, as it was from the first the proper sequel to one of the four documents in that collection, the third Gospel. As regards the second collection, Acts provides the narrative backgrounds against which the writings of Paul can more readily be understood”.[15]

 Dan hal penting lainnya adalah Kitab Kisah Para Rasul menyajikan dengan jelas dan meyakinkan kevalidan kerasulan Raul Paulus yang ia tulis dalam beberapa suratnya.[16] Sementara menurut J.A Alexander, “kitab Kisah Para Rasul adalah kitab yang ceritanya berkelanjutan, sistematis, dan memiliki satu pokok pikiran”.[17] Hal tersebut diutarakannya untuk melawan beberapa pendapat kritis yang menyatakan bahwa kitab Kisah Para Rasul adalah kitab potogan-potongan dari cerita yang berbeda belaka, koleksi dari cerita yang berdiri sendiri, seri anekdot yang tidak memiliki ketentuan.[18] Seperti yang dikatakan juga oleh William Owen Carver bahwa:

“Acts is the chief source of informations concerning apostolic Christianity in its forms and efforts, and an unfailing spring of inspiration and a constant standart of appeal for method and aim in Christian effort for extending and organizing the work of the kingdom of God”.[19]

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa, Kitab Kisah Para Rasul adalah sumber informasi yang utama dan sangat penting bagi kekristenan dalam mengembangkan Kerajaan Allah.

Tujuan Penulisan Kitab

Tujuan dari penulisan Kitab Kisah Para Rasul tidak jauh berbeda dari tujuan penulisan Injil Lukas untuk memenuhi suatu tujuan yang sama yaitu untuk meneguhkan iman dan memberikan suatu catatan sejarah yang dapat dimengerti tentang pernyataan Allah kepada manusia dalam karya Kristus, baik melalui jalan kehidupan pribadi-Nya maupun melalui gereja-Nya.[20] Berdasarkan Injil Lukas 1:1-4, “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar”. Dengan ungkapan “sungguh benar”, Lukas hendak menyatakan bahwa fakta-fakta dari tulisan yang dikirimkan kepada Teofilus telah ia teliti kebenarannya dan dapat dipercaya oleh si pembaca kitab.[21]

Kitab Kisah Para Rasul bertujuan menyajikan garis besar sejarah gereja mulai dari Yerusalem sampai pada munculnya pahlawan terkemuka yaitu Paulus di ibukota Kerajaan Romawi. Kitab ini melaporkan beberapa khotbah yang disampaikan oleh Petrus, Stefanus, dan Paulus yang menjadi bahan informasi tentang iman gereja mula-mula.[22]

Kitab Kisah Para Rasul dibuka dengan pernyataan dari Yesus yang tampaknya mengatur nada untuk seluruh pekerjaan. Yesus menjanjikan para Rasul bahwa mereka akan menerima kuasa Roh Kudus (lihat 1:8). Kemudian Yesus memberitahu para murid-Nya bahwa mereka akan menjadi saksi di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. Tema ini kemudian dilakukan di sepanjang kitab Kisah Para Rasul. Sebagai saksi bagi Kristus, mereka menyebarkan Injil sampai ke ujung bumi, sehingga gereja mengalami kemajuan dimana-mana. Sementara Kisah Para Rasul menekankan bahwa para rasul menerima kuasa Roh (1:8), juga menekankan bagaimana mereka menggunakan kuasa tersebut. Seperti yang dikatakan Merrill C. Tenney:

“Pada hari Pentakosta, ketika mereka sedang berkumpul di suatu tempat, Roh Kudus turun atas mereka dengan tanda-tanda yang dapat didengar dan dilihat. Mereka berkata-kat dalam bahasa-bahasa yang baru, hingga pendengarnya dapat mengerti karena mereka berbicara dalam bahasa daerah mereka masing-masing tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (2:5-13).[23]

Waktu Dan Tempat Penulisan

Tahun penulisan yang diajukan untuk Kitab Kisah Para Rasul berkisar hampir seabad, dari 62 Masehi, saat terjadinya peristiwa terakhir yang dicatat oleh kitab tersebut, hingga pertengahan abad kedua, saat rujukan terhadap Kitab Kisah Para Rasul ini pertama muncul. Kebanyakan para ahli menempatkan penulisan Kisah Para Rasul pada salah satu di antara tiga tarikh dalam kisaran berikut: 62-70, 80-95, 115-130.[24]

Tempat penulisan Lukas dan Kisah Para Rasul adalah jauh lebih sulit untuk diperkirakan daripada tahun penulisannya, penulisnya, maupun identitas para pembaca mula-mula. Karena penulisnya tersembunyi di balik kitab yang ditulisnya, terdapat sedikit informasi tentang penulisnya maupun di mana ia menuliskan Kisah Para Rasul. Para ahli hanya sepakat bahwa Lukas-Kisah Para Rasul tidak ditulis di Palestina, karena tidak akuratnya penulisan letak geografis mengenai tempat tersebut.[25]

 

PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN GEREJA BERDASARKAN KITAB KISAH PARA RASUL

Bertekun Dalam Pengajaran

Alkitab TB LAI menulis Kisah Para Rasul 2:42 sebagai berikut: Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”. Sedangkan dalam dokumen Stephen 1550 Textus Receptus menulis Kisah Para Rasul 2:42 sebagai berikut:[26]

hsan de proskarterounteV th didach twn apostolwn kai th koinwnia kai th klasei  tou artou kai taiV proseucaiV

Unsur yang penting di dalam ayat ini adalah hadirnya kata kerja (verb) present participle active πποζκαπηεποῦνηερ (proskarterountes). Kata πποζκαπηεποῦνηερ (proskarterountes) dengan akar kata πποζκαπηεπέω (proskartereo) merupakan kata kerja participle present active nominative masculine plural. Dalam pemakaiannya Gingrich menterjemahkannya dengan: adhere to (mematuhi); persist in (bertahan dalam). Sedangkan dalam bentuk dative artinya bisa menjadi: attach one self (bertahan dalam); wait on (Menunggu); be faithfull to (mentaati).[27]

Kegiatan pertama yang kita lihat dalam konteks ayat 42 ini adalah kata didach (didake) yang berarti bertekun dalam pengajaran yang dilakukan oleh para rasul. didach (didake) merupakan kata noun dative feminine singular dari asal kata διδασή yang diterjemahkan sebagai
teaching as activity (kegiatan mengajar), instruction (pengajaran). Kata ini sangat melekat pada orang-orang Yahudi pada masa itu, dimana mereka sangat mendengarkan ajaran para Rabbi, seperti yang di terjemahkan oleh Septuaginta LXX dengan kata “lelammed” yang berarti teaching (mengajar).[28] Di mana pada zaman PL para Rabbi mengajarkan tentang Torah. Namun dalam konteks PB kita dengan jelas bisa melihat khususnya dalam konteks ayat ini, bahwa pengajaran ini berasal dari Allah sama seperti yang Yesus ajarkan kepada murid-murid-Nya dan yang diterima murid-murid langsung dari Yesus. Penggunaan kata
didach (didake) dari bentuk strukturnya menjelaskan bahwa Yesus kristus sendiri adalah sumber pengajaran dari pada rasul-rasul. Yesus bukan hanya sekedar pemberi pesan tetapi Dia adalah pesan itu sendiri.[29]

Lukas menuliskan bahwa para petobat-petobat baru ini bersama-sama dengan murid-murid memberi diri untuk kegiatan yang mereka lakukan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata πποζκαπηεποῦνηερ (proskarterountes), yang berarti mereka mengabdikan diri atau mereka dengan setia berada dalam kumpulan baru tersebut dalam hal Pengajaran Rasul, kata benda pertama didach (didake) memiliki arti bahwa orang-orang Kristen pada masa itu mendengarkan apa saja yang diajarkan oleh para rasul dan dengan tekun mereka mempraktekkan apa yang telah diajarkan oleh para rasul.[30]

Hal ini yang menjadi dasar dalam pengunaan kegiatan yang di lakukan oleh jemaat mula-mula, yang menjelaskan kebiasaan jemaat secara konsisten, terfokus dan terarah pada pengajaran rasul-rasul. Artinya jemaat mula-mula menaklukan diri mereka di bawah kepemimpinan para rasul dan secara konsisten mereka hidup di dalam pengajaran rasuli. Secara harafiah, mereka tekun dan sungguh-sungguh menempatkan diri di dalam pengajaran rasul rasul atau teachable. Di situ Lukas terlihat memakai kata benda didach  gajaran atau pendidikan atau semacam proses belajar dari doktrin kekristenan yang di sampaikan oleh para Rasul.

Apabila direnungkan maka berbeda dengan sebagian gereja modern sekarang ini yang cenderung anti pembelajaran Alkitab yang benar dan mendalam. Gereja mula-mula justru menjadikan pengajaran para rasul sebagai pondasi kekristenan. Fakta bahwa bertekun dalam pengajaran para rasul ini diletakkan di bagian paling awal dari gaya hidup gereja mula-mula, hal ini menyiratkan bahwa keutamaan hidup rohani mereka yang berkembang dan bertumbuh adalah pengajaran para rasul. Rasul-rasul memandang pelayanan firman Tuhan sebagai hal yang penting dalam kehidupan jemaat untuk mengalami pertumbuhan secara rohani.[31]

Para petobat baru (ay.41) adalah orang-orang Yahudi yang secara umum juga sudah mengenal Kitab Suci (Perjanjian Lama). Pencurahan Roh Kudus dan demonstrasi kuasa Allah yang hebat di tengah-tengah mereka tidak membuat mereka mengandalkan diri dalam hal kebenaran dan mengandalkan hal-hal supranatural seperti mimpi, bisikan ilahi, dan penglihatan, tetapi mereka tetap masih membutuhkan tuntunan dari pengajaran para rasul.

Para rasul adalah penerus ajaran Yesus Kristus (Kis. 5:28; 13:12). Mereka adalah saksi mata kehidupan dan pengajaran Kristus (2Ptr. 1:16-17). Mereka menerima ilham dari Allah dan hanya meneruskan apa yang mereka terima dari Tuhan (1Kor. 11:23; 15:3; 1Yoh. 1:1-3). Walaupun situasi  kekristenan terus berubah dan tidak seragam di semua tempat, para rasul menjawab situasi baru ini sesuai dengan ajaran Kristus (cf. Kis. 20:35). Mereka juga tidak lupa menasihatkan rekan pelayanan dan anak rohani mereka untuk meneruskan dengan setia apa yang merka telah ajarkan (2Tim. 2:2; Tit.1:9).

Jemaat mula-mula adalah jemaat yang mengalami pembaharuan dari Roh Kudus dan salah satu tandanya adalah adanya kerinduan dan kehausan untuk tekun belajar firman Tuhan. Pada masa kini, memang para rasul sudah tidak ada lagi, tetapi pengajaran rasul-rasul masih ada yang tertulis di dalam Alkitab. Itu sebabnya sikap hidup seperti ini masih tetap bisa ditiru dan diteladani oleh gereja-gereja saat ini. Apa yang dilakukan jemaat mula-mula bukanlah suatu paksaan dari luar melainkan suatu dorongan dari dalam yang dilakukan dengan sungguh dan sukarela.

Kini ajaran para rasul itu sudah diteruskan kepada kita melalui kitab-kitab Perjanjian Baru. Gereja Tuhan seharusnya bertekun dalam pengajaran firman Tuhan. Khotbah-khotbah ekspositori yang berpusat pada teks Alkitab seharusnya lebih sering diperdengarkan.

Bertekun Dalam Persekutuan Dan Doa

Bukan hanya setia dalam pengajaran mereka juga setia dalam persekutuan dalam bahasa inggris di katakan fellowship yang berarti berkumpul dalam sebuah komunitas namun kalau kita memperhatikan dalam bahasa Yunaninya dikatakan τῇ κοινωνίᾳ (Te Koinonia) lebih kepada berbagi segala sesuatu dengan yang lain. Kehadiran artikel τῇ (te) mengindikasikan bahwa persekutuan ini adalah persekutuan yang khas, yaitu sebuah persekutuan antara sesama orang Yahudi.[32] Meskipun persekutuan mereka diperluas ke dalam bentuk barang-barang material, akan tetapi referensi utamanya harus lebih kepada ide, sikap, tujuan, misi, yang dibagikan oleh orang-orang Kristen pada masa itu.

Kegiatan yang kedua adalah κοινωνίᾳ (koinonia), ini juga merupakan noun dative feminine singular yang mana dalam penggunaannya Gingrich mengartikannya dengan: association (asosiasi/perkumpulan), communion (persatuan), fellowship (persekutuan), close relationship (hubungan yang dekat).[33] Dalam konteks ayat ini ada beberapa kemungkinan pengertian dari koinwni,a seperti halnya merupakan persekutuan dengan para rasul, juga bisa mengacu kepada persekutuan dalam hal kepemilikan seperti pada ayat 44, atau perjamuan kudus.[34] Namun dalam konteks ini lebih mengacu kepada ide, dan sikap dari persekutuan itu sendiri. Di mana dalam persekutuan ini orang-orang percaya bersekutu bukan hanya terhadap rasul dan sesama namun juga merupakan persekutuan dengan Bapa dan anak-Nya Yesus Kristus.[35]

Kekuatan persekutuan itu kemudian dijelaskan di dalam ayat 44-45 sebagai berikut:

panteV de oi pisteuonteV hsan epi to auto kai eicon apanta koina, kai ta kthmata kai taV uparxeiV epipraskon kai diemerizon auta pasin kaqoti an tiV creian eicn yang diterjemahkan dalam versi TB LAI: “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing”.

Jemaat mula-mula bukan hanya memiliki semangat dan ketekunan belajar firman Tuhan, namun semangat yang sama juga dimiliki untuk berkumpul dan bersekutu. Pada umumnya orang-orang Kristen sekarang beranggapan bahwa istilah persekutuan sering diidentikkan dengan persekutuan doa. Sebab di dalam persekutuan di antara jemaat, kegiatan doa tidak pernah terlupakan. Doa menjadi hal yang penting dalam persekutuan. Dengan adanya doa dalam persekutuan, membuat relasi semakin erat, yakni relasi dengan Allah dan relasi dengan sesama.

Kata koinonia dalam Alkitab mengandung arti yang cukup luas. Kata ini dapat merujuk pada bantuan untuk orang lain (Rm. 15:26; 2Kor. 8:4; Flp. 1:5; Ibr. 13:16), keintiman yang khusus dengan Allah atau saudara seiman (1Kor. 1:9; 10:16; 13:13; 1Yoh. 1:3, 6-7), dan kebersamaan dalam tugas yang berbeda (Gal. 2:9). Sebenarnya arti dasar koinonia adalah asosiasi, kemitraan, keintiman, atau berbagi. Persekutuan kita dengan Kristus (1Kor. 10:16) membuat kita terikat dalam persekutuan dengan sesama orang percaya (1Yoh. 1:3).

Dalam  konteks ibadah, seperti yang tersirat dalam suasana di Kisah Para Rasul 2:42-47, persekutuan diwujudkan melalui kebersamaan dan kesatuan dalam ibadah rutin (Kis. 2:46a). Dalam konteks lain, koinonia bisa mencakup pemberian dorongan (Ibr. 10:24), nasihat (Ibr. 10:25), penguatan untuk orang lain melalui mazmur dan pujian rohani (Ef. 5:19a), pengajaran dan teguran (Kol. 3:16), maupun penggunaan karunia rohani untuk kepentingan bersama (1Kor. 12:11; Ef. 4:7-16). Pemberian bantuan material pasti termasuk dalam koinonia (cf. Kis. 2:44-45), tetapi banyak aspek lain yang juga tercakup dalam koinonia. Persekutuan semacam ini tidak mungkin tercapai apabila orang-orang Kristen tidak berani mengambil komitmen untuk berjemaat di gereja lokal tertentu. Kebiasaan berkeliling mencari “makanan sehat” tanpa terikat pada gereja tertentu merupakan tanda kerohanian yang tidak sehat. Kebiasaan tersebut menyiratkan keengganan kita untuk bersekutu dengan sesama orang percaya dalam arti yang sesungguhnya.

Kehidupan persekutuan dengan saudar seiman merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan kekristenan kita selain bersekutu dengan firman Tuhan itu sendiri. Tuhan memberikan komunitas atau saudara-saudara seiman di sekitar kita bukan tanpa maksud. Persekutuan dengan saudara seiman seringkali dipakai Tuhan untuk menguatkan apabila ada yang lemah, menghibur apabila ada yang sedih, mengingatkan apabila ada yang lupa, menegur apabila ada yang salah, memberi apabila ada yang kekurangan, dan sebagainya.

Bertekun Dalam Pemecahan Roti

Kegiatan yang ketiga yang merupakan bagian dari bentuk persekutuan adalah κλάζει ηοῦ ἄπηος (klasei tou artou) yaitu memecahkan roti. Hal memecahkan roti ini lebih kepada perjamuan Tuhan karena masih berada dalam konteks ketekunan mereka dalam pengajaran Rasul. Di dalam ayat 47 sebagai lanjutan ayat 46, dituliskan bahwa perilaku memecahkan roti bersama bukan hanya dengan sukacita dan hati yang murni tetapi sambil memuji Allah. Disitu tertulis:

ainounteV ton qeon kai econteV carin proV olon ton laon o de kurioV prosetiqei touV swzomenouV kaq  hmeran th ekklhsia.

Di awal kalimat ada kata αἰνοῦντες θεὸν (ainountes theon) dari kata ainos dan theo yang artinya mengangkat pujian pada Tuhan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa dorongan untuk bersekutu, berbagi dan memecahkan roti bersama, lahir dari motivasi untuk memuji Tuhan.

Istilah pemecahan roti κλάζει ηοῦ ἄπηος (klasei tou artou) hanya muncul dua kali di Alkitab (Luk. 24:35; Kis. 2:42), walaupun kata kerja memecahkan roti (klao arton) muncul lebih sering (Luk. 22:19; 24:30; Kis. 2:46; 20:7, 11; 27:35). Berdasarkan konteks Kisah Para Rasul 2:42-47 tentang pengajaran, persekutuan, dan pemecahan roti ini jelas menunjuk pada peringatan tentang perjamuan Tuhan (Luk. 22:19; cf. 24:30, 35). Hal ini juga dikuatkan oleh artikel di depan kata rotu (te klasei tou artou) di Kisah Para Rasul 2:42, yang menyirratkan bahwa roti ini merujuk pada raoti Kristus. Praktik pemecahan roti pada gereja mula-mula ini membuktikan ketaatan mereka pada perintah Kristus (1Kor. 11:23-29).

Kehidupan jemaat yang bersekutu dengan firman, bersekutu dengan saudara seiman, dan juga bersekutu secara bersama-sama (dengan Kristus yang adalah Firman Hidup dan saudara seiman) dalam Perjamuan Kudus. Persekutuan yang disebut Union with Christ melalui Perjamuan Kudus membuat mereka senantiasa diingatkan akan penderitaan Kristus yang membuat mereka kuat ketika menghadapi penganiayaan dan kesulitan dalam hidup mereka sebagai orang Kristen.

Pemecahan roti menekankan pada hubungan. “… mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”. Gereja-gereja rumah (Semacam kelompok kecil) adalah ujung tombak dari perkembangan yang luar biasa dari kekristenan pada abad pertama. Dalam kelompok semacam ini tidak ada “penonton” semua adalah “pemain”. Mereka saling berbagi suka, duka, dan beban. Mereka melayani dan dilayani, menghibur dan dihibur, mencukupi dan dicukupi. Gereja kelompok-kelompok kecil di rumah-rumah dan juga ada kelompok yang lebih besar. Gereja Perdana bertemu secara regular di Bait Allah (Kis. 2:46).

Penginjilan

Yesus menghendaki orang percaya, semua gereja Tuhan terlibat dalam penginjilan. Hal ini terlihat jelas dari amanat agung sesaat sebelum Yesus Kristus naik ke sorga, Ia meminta para murid harus menjadi saksi Kristus dari Yerusalem, Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Itu berarti bahwa “Gereja merupakan sebuah badan di bawah pimpinan Kristus untuk membagikan Injil ke seluruh dunia”.[36]

Hal itu juga dilakukan Paulus sebagai rasul dan hamba Allah yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul. Panggilan pengalaman Paulus yang memberikan baginya kekuatan untuk tetap menyaksikan Injil bagi bangsa Yahudi maupun bukan Yahudi. Jadi ketahuilah hai saudara saudara, oleh karena Dialah maka diberitakan kepada kamu pengampunan dosa (Kisah Para Rasul 13:38). Berdasarkan semangat dan keyakinan yang kokoh serta tuntunan dan bimbingan Roh Kudus, Paulus memberitakan Injil Kristus dan bersaksi tentang perbuatan Tuhan kepada pribadi, kepada khalayak ramai, orang-orang Yahudi maupun Yunani dan kepada semua bangsa dalam kehidupannya ketika ia berjumpa dengan Kristus, dengan kesaksian inilah ia memberitakan Yesus Kristus di rumah-rumah ibadat dan mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah (Kisah Para Rasul 9:20).

Penginjilan ini dilakukan secara langsung tanpa ada pengutusan secara resmi dari seseorang ataupun dari suatu lembaga tertentu. Penginjilan seperti ini dilakukan oleh rasul-rasul maupun oleh jemaat secara pribadi dalam gereja lokal. Karena penginjilan (khotbah Petrus), tiga ribu orang yang menjadi percaya (Kisah Para Rasul 2:41). Demikian pula lima ribu orang menjadi percaya setelah mendengar Injil yang diberitakan Petrus di Serambi Salomo (Kisah Para Rasul 4:4). Sejumlah besar imam-imam orang Yahudi menjadi percaya karena Firman Tuhan yang semakin tersebar (Kisah Para Rasul 6:7). Karena pemberitaan Firman Tuhan oleh Filipus di Samaria, banyak orang menjadi percaya (Kisah Para Rasul 8:6).[37]

Tugas dalam pelayanan gereja tanpa terkecuali terpanggil untuk bersaksi dan memberitakan pertobatan dan jalan keselamatan sebagaimana Paulus giat untuk meberitakan Injil kebenaran. Dalam Kisah Para Rasul 17:23 dijelaskan, “Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia bahwa dimana-mana mereka harus semua bertobat”. John Stott mengatakan, “Semua orang Kristen terpanggil sama seperti Yesus Kristus, supaya memberi kesaksian tentang kebenaran, untuk inilah demikian ditambahkan-Nya, Ia lahir dan untuk inilah Ia datang ke dalam dunia (Yohanes 18:37), kebenaran maha tinggi yang menjadi pokok kesaksian kita ialah Yesus Kristus sendiri sebab Dialah kebenaran itu (Yohanes 14:6)”.[38]

 

PENUTUP

Kesimpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jemaat mula-mula di Yerusalem, sebagai cikal bakal gereja, dapat menjadi model (role) bagi pola (pattern) gereja modern, baik secara organisasi terlebih dalam hubungan antar-sesama. Cara hidup jemaat mula-mula seharusnya terlihat di seluruh gereja Tuhan di dunia. Bukan sebaliknya, gereja modern justru menciptakan polanya sendiri yang cirinya seperti dunia. Keserupaan dengan dunia adalah bahaya laten yang akan mengikis eksistensi gereja dan misinya di muka bumi. Gereja sudah seharusnya memperlihatkan kehidupan jemaat yang berakar kuat di dalam firman pengajaran, hidup di dalam persekutuan dan doa, memecahkan roti serta penginjilan, sebagaimana diperlihatkan oleh komunitas orang percaya pertama di Yerusalem. Dengan penerapan pola kehidupan jemasat mula-mula, di era masa kini niscaya pertumbuhan gereja menjadi lebih efektif.

 



[1] Ron Jenson and Jim Stevens, Dynamics of Church Growth (Inggris: Baker Book House Company, 1981), 7.

[2] Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini: Gereja yang mempunyai Visi-Tujuan (Malang: Gandum Mas, 2000), 21-22

[3] Christian Schwarz, Ringkasan Pertumbuhan Gereja Alamiah (Jakarta: Yayasan Media Buana Indonesia, 1999), 34.

[4] Amelia Luise Doeka, Studi Aplikatif Delapan Prinsip Pertumbuhan Gereja Alamiah Ke Dalam Pertumbuhan Gereja GKII Talitakum Makasar (Makasar: Tesis Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2005),8.

[5] Bruce Wilkinson and Kenneth Boa, Talk Thru the Bible, 1 st ed (Malang: Gandum Mas, 2017), 435

[6] Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Terj) (Malang:Gandum Mas, 1997), 41

[7] Makmur Halim, Gereja Di Tengah-Tengah Perubahan Dunia (Malang: Gandum Mas, 2000), 243.

[8] Ellya Duta Makarawung, Sangkar Emas Agama (Jakarta: Spirit Grafindo, 2017), 30-31.

[9] Manati I. Zega, Bertumbuh dengan cara Allah. diambil dari www.glorianet.org. 27 Oktober 2019. Jam 14.25 WIB

[10] Carson, D. A. & Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament, Second Edition (Grand Rapids: Zondervan. AER Edition, 2009), 290.

[11] Ibid.

[12] Thomas Richard P., Luke-Acts: The Gospel of Luke and the Acts of the Apostles,” in David E. Aune (Ed) The Blackwell Companion to the New Testament (Chiester: Wiley-Blackwell, 2010), 321.

[13] Carson, D. A. & Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament, Second Edition, 291.

[14] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Kitab Kisah Para Rasul (Jakarta: Gandum Mas, 1997), 1.

[15] F. F. Bruce, The Book of the ACTS (United Stated of America: WM. B. Eerdmans Publishing Co. 1968), 15-16.

[16] Ibid., 16

[17] J. A. Alexander, Acts (Pennsylvania: Banner of Thruth, 1984), iv.

[18] Ibid., iv

[19] William Owen Carver, The Acts of The Apostles (Tennesse: Broadman Press, 1916), 5.

[20] Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, 284.

[21] William S. Kurz, SJ, 2017

[22] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru Pengantar Historis-Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 275.

[23] Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, 290.

[24] Carson, D. A. & Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament, Second Edition, 296.

[25] Thomas Richard P., Luke-Acts:

[26] Software, BibleWorks 80.0

[27] Software, BibleWorks 80.0

[28] Theological Dictionary of the New Testament (Kittel’s 10 Vol), PC Bible 5

[29] Ibid.

[30] A critical and exegetical commentary on the Acts of Apostles by Barret C. K. 56.

[31] I Ketut Enoh, Prinsip-Prinsip Pertumbuhan Gereja Dalam Kisah Para Rasul (Ujung Pandang: Tesis Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 1991), 63.

[32] L. Constable Thomas, “Notes on Acts, 2007 Edition”. 55.

[33] Software, BibleWorks 80.0

[34] A Critical and Exegetical Commentary on the Act of the Apostles by Barret C. K.

[35] Exegetical Dictionary of the New Testament, PC Bible 5

[36] D. James Kennedy, Ledakan Penginjilan (Jakarta: E.E. International III dan IFTK Jaffray Jakarta, n.d), 8.

[37] Sandrak Mangi, Analisis Penerapan Prinsip-Prinsip Pertumbuhan Gereja Berdasarkan Kisah Para Rasul Di Gereja Kibaid Jemaat Palopo (Ujung Pandang: Skripsi: STFT Jaffray, 1999), 12.

[38] John Stott, Isu-isu Global Menentang Kepemimpinan Kristen (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kaish/OMF, 1994), 97.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "STRATEGI PERTUMBUHAN GEREJA MENURUT KITAB KISAH PARA RASUL"

Posting Komentar