MEMAHAMI GERAKAN OIKUMENE DARI PERSPEKTIF ALKITAB SEBAGAI HARAPAN GEREJA MASA KINI DI INDONESIA UNTUK MENUJU KEESAANYA
Photo by: Pexels
BAB.
I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang Masalah
Gereja
merupakan persekutuan orang percaya, umat pilihan yang dipanggil dan dihimpun
oleh Allah, keluar dari kegelapan menuju kepada Tuhan Yesus Kristus yang adalah
terang dunia. Gereja meliputi semua orang percaya di segala tempat dan waktu. Jadi,
gereja adalah organisasi dan organisme. Eksistensi gereja menjadi nyata dalam
persekutuan, pelayanan dan kesaksian di tengah masyarakat dan negara. Gereja menjadi
persekutuan yang dinamis dan hidup apabila Pribadi dan karya Yesus Kristus
menjadi dasar terbentuk dan hadirnya gereja. Gereja dipanggil dengan tujuan
untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah, yaitu keselamatan melalui Tuhan Yesus
Kristus, kepada seluruh umat manusia. Eksistensi Gereja sebagai alat Tuhan untuk
menyatakan kasih setia Allah yang menjamin kehidupan dan keselamatan manusia.
Sekalipun dalam panggilannya, gereja akan menghadapi pergumulan-pergumula yang
silih berganti untuk maksud Allah tersebut.
Yohanes
17:21 “...supaya mereka semua menjadi
satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar
mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah
mengutus Aku". Kutipan ayat tersebut merupakan penggalan dari doa
Tuhan Yesus untuk gereja. Ayat ini menjadi dasar utama dari gerakan Oikumene
untuk mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia
Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia – PGI, yang awalnya disebut “Dewan Gereja-gereja di
Indonesia” didirikan pada 25 Mei 1950 di Jakarta, sebagai perwujudan dari kerinduan
umat Kristen di Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai Tubuh
Kristus yang terpecah-pecah. Oleh sebab itu, PGI menyatakan visi pembentukannya
adalah “Mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”. PGI terus bergerak
dan anggotanya bertambah. Dimulai dengan beberapa gereja pada awal pembentukan
DGI dan sekarang beranggotakan 91 Sinode Gereja, dengan 27 PGI Wilayah.
Selanjutnya masih banyak lagi gereja-gereja yang berhimpun di aras nasional
lain, seperti PGLII dan PGPI.
Pembentukan satu gereja Kristen yang Esa di Indonesia menjadi tujuan dasar PGI. Tujuan ini telah dicanangkan lebih dari setengah abad yang lalu. Setelah bertahun-tahun gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam PGI berusaha mewujudkan apa yang telah menjadi tujuan dasar tersebut. Dari segi waktu memang sudah cukup panjang, namun tujuan yang dirindukan untuk terwujud sampai sekarang belum kunjung tiba. Apa yang telah berhasil diperbincangkan dan dirumuskan dalam satu anggaran dasar, ternyata tidak mudah untuk diwujudkan dalam realitas. Apabila ditelusuri, ternyata berbagai alasan dapat dikemukakan. Di samping masih terdapat perbedaan pendapat mengenai Oikumene di antara gereja-gereja, juga adanya keengganan dan kebimbangan terhadap motivasi dari gerakan ini. Oleh sebab itu, perlu adanya pengkajian kembali akan makna dari Gerakan Oikumene ini, apakah itu masih relevan untuk masa kini, terlebih lagi apakah itu sesuai dengan Alkitab.
II.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis
merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut; menemukan kembali pemahaman yang
tepat mengenai Gerakan Oikumene berdasarkan perspektif Alkitab
sebagai harapan gereja-gereja masa kini di Indonesia untuk dapat berpikir
secara komprehensif dan bertindak secara tepat hingga terwujudnya kemajuan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana gereja merupakan bagian
dari masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, penulis merumuskan penulisan makalah ini dengan judul; “Memahami Gerakan Oikumene Dari Perspektif Alkitab Sebagai Harapan Gereja Masa Kini Di Indonesia Untuk Menuju Keesaanya”.
III.
Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah yang ditemukan, maka timbullah suatu
kebutuhan penulis untuk masalah tersebut. Sehingga melalui penulisan makalah ini
bertujuan untuk:
menemukan pemahaman yang tepat mengenai Gerakan Oikumene berdasarkan perspektif
Alkitab sebagai harapan gereja-gereja di Indonesia
untuk dapat berpikir secara komprehensif dan bertindak secara tepat hingga
terwujudnya kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
BAB.
II
ISI
I.
Pemahaman
Yang Salah
Usaha-usaha Oikumenis telah
dikerjakan oleh gereja-gereja anggota PGI untuk terwujudnya gereja Kristen yang
esa di Indonesia. Dan sepertinya istilah Oikumene bukan lagi suatu hal yang
asing, bahkan menjadi satu mode dalam suatu kegiatan di antara beberapa gereja.
Jiwa Oikumenis sering diungkapkan dengan mengadakan suatu perayaan hari besar
Kristen, seperti: Paskah dan Natal bersama, sehingga sebagian orang
mengidentikkan kegiatan secara bersama-sama itulah Oikumene. Segala usaha
berupa pertemuan, konsultasi, rapat dan mengadakan proyek secara bersama-sama
itu sudah menyatakan kesadaran Oikumenis. Di sini jelas kesadaran Oikumenis
hanya dilihat secara lahiriah berupa kegiatan-kegiatan. Sehingga pemahaman ini
kurang begitu tepat, terlebih untuk dapat mencapai tujuan yang telah
dicanangkan.
Sebagian orang melihat Gerakan
Oikumene sebagai suatu usaha untuk menyatukan seluruh gereja, dengan mempunyai
satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama, satu kuasa
administratif. Singkatnya, menjadikan semuanya satu (uniformitas). Hal ini
berarti seluruh gereja dengan berbagai latar belakang dan keunikannya yang
berbeda (suku, bahasa, kebudayaan dan tradisi) akan dileburkan menjadi satu.
Akibatnya satu pihak akan merasa kecewa, karena sampai begitu jauh dan lama
tidak ada tanda-tanda peleburan jadi satu gereja Kristen yang esa di Indonesia.
Pada pihak lain, ada orang yang kuatir dan menjadi takut jika seluruh gereja
harus meleburkan diri menjadi satu gereja. Hal ini akan berarti setiap gereja
akan kehilangan identitasnya. Maka sebagian gereja mengambil jarak dalam
mengikuti Gerakan Oikumene. Selama keputusan bersama menguntungkan, maka akan
ditaati. Jika tidak sesuai dengan selera dan pendapat, maka akan saling
berjalan sendiri-sendiri. Pemahaman seperti ini juga kurang tepat.
Sebenarnya Gerakan Oikumene bukanlah soal menguntungkan atau merugikan; bukan pula suatu target tertentu, di mana gereja-gereja hanya bersikap memenuhi porsi kewajiban masing-masing untuk memenuhi target itu. Tetapi Oikumene adalah suatu sikap iman yang mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama.[1] Pada hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja. Dengan kesadaran ini mendorong gereja-gereja berjalan bersama-sama pada satu jalan, menampakkan kesatuan gereja Yesus Kristus di dunia ini. Pemahaman ini masih bersifat umum, untuk itu selanjutnya perlu penelahan lebih khusus dari perspektif Alkitab.
II.
Cikal
Bakal Gerakan Oikumene di Indonesia
Oikumene merupakan
warisan dari gereja-gereja di Eropa yang kemudian mendarat di bumi Indonesia.
Namun kapan gerakan Oikumene itu dimulai?
Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konferensi
Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan
Oikumene Internasional. Meskipun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis
pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai
melakukan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya.[2] Tetapi jika diselidiki
lebih jauh, sebenarnya sebelum konferensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene
baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Selanjutnya
ketika konferensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri
dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan
Misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konferensi itu adalah mengenai
kerja sama dan pemupukan keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk
memikirkan ke arah gereja yang dewasa.[3] Hal-hal ini penting
bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di
Indonesia yang masih muda.
Pada tanggal 22
Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang merupakan penggabungan
dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith and Order. Dewan ini mengadakan
Sidang Raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan di dalamnya terdapat
utusan dari Indonesia.
DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene, memberikan suatu kontribusi yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konferensi persiapan pembentukan DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI (setelah Sidang Raya X tahun 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan Oikumene.[4] Dan selanjutnya PGI menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia sampai sekarang
III.
Masalah-masalah
Gerakan Oikumene Di Indonesia
Gerakan Oikumene di Indonesia banyak mengalami
permasalahnya, terutama yang diwadahi oleh PGI, termasuk PGI Wilayah (PGIW,
pada aras provinsi) dan PGI Setempat (PGIS, pada aras
kota/kabupaten/kecamatan). Beberapa di antaranya:
Pertama,
banyaknya denominasi yang menjelma menjadi ratusan organisasi gereja
(selengkapnya lihat Aritonang 2016). Di antara sekitar 400 organisasi gereja di
Indonesia dewasa ini, yang menjadi anggota PGI hanya 89 (walaupun dari segi
keanggotaan dan menurut statistik resmi jumlah anggota dari 89 gereja ini
mencakup lebih dari 60 persen umat Kristen non Katolik). Gereja-gereja yang
tidak bergabung di dalam PGI membentuk wadah sendiri, seperti; Persekutuan
Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili di Indonesia (PGLII, dengan lebih dari
100 organisasi anggota); Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia
(PGPI, dengan lebih dari 100 organisasi anggota); Persatuan Baptis Indonesia
(PBI, dengan sekitar 8 anggota). Mereka juga mengaku sebagai wadah Gerakan
Oikumene, meskipun dari namanya terlihat bahwa mereka membatasi diri pada
denominasi (aliran) tertentu. Di antara denominasi dan organisasi gereja yang
tidak bergabung di dalam PGI itu ada yang menyatakan denominasi tertentu keliru
(misalnya penilaian kalangan Injili tertentu terhadap GKR), atau menyatakan
ajaran dan praktiknya yang paling benar (misalnya klaim Gereja Reformed Injili
Indonesia).
Kedua,
sebagian besar gereja sibuk dengan dirinya sendiri, terutama menyangkut hal-hal
yang lebih bersifat praktis. Lagi pula di daerah tertentu masih terjadi
persaingan dan perebutan anggota. Bila memeriksa program kerja dan pelayanan
masing-masing gereja di Indonesia, butir yang menyangkut hubungan Oikumenis dan
kerjasama antar gereja sangat terbatas. Hubungan dan kerjasama Oikumenis dalam
rangka mewujudkan keesaan gereja belum menjadi prioritas, walaupun disadari
bahwa ketiga tugas utama gereja (marturia, koinonia, dan diakonia) akan lebih baik
jika dikerjakan bersama. Karena itu di kalangan gereja-gereja di Indonesia
semakin sering muncul pertanyaan: apakah arah, tujuan dan semangat gerakan Oikumene
di Indonesia masih sesuai dengan cita-cita dan makna semula, atau sedang
mengalami disorientasi.
Ketiga, krisis kepemimpinan dan kepercayaan. Ketika gerakan Oikumene mulai mewadah, dalam DGI, para aktivis yang kemudian menjadi pemimpinnya – selain pelayan tahbisan (pendeta) – kebanyakan adalah kaum awam (warga gereja). Mereka bekerja dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan material. Belakangan jabatan-jabatan di lembaga-lembaga Oikumenis menjadi rebutan, dan tak jarang diwarnai ‘money politics’. Pada gilirannya penggunaan dana di lembaga-lembaga Oikumenis juga tidak akuntabel dan transparan. Ini sering menimbulkan kurang atau bahkan hilangnya kepercayaan dari para mitra, terutama yang dari luar negeri. Saat ini tidak mudah menemukan tokoh gerakan Oikumene di Indonesia yang memiliki visi yang jelas, menjangkau jauh ke depan, dan diterima semua gereja dan umat Kristen Indonesia.
IV.
Keberagaman
Pengertian Keesaan Gereja
Berbicara perihal
Oikumene, maka juga harus berbicara mengenai Keesaan gereja. Sebab Oikumene dan
Keesaan Gereja mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan Oikumene
adalah perwujudan Keesaan Gereja.
Dalam sejarah
perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia yang memakan waktu yang panjang, maka di
dalamnya juga pengertian 'keesaan' mengalami berbagai perkembangan. Hal ini
dapat dilihat melalui hasil-hasil sidang raya dan rapat BPL PGI yang sudah
diadakan.
Wujud keesaan yang
dirindukan dan yang berhasil ditetapkan oleh PGI adalah suatu gereja dengan
mempunyai wadah bersama di tingkat lokal, wilayah dan nasional yang dapat
berunding, mengambil keputusan bersama, dengan mempunyai satu pengakuan iman
dan tata gereja yang berlaku bagi semua. Serta setiap gereja saling menerima,
saling mengakui sebagai sama-sama wujud pernyataan diri dari gereja Tuhan yang
kudus dan am. Namun rumusan mengenai keesaan gereja ini dirasakan lebih
menekankan organisasi dari pada kesatuan dalam paham atau doktrin.[5] Oleh
sebab itu ada beberapa gereja yang menolak pandangan ini, sehingga paling tidak
masih ada dua pandangan lain yang berbeda mengenai keesaan gereja, yakni:
1.
Keesaan Gereja
itu secara rohani
Pandangan ini
sejalan dengan pernahaman akan arti gereja yaitu adanya gereja yang kelihatan
dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang sesungguhnya yang terdiri dari
orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, sudah mempunyai satu kesatuan dalam
Kristus. Jadi keesaan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani.
2.
Keesaan gereja
terletak dalam perkataan dan perbuatan
Seperti yang
difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain, kesatuan
dalam karya sesuai dengan kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang beriman atau
kesatuan gereja, jikalau itu adalah kesatuan seperti yang dirindukan oleh
Kristus di dalam doa-Nya, maka itu terletak di dalam perkataan dan perbuatan
seperti apa yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak.[6]
Pandangan mengenai
keesaan gereja ada bermacam-macam. Maka Lukas Vischer seorang tokoh Oikumene
Internasional dalam tulisannya mengungkapkan masih ada berbagai pandangan yang
berbeda mengenai keesaan gereja (Lukas
Vischer, Drawn and Held Together by Recorciling Power of Christ-Faith and
Order, Paper 69, hal. 13-14).
V.
Perspektif
Alkitab
Ada beraneka ragam
pandangan mengenai Oikumene. Tentunya tidak mudah untuk segera menyimpulkan pandangan
mana yang tepat, namun yang pasti dalam memahami Oikumene dengan tepat maka
Alkitablah harus menjadi satu-satunya standar kebenaran dan tolak ukurnya. Maka
sampailah pada pembahasan yang seharusnya menjadi fokus dalam makalah ini yakni
bagaimana Oikumene dipahami dalam perspektif Alkitab. Namun dalam mengungkapkan
secara komprehensif kekayaan Alkitab dan pernahaman teologis mengenai Oikumene
adalah terlalu luas untuk menjangkaunya. Oleh sebab itu, pembahasan selanjutnya
akan dibatasi dengan hanya melihat penggunaan istilah Oikumene dan meneliti
beberapa bagian Alkitab yang membicarakannya serta implikasinya bagi gereja.
1.
Istilah
Oikumene
Oikumene sebenarnya
sebuah istilah dalam bahasa Yunani, 'oikos'
yang berarti: rumah, tempat tinggal; sedangkan 'menein' berarti: tinggal atau berdiam. Pada dasarnya kata Oikumene
sama sekali tidak ada hubungan atau kaitannya dengan gereja. Karena yang
dimaksud dengan kata Yunani ini adalah dunia yang didiami dalam pengertian
politis. Jadi, istilah Oikumene sebenarnya berasal dari suasana politik, lalu
dipindahkan ke dalam situasi gereja.
Dr. W.H. Visser't
Hufft mendaftarkan beberapa arti kata Oikumene seperti yang didapati di dalam
sejarah, yaitu Oikumene adalah seluruh dunia yang didiami; seluruh kekaisaran
Roma; gereja seluruhnya; gereja yang sah; hubungan-hubungan beberapa gereja
atau orang Kristen yang pengakuannya berbeda-beda; usaha dan keinginan untuk
mendapatkan keesaan Kristen.[7]
Kata Oikumene dalam
Alkitab dikutip beberapa kali. Dalam Septuaginta, kata Oikumene diterjemahkan
dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan, dalam Perjanjian Baru
sendiri setidaknya ada 15 kali pengutipan. Kata Oikumene kadang-kadang
dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran
Romawi (Lukas 2:1,
cf. Kis. 11:28;
19:27; 24:5), tetapi ini asing dari pandangan
Perjanjian Baru itu sendiri. Pada bagian lain kata Oikumene dipahami secara
teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan
Kristus (Ibrani 2:5).
Tetapi pada dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil
diberitakan di seluruh dunia/oikumene (Mat. 24:14).
Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17,
band. Lukas 21:26).
Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas 4:5).
Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6;
2:5; Wahyu 3:10;
12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di
atas.[8] Jadi
sebenarnya secara harfiah arti istilah Oikumene menurut Alkitab jelas berbeda
dengan yang diartikan oleh Gerakan Oikumene dewasa ini.
2.
Keesaan
menurut Yohanes
17:20-26
Tujuan utama Gerakan
Oikumene yakni terwujudnya keesaan gereja. Dan sebagai landasan Alkitabnya
sering menggunakan Yohanes 17:21.
Tetapi apakah memang perumusan tujuan Oikumene yang dimaksudkan sesuai dengan
konteks Yohanes 17:7.
Ada beberapa bagian
Alkitab yang membicarakan mengenai keesaan gereja. Salah satu di antaranya
yaitu terdapat di dalam Yohanes
17:20-26. Bagian ini menunjukkan perhatian Tuhan Yesus
yang khusus untuk semua orang percaya (gereja) yang universal. Perhatian yang
dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan kemuliaan Ilahi.[9]
Tetapi apa yang
dimaksud kesatuan di sini? Kesatuan orang percaya dibandingkan dengan kesatuan
antara Bapa dan Anak (ay. 21a).
Sifat kesatuan ini bukan persamaan melainkan merupakan suatu analogi. Tetapi
yang jelas bahwa kesatuan antara orang percaya permulaannya hanya mungkin
diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak. Namun selanjutnya kesatuan yang
dimaksud dalam doa Tuhan Yesus ini dapat ditafsirkan dalam dua cara; yaitu:
Pertama. Keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan
antara Bapa dan Anak ada dalam kekekalan. Keduanya ini jelas sifat dasar
kesatuan antara Bapa dan Anak yang rohani dapat bersatu menghadapi dunia ini.
Ketika orang percaya bersatu dalam iman mereka ini, maka mereka mempunyai kuasa
dan pengaruh dalam menghadapi dunia.[10]
Kedua, Kesatuan yang dijelaskan oleh Berkouwer, dalam bagian ini Yohanes 17:21,
bukan 'kesatuan yang mistik' atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan tetapi
kesatuan kebenaran, pengudusan dan kasih sebagai suatu realitas yang nampak,
yang dapat dilihat oleh tiap-tiap orang.[11]
Kedua pandangan di
atas mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan di antara orang percaya
dalam realitas itu akan mungkin karena terlebih dahulu ada kesatuan kepercayaan
dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang percaya perlu suatu
perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Hal keyakinan pada dasarnya
adalah rohani; dan kesatuan di antara orang percaya pada hakekatnya adalah
rohani (I Kor. 1:2,9;
12:12-13), tetapi juga perlu kenyataan atau perwujudan
dalam kehidupan (cf. Efesus 4:1-6).
Tuhan Yesus dalam
doa-Nya mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada dasarnya adalah rohani, namun
hendaknya kesatuan itu ada dalam realitas, dapat dilihat oleh tiap-tiap orang.
Pembahasan lebih lanjut akan menelaah mengenai kesatuan (kesatuan diartikan
sama dengan keesaan, hal ini diterima oleh kebanyakan tokoh gereja hingga saat
ini) di antara orang percaya.
Kesatuan di antara
orang percaya hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada Kristus (Yoh.17:20).
Kesatuan di antara orang percaya berhubungan dan berdasarkan pada kesatuan Bapa
dan Anak. Kesatuan di sini erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan
(ay. 17-19),
kemuliaan (ay. 22,24)
dan kasih (ay. 23,26),
semuanya untuk dapat disaksikan orang lain (ay. 21,24).
Bapa dan Anak secara
hakikat adalah satu (Yoh. 10:30),
sehingga apa yang Bapa miliki juga dimiliki oleh Anak (Yoh. 16:15).
Tetapi kesatuan ini tanpa dinyatakan kepada manusia, maka itu tidak akan
berguna dan tidak dimengerti oleh manusia. Sebab itu Kristus yang mulia harus
datang ke dalam dunia untuk menyatakan hal ini (Yoh. 1:14;
cf. Yoh. 17:24).
Kedatangan Kristus sejak semula yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di
atas kayu salib (Yoh. 3:14-17;
band. Fil. 2:8).
Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa kepada manusia (Yoh. 14:9-10).
Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan Allah Bapa, dan
sekaligus memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, maka itu diwujudkan melalui
perbuatan-perbuatan-Nya (Yoh. 14:11).
Segala sesuatu yang Kristus lakukan dan katakan semuanya sesuai dengan kehendak
Allah Bapa (Yoh. 8:28;
14:24).
Jikalau kesatuan
orang percaya ada dalam kesatuan Bapa dan Anak (ay. 21),
maka kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai
dengan Firman Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan
pekerjaan Allah. Kesatuan di antara orang percaya (gereja) akan terwujud
jikalau orang percaya (gereja) melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang
difirmankan Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-orang untuk
percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru
Selamat manusia (ay. 21,23).
Berhubungan dengan kemuliaan, jika orang-orang percaya menyatakan kemuliaan
Kristus, maka ini akan menghasilkan kesatuan asasi.
Pemahaman tentang kesatuan
di antara orang percaya (gereja) di atas, sejalan dengan pandangan yang
dikemukakan oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni bahwa kesatuan yang dirindukan oleh
Kristus dalam doanya itu, adalah terletak dalam perkataan dan perbuatan seperti
yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak: Perkataan dan perbuatan
mereka harus mempresentasikan Firman dan karya Kristus dan Bapa. Di situlah
mereka dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau semua itu terjadi, maka dunia
akan percaya bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus Kristus untuk
menyelamatkan dunia ini. Berdasarkan hal ini, maka tidak benar untuk
menafsirkan doa Tuhan Yesus dalam Yohanes
17:20-21, sebagai amanat untuk mendirikan satu gereja
yang esa.[12]
3.
Keesaan menuju
Kedewasaan Iman
Orang Kristen
dipanggil untuk melakukan perbuatan yang sesuai seperti difirmankan Tuhan
sehingga tercipta kesatuan asasi. Namun bagaimana itu dapat terwujud dan apakah
itu menjadi tujuan akhir?
Dalam mrnjawab hal
ini, Firman Tuhan akan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16,
di mana bagian ini juga sering dipergunakan para tokoh Oikumene dalam membahas
mengenai Keesaan Gereja.
Keesaan (diartikan kesatuan)
gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus sendiri yang
memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini hanya
memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus
(ay. 2-3,
cf. 1Kor.12:12-13).
Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu tidak terlihat,
bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata
(manifestasi), terlihat melalui persekutuan di antara orang percaya.[13] Dalam
mencapai keesaan di antara orang percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh
orang Kristen adalah kerendahan hati (ay.2).
Dengan kerendahan hati akan membawa seseorang untuk lemah lembut dan sabar;
selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena
kasih itu tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang
lain (1Kor.13:4-7).
Kesatuan di antara
orang percaya (gereja) bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu
mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus.
Jadi, keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay.11-12).
Kesatuan dalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus. Dalam perwujudan keesaan, gereja perlu pengenalan yang lebih
mendalam tentang Kristus supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam
suatu pelayanan yang dihangatkan dalam kasih Kristus, yang memungkinkan
pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman (Ef.4:13-16).
BAB.
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Dalam menentukan kembali pemahaman yang
tepat untuk Gerakan Oikumene, maka Alkitab harus menjadi standar kebenaran dan
tolak ukurnya. Dalam Yoh.17:20-26, menyatakan bahwa kesatuan di antara orang
percaya (keesaan gereja) ini hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada
Kristus (Yoh.17:20).
Kesatuan orang percaya dianalogikan kesatuan antara Bapa dan Anak (21a). Maka
kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan
Firman Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan
pekerjaan Allah. Kesatuan di antara orang percaya (gereja) akan terwujud
jikalau orang percaya (gereja) melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang
difirmankan Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-orang untuk
percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru
Selamat manusia (ay. 21,23).
Kesatuan di antara orang percaya (gereja) bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi, keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay.11-12).
II.
Saran
Di akhir penulisan makalah ini, penulis memperhatikan
pentingnya orang Kristen untuk memahami Gerakan Oikumene dan tujuannya yang
sesuai dengan Alkitab. Dengan kemampuan yang Tuhan berikan, penulis dapat menyelesaikan
penulisan penelitian ini dengan keterbatasan, maka dengan demikian penulis
membutuhkan beberapa saran yang membangun lebih baik lagi.
Pertama, untuk perkembangan teori dan penelitian lebih lanjut,
penulis menyarankan bagi penulis lain untuk melanjutkan penelitian tentang
Gerakan Oikumene lebih mendalam.
Kedua, di atas semuanya itu penulis sangat menyadari bahwa
masih banyak terdapat kesalahan dalam kepenulisan makalah ini, dengan demikian
penulis sangat membutuhkan beberapa masukan dari para penilai.
[1] Eka Darmaputra, Berbeda tapi bersatu, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1974), hlm. 53.
[2] Ruth Rouse and Stephen Charles
Neil, (ed), A History of the Ecumenical
Movement 1517-1948, (The Westminster Press Philadelphia, 1967), hlm. 1-69.
[3] Ukur & Cooley, (ed), Jerih dan
Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian Studi DGI, BPK, 1979), hlm. 571-572.
[4] Ibid
[5] Abineno, J. I. CH, Gereja dan Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), hlm. 15.
[6] Harun
Hadiwijono, Supaya mereka semua menjadi
satu, Berita Oikumene, (Nopember 1981), hlm. 18
[7] Pilon P. K, Ut Omnes Unum Sint,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 10.
[8] Everett Harrison, F, Baker's,
Dictionary of Theology, Baker Book House, (Michigan: Grand Rapids, 1978), hlm.
177.
[9] Leon Morris, The Gospel According to John, Eerdmands, (Michigan: Grand Rapids,
1973), hlm. 723-733.
[10] William Hendriksen, The Gospel of
John, New Testament Commentary, The Banner of Truth Trust, (London, 1973), hlm.
364-365.
[11] Abineno, op. cit. hal. 14.
[12] Harun Hadiwijono, op. cit. hal.
16-19.
[13] Donald Guthrie, (ed), Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta: BPK,
1981), hlm. 334.
0 Response to "MEMAHAMI GERAKAN OIKUMENE DARI PERSPEKTIF ALKITAB SEBAGAI HARAPAN GEREJA MASA KINI DI INDONESIA UNTUK MENUJU KEESAANYA"
Posting Komentar