MEMAHAMI GERAKAN OIKUMENE DARI PERSPEKTIF ALKITAB SEBAGAI HARAPAN GEREJA MASA KINI DI INDONESIA UNTUK MENUJU KEESAANYA

 

Photo by: Pexels

BAB. I

PENDAHULUAN 

       I.            Latar Belakang Masalah

Gereja merupakan persekutuan orang percaya, umat pilihan yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah, keluar dari kegelapan menuju kepada Tuhan Yesus Kristus yang adalah terang dunia. Gereja meliputi semua orang percaya di segala tempat dan waktu. Jadi, gereja adalah organisasi dan organisme. Eksistensi gereja menjadi nyata dalam persekutuan, pelayanan dan kesaksian di tengah masyarakat dan negara. Gereja menjadi persekutuan yang dinamis dan hidup apabila Pribadi dan karya Yesus Kristus menjadi dasar terbentuk dan hadirnya gereja. Gereja dipanggil dengan tujuan untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah, yaitu keselamatan melalui Tuhan Yesus Kristus, kepada seluruh umat manusia. Eksistensi Gereja sebagai alat Tuhan untuk menyatakan kasih setia Allah yang menjamin kehidupan dan keselamatan manusia. Sekalipun dalam panggilannya, gereja akan menghadapi pergumulan-pergumula yang silih berganti untuk maksud Allah tersebut.

Yohanes 17:21 “...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku". Kutipan ayat tersebut merupakan penggalan dari doa Tuhan Yesus untuk gereja. Ayat ini menjadi dasar utama dari gerakan Oikumene untuk mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia – PGI, yang awalnya disebut “Dewan Gereja-gereja di Indonesia” didirikan pada 25 Mei 1950 di Jakarta, sebagai perwujudan dari kerinduan umat Kristen di Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai Tubuh Kristus yang terpecah-pecah. Oleh sebab itu, PGI menyatakan visi pembentukannya adalah “Mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”. PGI terus bergerak dan anggotanya bertambah. Dimulai dengan beberapa gereja pada awal pembentukan DGI dan sekarang beranggotakan 91 Sinode Gereja, dengan 27 PGI Wilayah. Selanjutnya masih banyak lagi gereja-gereja yang berhimpun di aras nasional lain, seperti PGLII dan PGPI.

Pembentukan satu gereja Kristen yang Esa di Indonesia menjadi tujuan dasar PGI. Tujuan ini telah dicanangkan lebih dari setengah abad yang lalu. Setelah bertahun-tahun gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam PGI berusaha mewujudkan apa yang telah menjadi tujuan dasar tersebut. Dari segi waktu memang sudah cukup panjang, namun tujuan yang dirindukan untuk terwujud sampai sekarang belum kunjung tiba. Apa yang telah berhasil diperbincangkan dan dirumuskan dalam satu anggaran dasar, ternyata tidak mudah untuk diwujudkan dalam realitas. Apabila ditelusuri, ternyata berbagai alasan dapat dikemukakan. Di samping masih terdapat perbedaan pendapat mengenai Oikumene di antara gereja-gereja, juga adanya keengganan dan kebimbangan terhadap motivasi dari gerakan ini. Oleh sebab itu, perlu adanya pengkajian kembali akan makna dari Gerakan Oikumene ini, apakah itu masih relevan untuk masa kini, terlebih lagi apakah itu sesuai dengan Alkitab.

II.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut; menemukan kembali pemahaman yang tepat mengenai Gerakan Oikumene berdasarkan perspektif Alkitab sebagai harapan gereja-gereja masa kini di Indonesia untuk dapat berpikir secara komprehensif dan bertindak secara tepat hingga terwujudnya kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana gereja merupakan bagian dari masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, penulis merumuskan penulisan makalah ini dengan judul; “Memahami Gerakan Oikumene Dari Perspektif Alkitab Sebagai Harapan Gereja Masa Kini Di Indonesia Untuk Menuju Keesaanya”.

III.            Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah yang ditemukan, maka timbullah suatu kebutuhan penulis untuk masalah tersebut. Sehingga melalui penulisan makalah ini bertujuan untuk: menemukan pemahaman yang tepat mengenai Gerakan Oikumene berdasarkan perspektif Alkitab sebagai harapan gereja-gereja di Indonesia untuk dapat berpikir secara komprehensif dan bertindak secara tepat hingga terwujudnya kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


BAB. II

ISI 

       I.            Pemahaman Yang Salah

Usaha-usaha Oikumenis telah dikerjakan oleh gereja-gereja anggota PGI untuk terwujudnya gereja Kristen yang esa di Indonesia. Dan sepertinya istilah Oikumene bukan lagi suatu hal yang asing, bahkan menjadi satu mode dalam suatu kegiatan di antara beberapa gereja. Jiwa Oikumenis sering diungkapkan dengan mengadakan suatu perayaan hari besar Kristen, seperti: Paskah dan Natal bersama, sehingga sebagian orang mengidentikkan kegiatan secara bersama-sama itulah Oikumene. Segala usaha berupa pertemuan, konsultasi, rapat dan mengadakan proyek secara bersama-sama itu sudah menyatakan kesadaran Oikumenis. Di sini jelas kesadaran Oikumenis hanya dilihat secara lahiriah berupa kegiatan-kegiatan. Sehingga pemahaman ini kurang begitu tepat, terlebih untuk dapat mencapai tujuan yang telah dicanangkan.

Sebagian orang melihat Gerakan Oikumene sebagai suatu usaha untuk menyatukan seluruh gereja, dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama, satu kuasa administratif. Singkatnya, menjadikan semuanya satu (uniformitas). Hal ini berarti seluruh gereja dengan berbagai latar belakang dan keunikannya yang berbeda (suku, bahasa, kebudayaan dan tradisi) akan dileburkan menjadi satu. Akibatnya satu pihak akan merasa kecewa, karena sampai begitu jauh dan lama tidak ada tanda-tanda peleburan jadi satu gereja Kristen yang esa di Indonesia. Pada pihak lain, ada orang yang kuatir dan menjadi takut jika seluruh gereja harus meleburkan diri menjadi satu gereja. Hal ini akan berarti setiap gereja akan kehilangan identitasnya. Maka sebagian gereja mengambil jarak dalam mengikuti Gerakan Oikumene. Selama keputusan bersama menguntungkan, maka akan ditaati. Jika tidak sesuai dengan selera dan pendapat, maka akan saling berjalan sendiri-sendiri. Pemahaman seperti ini juga kurang tepat.

Sebenarnya Gerakan Oikumene bukanlah soal menguntungkan atau merugikan; bukan pula suatu target tertentu, di mana gereja-gereja hanya bersikap memenuhi porsi kewajiban masing-masing untuk memenuhi target itu. Tetapi Oikumene adalah suatu sikap iman yang mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama.[1] Pada hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja. Dengan kesadaran ini mendorong gereja-gereja berjalan bersama-sama pada satu jalan, menampakkan kesatuan gereja Yesus Kristus di dunia ini. Pemahaman ini masih bersifat umum, untuk itu selanjutnya perlu penelahan lebih khusus dari perspektif Alkitab.

    II.            Cikal Bakal Gerakan Oikumene di Indonesia

Oikumene merupakan warisan dari gereja-gereja di Eropa yang kemudian mendarat di bumi Indonesia. Namun kapan gerakan Oikumene itu dimulai?

Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Meskipun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai melakukan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya.[2] Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konferensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Selanjutnya ketika konferensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konferensi itu adalah mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja yang dewasa.[3] Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda.

Pada tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang merupakan penggabungan dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith and Order. Dewan ini mengadakan Sidang Raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan di dalamnya terdapat utusan dari Indonesia.

DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene, memberikan suatu kontribusi yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konferensi persiapan pembentukan DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI (setelah Sidang Raya X tahun 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan Oikumene.[4] Dan selanjutnya PGI menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia sampai sekarang

 III.            Masalah-masalah Gerakan Oikumene Di Indonesia

Gerakan Oikumene di Indonesia banyak mengalami permasalahnya, terutama yang diwadahi oleh PGI, termasuk PGI Wilayah (PGIW, pada aras provinsi) dan PGI Setempat (PGIS, pada aras kota/kabupaten/kecamatan). Beberapa di antaranya:

Pertama, banyaknya denominasi yang menjelma menjadi ratusan organisasi gereja (selengkapnya lihat Aritonang 2016). Di antara sekitar 400 organisasi gereja di Indonesia dewasa ini, yang menjadi anggota PGI hanya 89 (walaupun dari segi keanggotaan dan menurut statistik resmi jumlah anggota dari 89 gereja ini mencakup lebih dari 60 persen umat Kristen non Katolik). Gereja-gereja yang tidak bergabung di dalam PGI membentuk wadah sendiri, seperti; Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili di Indonesia (PGLII, dengan lebih dari 100 organisasi anggota); Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia (PGPI, dengan lebih dari 100 organisasi anggota); Persatuan Baptis Indonesia (PBI, dengan sekitar 8 anggota). Mereka juga mengaku sebagai wadah Gerakan Oikumene, meskipun dari namanya terlihat bahwa mereka membatasi diri pada denominasi (aliran) tertentu. Di antara denominasi dan organisasi gereja yang tidak bergabung di dalam PGI itu ada yang menyatakan denominasi tertentu keliru (misalnya penilaian kalangan Injili tertentu terhadap GKR), atau menyatakan ajaran dan praktiknya yang paling benar (misalnya klaim Gereja Reformed Injili Indonesia).

Kedua, sebagian besar gereja sibuk dengan dirinya sendiri, terutama menyangkut hal-hal yang lebih bersifat praktis. Lagi pula di daerah tertentu masih terjadi persaingan dan perebutan anggota. Bila memeriksa program kerja dan pelayanan masing-masing gereja di Indonesia, butir yang menyangkut hubungan Oikumenis dan kerjasama antar gereja sangat terbatas. Hubungan dan kerjasama Oikumenis dalam rangka mewujudkan keesaan gereja belum menjadi prioritas, walaupun disadari bahwa ketiga tugas utama gereja (marturia, koinonia, dan diakonia) akan lebih baik jika dikerjakan bersama. Karena itu di kalangan gereja-gereja di Indonesia semakin sering muncul pertanyaan: apakah arah, tujuan dan semangat gerakan Oikumene di Indonesia masih sesuai dengan cita-cita dan makna semula, atau sedang mengalami disorientasi.

Ketiga, krisis kepemimpinan dan kepercayaan. Ketika gerakan Oikumene mulai mewadah, dalam DGI, para aktivis yang kemudian menjadi pemimpinnya – selain pelayan tahbisan (pendeta) – kebanyakan adalah kaum awam (warga gereja). Mereka bekerja dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan material. Belakangan jabatan-jabatan di lembaga-lembaga Oikumenis menjadi rebutan, dan tak jarang diwarnai ‘money politics’. Pada gilirannya penggunaan dana di lembaga-lembaga Oikumenis juga tidak akuntabel dan transparan. Ini sering menimbulkan kurang atau bahkan hilangnya kepercayaan dari para mitra, terutama yang dari luar negeri. Saat ini tidak mudah menemukan tokoh gerakan Oikumene di Indonesia yang memiliki visi yang jelas, menjangkau jauh ke depan, dan diterima semua gereja dan umat Kristen Indonesia.

 IV.            Keberagaman Pengertian Keesaan Gereja

Berbicara perihal Oikumene, maka juga harus berbicara mengenai Keesaan gereja. Sebab Oikumene dan Keesaan Gereja mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan Oikumene adalah perwujudan Keesaan Gereja.

Dalam sejarah perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia yang memakan waktu yang panjang, maka di dalamnya juga pengertian 'keesaan' mengalami berbagai perkembangan. Hal ini dapat dilihat melalui hasil-hasil sidang raya dan rapat BPL PGI yang sudah diadakan.

Wujud keesaan yang dirindukan dan yang berhasil ditetapkan oleh PGI adalah suatu gereja dengan mempunyai wadah bersama di tingkat lokal, wilayah dan nasional yang dapat berunding, mengambil keputusan bersama, dengan mempunyai satu pengakuan iman dan tata gereja yang berlaku bagi semua. Serta setiap gereja saling menerima, saling mengakui sebagai sama-sama wujud pernyataan diri dari gereja Tuhan yang kudus dan am. Namun rumusan mengenai keesaan gereja ini dirasakan lebih menekankan organisasi dari pada kesatuan dalam paham atau doktrin.[5] Oleh sebab itu ada beberapa gereja yang menolak pandangan ini, sehingga paling tidak masih ada dua pandangan lain yang berbeda mengenai keesaan gereja, yakni:

1.      Keesaan Gereja itu secara rohani

Pandangan ini sejalan dengan pernahaman akan arti gereja yaitu adanya gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang sesungguhnya yang terdiri dari orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, sudah mempunyai satu kesatuan dalam Kristus. Jadi keesaan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani.

2.      Keesaan gereja terletak dalam perkataan dan perbuatan

Seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain, kesatuan dalam karya sesuai dengan kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang beriman atau kesatuan gereja, jikalau itu adalah kesatuan seperti yang dirindukan oleh Kristus di dalam doa-Nya, maka itu terletak di dalam perkataan dan perbuatan seperti apa yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak.[6]

Pandangan mengenai keesaan gereja ada bermacam-macam. Maka Lukas Vischer seorang tokoh Oikumene Internasional dalam tulisannya mengungkapkan masih ada berbagai pandangan yang berbeda mengenai keesaan gereja (Lukas Vischer, Drawn and Held Together by Recorciling Power of Christ-Faith and Order, Paper 69, hal. 13-14).

    V.            Perspektif Alkitab

Ada beraneka ragam pandangan mengenai Oikumene. Tentunya tidak mudah untuk segera menyimpulkan pandangan mana yang tepat, namun yang pasti dalam memahami Oikumene dengan tepat maka Alkitablah harus menjadi satu-satunya standar kebenaran dan tolak ukurnya. Maka sampailah pada pembahasan yang seharusnya menjadi fokus dalam makalah ini yakni bagaimana Oikumene dipahami dalam perspektif Alkitab. Namun dalam mengungkapkan secara komprehensif kekayaan Alkitab dan pernahaman teologis mengenai Oikumene adalah terlalu luas untuk menjangkaunya. Oleh sebab itu, pembahasan selanjutnya akan dibatasi dengan hanya melihat penggunaan istilah Oikumene dan meneliti beberapa bagian Alkitab yang membicarakannya serta implikasinya bagi gereja.

1.      Istilah Oikumene

Oikumene sebenarnya sebuah istilah dalam bahasa Yunani, 'oikos' yang berarti: rumah, tempat tinggal; sedangkan 'menein' berarti: tinggal atau berdiam. Pada dasarnya kata Oikumene sama sekali tidak ada hubungan atau kaitannya dengan gereja. Karena yang dimaksud dengan kata Yunani ini adalah dunia yang didiami dalam pengertian politis. Jadi, istilah Oikumene sebenarnya berasal dari suasana politik, lalu dipindahkan ke dalam situasi gereja.

Dr. W.H. Visser't Hufft mendaftarkan beberapa arti kata Oikumene seperti yang didapati di dalam sejarah, yaitu Oikumene adalah seluruh dunia yang didiami; seluruh kekaisaran Roma; gereja seluruhnya; gereja yang sah; hubungan-hubungan beberapa gereja atau orang Kristen yang pengakuannya berbeda-beda; usaha dan keinginan untuk mendapatkan keesaan Kristen.[7]

Kata Oikumene dalam Alkitab dikutip beberapa kali. Dalam Septuaginta, kata Oikumene diterjemahkan dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan, dalam Perjanjian Baru sendiri setidaknya ada 15 kali pengutipan. Kata Oikumene kadang-kadang dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Lukas 2:1, cf. Kis. 11:28; 19:27; 24:5), tetapi ini asing dari pandangan Perjanjian Baru itu sendiri. Pada bagian lain kata Oikumene dipahami secara teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh dunia/oikumene (Mat. 24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17, band. Lukas 21:26). Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas 4:5). Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6Roma 10:18Ibrani 1:6; 2:5Wahyu 3:10; 12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas.[8] Jadi sebenarnya secara harfiah arti istilah Oikumene menurut Alkitab jelas berbeda dengan yang diartikan oleh Gerakan Oikumene dewasa ini.

2.      Keesaan menurut Yohanes 17:20-26

Tujuan utama Gerakan Oikumene yakni terwujudnya keesaan gereja. Dan sebagai landasan Alkitabnya sering menggunakan Yohanes 17:21. Tetapi apakah memang perumusan tujuan Oikumene yang dimaksudkan sesuai dengan konteks Yohanes 17:7.

Ada beberapa bagian Alkitab yang membicarakan mengenai keesaan gereja. Salah satu di antaranya yaitu terdapat di dalam Yohanes 17:20-26. Bagian ini menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang khusus untuk semua orang percaya (gereja) yang universal. Perhatian yang dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan kemuliaan Ilahi.[9]

Tetapi apa yang dimaksud kesatuan di sini? Kesatuan orang percaya dibandingkan dengan kesatuan antara Bapa dan Anak (ay. 21a). Sifat kesatuan ini bukan persamaan melainkan merupakan suatu analogi. Tetapi yang jelas bahwa kesatuan antara orang percaya permulaannya hanya mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak. Namun selanjutnya kesatuan yang dimaksud dalam doa Tuhan Yesus ini dapat ditafsirkan dalam dua cara; yaitu:

Pertama. Keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan antara Bapa dan Anak ada dalam kekekalan. Keduanya ini jelas sifat dasar kesatuan antara Bapa dan Anak yang rohani dapat bersatu menghadapi dunia ini. Ketika orang percaya bersatu dalam iman mereka ini, maka mereka mempunyai kuasa dan pengaruh dalam menghadapi dunia.[10]

Kedua, Kesatuan yang dijelaskan oleh Berkouwer, dalam bagian ini Yohanes 17:21, bukan 'kesatuan yang mistik' atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan tetapi kesatuan kebenaran, pengudusan dan kasih sebagai suatu realitas yang nampak, yang dapat dilihat oleh tiap-tiap orang.[11]

Kedua pandangan di atas mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan di antara orang percaya dalam realitas itu akan mungkin karena terlebih dahulu ada kesatuan kepercayaan dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang percaya perlu suatu perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Hal keyakinan pada dasarnya adalah rohani; dan kesatuan di antara orang percaya pada hakekatnya adalah rohani (I Kor. 1:2,9; 12:12-13), tetapi juga perlu kenyataan atau perwujudan dalam kehidupan (cf. Efesus 4:1-6).

Tuhan Yesus dalam doa-Nya mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada dasarnya adalah rohani, namun hendaknya kesatuan itu ada dalam realitas, dapat dilihat oleh tiap-tiap orang. Pembahasan lebih lanjut akan menelaah mengenai kesatuan (kesatuan diartikan sama dengan keesaan, hal ini diterima oleh kebanyakan tokoh gereja hingga saat ini) di antara orang percaya.

Kesatuan di antara orang percaya hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada Kristus (Yoh.17:20). Kesatuan di antara orang percaya berhubungan dan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Anak. Kesatuan di sini erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan (ay. 17-19), kemuliaan (ay. 22,24) dan kasih (ay. 23,26), semuanya untuk dapat disaksikan orang lain (ay. 21,24).

Bapa dan Anak secara hakikat adalah satu (Yoh. 10:30), sehingga apa yang Bapa miliki juga dimiliki oleh Anak (Yoh. 16:15). Tetapi kesatuan ini tanpa dinyatakan kepada manusia, maka itu tidak akan berguna dan tidak dimengerti oleh manusia. Sebab itu Kristus yang mulia harus datang ke dalam dunia untuk menyatakan hal ini (Yoh. 1:14; cf. Yoh. 17:24). Kedatangan Kristus sejak semula yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di atas kayu salib (Yoh. 3:14-17; band. Fil. 2:8). Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa kepada manusia (Yoh. 14:9-10). Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan Allah Bapa, dan sekaligus memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, maka itu diwujudkan melalui perbuatan-perbuatan-Nya (Yoh. 14:11). Segala sesuatu yang Kristus lakukan dan katakan semuanya sesuai dengan kehendak Allah Bapa (Yoh. 8:28; 14:24).

Jikalau kesatuan orang percaya ada dalam kesatuan Bapa dan Anak (ay. 21), maka kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan Firman Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan Allah. Kesatuan di antara orang percaya (gereja) akan terwujud jikalau orang percaya (gereja) melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang difirmankan Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-orang untuk percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru Selamat manusia (ay. 21,23). Berhubungan dengan kemuliaan, jika orang-orang percaya menyatakan kemuliaan Kristus, maka ini akan menghasilkan kesatuan asasi.

Pemahaman tentang kesatuan di antara orang percaya (gereja) di atas, sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni bahwa kesatuan yang dirindukan oleh Kristus dalam doanya itu, adalah terletak dalam perkataan dan perbuatan seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak: Perkataan dan perbuatan mereka harus mempresentasikan Firman dan karya Kristus dan Bapa. Di situlah mereka dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau semua itu terjadi, maka dunia akan percaya bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus Kristus untuk menyelamatkan dunia ini. Berdasarkan hal ini, maka tidak benar untuk menafsirkan doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17:20-21, sebagai amanat untuk mendirikan satu gereja yang esa.[12]

 

 

3.      Keesaan menuju Kedewasaan Iman

Orang Kristen dipanggil untuk melakukan perbuatan yang sesuai seperti difirmankan Tuhan sehingga tercipta kesatuan asasi. Namun bagaimana itu dapat terwujud dan apakah itu menjadi tujuan akhir?

Dalam mrnjawab hal ini, Firman Tuhan akan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16, di mana bagian ini juga sering dipergunakan para tokoh Oikumene dalam membahas mengenai Keesaan Gereja.

Keesaan (diartikan kesatuan) gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus sendiri yang memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini hanya memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus (ay. 2-3, cf. 1Kor.12:12-13). Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu tidak terlihat, bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata (manifestasi), terlihat melalui persekutuan di antara orang percaya.[13] Dalam mencapai keesaan di antara orang percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang Kristen adalah kerendahan hati (ay.2). Dengan kerendahan hati akan membawa seseorang untuk lemah lembut dan sabar; selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena kasih itu tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang lain (1Kor.13:4-7).

Kesatuan di antara orang percaya (gereja) bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi, keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay.11-12). Kesatuan dalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dalam perwujudan keesaan, gereja perlu pengenalan yang lebih mendalam tentang Kristus supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam suatu pelayanan yang dihangatkan dalam kasih Kristus, yang memungkinkan pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman (Ef.4:13-16).

 

BAB. III

PENUTUP

I.            Kesimpulan

Dalam menentukan kembali pemahaman yang tepat untuk Gerakan Oikumene, maka Alkitab harus menjadi standar kebenaran dan tolak ukurnya. Dalam Yoh.17:20-26, menyatakan bahwa kesatuan di antara orang percaya (keesaan gereja) ini hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada Kristus (Yoh.17:20). Kesatuan orang percaya dianalogikan kesatuan antara Bapa dan Anak (21a). Maka kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan Firman Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan Allah. Kesatuan di antara orang percaya (gereja) akan terwujud jikalau orang percaya (gereja) melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang difirmankan Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-orang untuk percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru Selamat manusia (ay. 21,23).

Kesatuan di antara orang percaya (gereja) bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi, keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay.11-12).

II.            Saran

Di akhir penulisan makalah ini, penulis memperhatikan pentingnya orang Kristen untuk memahami Gerakan Oikumene dan tujuannya yang sesuai dengan Alkitab. Dengan kemampuan yang Tuhan berikan, penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian ini dengan keterbatasan, maka dengan demikian penulis membutuhkan beberapa saran yang membangun lebih baik lagi.

Pertama, untuk perkembangan teori dan penelitian lebih lanjut, penulis menyarankan bagi penulis lain untuk melanjutkan penelitian tentang Gerakan Oikumene lebih mendalam.

Kedua, di atas semuanya itu penulis sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dalam kepenulisan makalah ini, dengan demikian penulis sangat membutuhkan beberapa masukan dari para penilai.



[1] Eka Darmaputra, Berbeda tapi bersatu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hlm. 53.

[2] Ruth Rouse and Stephen Charles Neil, (ed), A History of the Ecumenical Movement 1517-1948, (The Westminster Press Philadelphia, 1967), hlm. 1-69.

[3] Ukur & Cooley, (ed), Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian Studi DGI, BPK, 1979), hlm. 571-572.

[4] Ibid

[5] Abineno, J. I. CH, Gereja dan Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 15.

[6] Harun Hadiwijono, Supaya mereka semua menjadi satu, Berita Oikumene, (Nopember 1981), hlm. 18

[7] Pilon P. K, Ut Omnes Unum Sint, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), hlm. 10.

[8] Everett Harrison, F, Baker's, Dictionary of Theology, Baker Book House, (Michigan: Grand Rapids, 1978), hlm. 177.

[9] Leon Morris, The Gospel According to John, Eerdmands, (Michigan: Grand Rapids, 1973), hlm. 723-733.

[10] William Hendriksen, The Gospel of John, New Testament Commentary, The Banner of Truth Trust, (London, 1973), hlm. 364-365.

[11] Abineno, op. cit. hal. 14.

[12] Harun Hadiwijono, op. cit. hal. 16-19.

[13] Donald Guthrie, (ed), Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta: BPK, 1981), hlm. 334.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MEMAHAMI GERAKAN OIKUMENE DARI PERSPEKTIF ALKITAB SEBAGAI HARAPAN GEREJA MASA KINI DI INDONESIA UNTUK MENUJU KEESAANYA"

Posting Komentar