INERRANCY ALKITAB (Sebagai Suatu Tanggapan Kritis Terhadap Serangan Bart D. Ehrman, Ph.D. Mengenai Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru)
Photo by: Pixabay
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
Alkitab
memiliki banyak keistimewaan, yang tidak tertandingi dengan kitab-kitab yang
ada di dunia ini. Tidak dapat disangkal bahwa Alkitab adalah kitab yang paling
banyak dibaca, paling banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa, paling banyak
jilid penerbitan, dan paling banyak mempengaruhi hidup manusia.[1]
Namun,
dewasa ini sering bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang mendeskreditkan
kekristenan. Apakah Alkitab yang diyakini oleh orang Kristen itu adalah benar
firman Allah? Apakah Alkitab yang diyakini oleh orang Kristen itu benar
diilhamkan oleh Allah? Atau dapatkah Alkitab itu dipercaya? Apakah Alkitab
dapat dijadikan standar kehidupan manusia? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini
jelas tidak mengindahkan Alkitab adalah firman Allah yang tanpa salah.
Karena
fenomena ini, Alkitab terus diselidiki dan dipermasalahkan apakah layak
mendapat perhatian istimewa dan bagaimana relevansinya dengan kehidupan manusia
dan dunia yang terus berubah. Timbul pro-kontra di antara para sarjana Alkitab,
sehingga mereka mengorbankan banyak waktu untuk membela atau sebaliknya
menyerang Alkitab. Dalam studi teologi sitematika masalah ini dibahas khusus
dalam sektor bibliologi. Salah satu pokok yang dipermasalahkan adalah
penambahan atau pengubahan ayat-ayat dalam Alkitab oleh para penyalin.
Permasalahan
bibliologi mendapat perhatian secara istimewa dari para teolog mulai dari abad
ke-19 hingga sekarang ini. Terutama sejak buku Misquoting Jesus karya Bart D. Ehrman, Ph.D. yang telah diterbitkan
di masyarakat umum. Buku tersebut telah mengguncangkan iman orang Kristen
Injili kepada Yesus Kristus dan kepercayaan pada Alkitab yang diimani sebagai
pengilhaman Allah.[2]
Dalam
bukunya itu, Ehrman menyampaikan telah terjadi perubahan-perubahan penyalinan
Alkitab yang dilakukan oleh penyalin dari masa purba sampai abad pertengahan.[3]
Begitu banyak hal yang bersifat historis tentang penulisan Alkitab yang selama
ini tidak diketahui oleh banyak orang, dipaparkan dalam buku itu. Namun, inti
buku Misquoting Jesus adalah
menyampaikan pesan bahwa Alkitab yang dipercaya oleh orang Kristen (termasuk
peneliti) bukanlah asli ilham Allah. Para penyalin fanatik ini konon diduga
mengotak-atik ayat yang asli (contoh; Markus 2:25-26), dengan diberi bumbu
untuk meyakinkan para pembaca di kemudian hari.[4]
Jadi,
menurut buku Misquoting Jesus,
Alkitab itu sebenarnya berasal dari salinan belakangan yang telah dicekoki oleh
pemikiran sempit para penyalin sesuai gagasan teologis para penyalin sendiri.
Gagasan Ehrman ini sungguh menyentak iman Kristen. Alasan Ehrman juga sangat brilian, sangat rasional, dan sungguh luar biasa. Namun, apakah ini semua benar? Apakah selama ini orang Kristen tertipu mentah-mentah oleh Alkitab. Buku Misquoting Jesus sungguh luar biasa membuat orang tidak lagi menaruh iman kepada Alkitab dan Yesus, juga menimbulkan rasa penasaran yang teramat dalam, tidak terkecuali peneliti. Hal inilah yang menyebabkan peneliti kemudian terdorong untuk menyelidiki sendiri dari berbagai sumber untuk membuktikan apakah semua dugaan dalam buku Misquoting Jesus itu benar. Apakah benar Alkitab memang sudah tidak asli lagi? Apakah karya Ehrman itu masih layak untuk dipercaya 100%?
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: Innerancy Alkitab sebagai suatu tanggapan kritis terhadap serangan Bart D. Ehrman, Ph.D. mengenai reliabilitas Kitab Perjanjian Baru.
Pertanyaan
Penelitian
Untuk mempertajam pokok
permasalahan, maka peneliti memunculkan pertanyaan-pertanyaan sebagai beriktu:
Pertama,
apakah
yang dimaksud dengan Innerancy Alkitab?
Kedua,
bagaimana
pemahaman (teori) Bart Ehrman mengenai Kitab Perjanjian Baru?
Ketiga,
bagaimana
memberikan tanggapan kritis (apologet) terhadap paham Bart Ehrman mengenai
Kitab Perjanjian Baru?
Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang ditemukan, maka timbullah suatu
kebutuhan peneliti untuk
masalah tersebut. Sehingga
melalui penulisan makalah ini
bertujuan untuk:
Pertama, untuk menjelaskan
pengertian innerancy Alkitab, dengan demikian orang mempercayai bahwa Alkitab
adalah Firman Allah yang tanpa salah.
Kedua, untuk menjelaskan
bagaimana pandangan Ehrman Barth mengenai Kitab Perjanjian Baru, supaya orang
percaya mengetahui dan dapat menghindari pemahaman yang salah mengenai Kitab
Perjanjian Baru.
Ketiga, bertujuan untuk menjelaskan cara yang tepat dalam mengadakan pembelaan iman Kristen terhadap pemahaman yang salah tersebut.
Pentingnya
Penelitian
Pentingnya
penelitian bagi peneliti adalah memberi bekal dan pengetahuan kepada peneliti
untuk tetap mempercayai bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan memiliki
kepercayaan yang mutlak atas Firman Allah yang merupakan otoritas serta fondasi
kehidupan kekristenan yang mutlak bagi peniliti.
Pentingnya
bagi pembaca adalah supaya setiap orang yang membaca hasil penelitian ini
memiliki keyakinan yang kokoh terhadap Alkitab adalah Firman Allah dan
mendasarkan kehidupan kepada Firman Allah, sehingga memiliki keyakinan yang
kokoh dan fondasi yang kuat untuk menjelaskan kebenaran Alkitab adalah Firman
Allah kepada orang-orang non-Kristen. Dan akhirnya diharapkan untuk dapat
berapologetika ketika menghadapi orang-orang yang datang menyerang Alkitab dan
meragukan Alkitab adalah Firman Allah.
Pentingnya
bagi gereja untuk memberikan sebuah pengertian yang benar agar lebih yakin dan
percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang innerancy.
Pentingnya
bagi dunia Akademis (STT) memberikan infortmasi dan wawasan lebih luas mengenai
pemahaman terhadap Alkitab dan golongan yang seolah-olah membangun tetapi
meruntuhkan Alkitab itu sendiri.
BAB II
LANDASAN TEORI
KETAKSALAHAN (INNERANCY) ALKITAB
Pengertian Innerancy
Istilah
inerrancy merupakan sifat yang tidak dapat salah, khusus dipakai untuk Alkitab.
Inerrancy adalah akar kata dari inerrant yang mengandung pengertian tidak dapat
salah.[5]
Mengenai
innerancy, Norman R. Geisler menyampaikan:
Inerrancy
it self is a relatively young word in the English language. At firs it appears
is though is might be transliteration of the Latin word inerrantia, a particple
form the verb innero. Boethius, who lived in the letter parth of the sixth
century and the early part of the seventh used Latin term inerrantum.[6]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inerrancy adalah sebagai kualitas bebas dari kesalahan yang dimiliki Alkitab. Doktrin inerrancy mengajarkan bahwa Alkitab bebas dari kesalahan atau Alkitab tanpa cacat.[7]
Otensitas Inerrancy Alkitab
Secara
harafiah, Archeology berarti cerita
(percakapan) tentang perkara-perkara purbakala, da nada kalanya orang
menggunakan istilah ini untuk mengacu kepada sejarah purbakala pada umumnya.[8]
Arkeologi Alkitab adalah cabang ilmu yng mencari informasi mengenai sejarah, budaya, dan kebiasaan manusia yang hidup di dunia Alkitab. Banyak bagian Alkitab yang telah membingungkan penafsir akhirnya dapat dimengerti, tatkala berbagai keterangan baru dari berbagai temuan arkeologis dipusatkan pada bagian Alkitab tersebut. Arkeologi juga telah meneguhkan banyak sekali bagian Alkitab yang ditolak oleh para kritikus, karena dianggap tidak sesuai dengan sejarah. Aspek arkeologi ini merupakan bagian berharga dari pembelaan Kitab Suci – suatu disiplin ilmu yang dikenal sebagai apologetika.[9]
Kronologi Alkitab
Chromos (Yunani), yang berarti waktu yang dipandang sebagai sungai yang mengalir – sungai yang tidak dapat dihentikan, tetapi dapat diukur. Kronologi hanyalah penentuan tanggal peristiwa-peristiwa sejarah dalam aliran waktu. Alkitab banyak membahas mengenai kronologi.[10] Alkitab memberi tahu bahwa Allah menyatakan pribadi-Nya pada saat-saat tertentu dalam kurun waktu dan untuk dapat dimengerti hubungan antara penyataan-penyataan Allah dengan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
FAKTA-FAKTA INERRANCY ALKITAB
Wahyu
Revelation, Yunani: Apokalupsis, artinya “penyingkapan” atau “dibuka”. Arti revelation/wahyu secara teologis adalah tindakan Allah dimana melaluinya Ia menyingkapkan diri-Nya sendiri atau mengkomunikasikan kebenaran kepada pikiran, dimana hanya melalui hal itu, makhluk ciptaan-Nya dapat mengenal-Nya. Alkitab merupakan salah satu wujud penyataan ilahi. Bukti bahwa Alkitab adalah wujud penyataan ilahi adalah karena kesatuannya, karena nubuat-nubuat yang digenapi, dan karena penulis Alkitab itu sendiri yang menyebutkan bahwa Allah berfirman melalui para penulis.[11]
Ilham
Dalam
bahasa Inggris ”Inspiration” yang
berasal dari “Inspiro” (Latin)
berarti menghembuskan ke dalam. Dalam Alkitab hanya dipakai dua kali:
Pertama, Perjanjian
Lama (Ibrani – Neshamah, Ayub 32:8)
“nafas”, “hembusan ke luar”.
Kedua, Perjanjian
Baru (Yunani – Theopneustos, 2
Timotius 3:16) “diilhamkan” secara hurufiah: dihembuskan, dimasukkan angin,
dinafaskan Allah. Istilah “Segala tulisan” (pasa
grafe) menunjuk kepada Kitab Suci (hiera
grammata) (ay.15), sehingga yang dimaksud adalah segala tulisan yang
terdapat dalam Kitab Suci. Tulisan-tulisan tersebut dikatakan sudah diilhamkan
Allah, artinya: yang diilhamkan bukan hanya makna, berita atau kata, melainkan
sampai kepada proses penulisan, maka ilham ilahi itu berlaku, sehingga
huruf-huruf itu disebut “Suci” (hiera
grammata) dan Kitab itu disebut “Suci” (Holy Bible, 2 Timotius 3:15).
Ajaran tentang pengilhaman sangat menentukan dalam membangun ajaran tentang ketaksalahan Alkitab. Sebab itu timbul beberapa teori tentang poengilhaman sebagai upaya menentukan posisi Alkitab dalam iman Kristen. Dengan pengilhaman secara menyeluruh berarti bahwa keakuratan sebagaimana yang terjamin dalam pengilhaman secara verbal[12] diperluas kepada setiap porsi Alkitab, sehingga setiap bagian Alkitab tidak dapat keliru dalam hal kebenaran dan menentukan dalam hal kewibawaan ilahi.[13]
Illumination
Istilah penerangan (ilumination) perlu dimengerti dalam kaitan dengan ajaran ketaksalahan Alkitab, terdapat perbedaan mendasar antara penerangan dan penyataan serta pengilhaman. Jadi, penyataan berkaitan dengan komunikasi Allah kepada manusia, dan dalam konteks terjadinya Alkitab, komunikasi tersebut merupakan pengalihan pikiran Allah (divine autor) kepada manusia penulis (human autor) kitab-kitab dalam Alkitab. Pengilhaman berkaitan dengan penulisan naskah asli dalam Alkitab dan penerangan berkaitan dengan bagaimana memahami Firman Allah yang ditulis.[14]
Kanonisasi Alkitab
Kanon
adalah sebagaimana adanya karena inspirasi yang objektif, berotoritas dari
Tuhan. Kanonitas tidak bergantung pada manusia dan gereja, kanonitas bergantung
pada Tuhan sendiri, alkitab adalah kebenaran yang objektif dan oleh karena itu
kanon secara objektif merupakan kanon tulisan suci.[15]
Di
sinilah perbedaan kualitatif dan kuantitatif harus diakui, Allah adalah sang
penulis kanon-Nya dan kanon tersebut membuktikan diri-Nya sendiri. Roh Allah
melalui providensia-Nya mengawasi pengakuan kanon Gereja Allah dalam kekekalan
telah menentukan kanon menjadi sebagimana adanya sekarang.
Dengan mempertimbangkan isi dan kesatuan Alkitab yang kanonik harus menyimpulkan bahwa Alkitab merupakan wujud penyataan Ilahi. Siapakah yang sanggup menciptakan pandangan dunia dan pandangan hidup semacam itu? Penulis siapakah yang dapat menguraikan pandangan itu dengan demikian konsisten dan berkesinambungan sepanjang kurun waktu yang sedemikian lama?
BAB III
KRISIS EPISTEMOLOGI BART EHRMAN
Teori
Bart Ehrman yang menolak reliabilitas Perjanjian Baru, diawali dari krisis
epistemology yang dialami Bart Ehrman ketika berada di Pricenton Theological
Seminary. Saat itu, Bart Ehrman melakukan eksegesis Markus 2:25-26 Nama Abyatar
ternyata menggangu pikiran Bart Ehrman, karena kisah yang dikutip dari 1Samuel
21:1-6 tersebut justru merujuk bukan nama Abyatar, melainkan Ahimelek, ayah
Abyatar. Ditambah lagi Profesor Story yang mengatakan kepada Bart Ehrman, bahwa
Markus mungkin memang membuat kesalahan. Pernyataan professor menuntun Bart
Ehrman bersikap skeptic yang berujung pada agnostic.
Dan
Bart Ehrman memulai sebuah kesadaran baru yang didorong skeptisme dengan
mengatakan, “Begitu saya membuat
pengakuan itu, terbukalah pikiran saya. Karena jika di dalam Markus 2 terdapat
satu kesalahan kecil dan remeh, bisa jadi ada kesalahan di bagian-bagian
leinnya juga”.[17]
Meskipun
Bart Ehrman lulusan Pricenton Theology, namun tidak semua pakar lulusan
Pricenton berpikir dan mengambil kesimpulan yang sama dengan Bart Ehrman. Dick
Wilson yang dijulukki “memiliki kewibawaan terkemuka terhadap bahasa-bahasa
kuno di Timur Tengah” lulus dari Pricenton pada usia 20 tahun dan memiliki
kemampuan membaca naskah Perjanjian Baru dalam 9 bahasa. Kemudian mempelajari 45
bahasa, termasuk semua bahasa dalam Kitab Suci yang telah diterjemahkan sebelum
tahun 600 M.
Dalam berbagai
risetnya, Wilson berkesimpulan:[18]
“Saya telah sampai pada pengakuan bahwa tidak ada satu orang pun yang cukup mengetahui untuk menyerang ketelitian Kitab Perjanjian Lama. Setiap saat ketika seseorang yang telah memiliki kemampuan untuk mengumpulkan bersama-sama dokumen bukti yang cukup untuk melakukan investigasi, bahwa fakta biblika dalam naskah asli memiliki keterujian yang menakjubkan”.
Mengapa
pakar yang sama dari sekolah yang sama memiliki kesimpulan dan sikap akhir yang
berbeda? Bukan dikarenakan Bart Ehrman lebih superior secara akademis. Ini
lebih pada persoalan titik berangkat (Pra-paham) dan soal iman. Kedua hal ini
mempengaruhi semua keputusan seseorang.
BAB IV
TANGGAPAN KRITIS
TERHADAP BIBLIOLOGI BART D. EHRMAN, Ph.D.
1. Kritik
Atas Pra-paham Bart Ehrman
DR. Craig Evans menggunakan istilah “titik awal yang
salah” untuk menggambarkan berbagai pernyataan para teolog Kristen yang
menempuh jalan berpikir liberal dan menihilkan nilai kesucian Alkitab. Terhadap
pokok pikiran yang menjadi titik awal yang salah, Craig Evans memberikan
komentar, sebagai berikut:
“Karena dimulai dari titik awal yang salah, yang sering tidak lebih dari dugaan dan merupakan kesimpulan yang tidak didokumentasikan dan dibukukan, tidak heran jika banyak bahan dalam Injil Perjanjian Baru dipandang tidak autentik dan tidak historis”.[19]
Peneliti
melihat bahwa sikap awal Ehrman yang mulai meragukan otoritas dan kesejarahan
Kitab Perjanjian Baru yang menjadi pintu masuk baginya untuk membuat
klaim-klaim keliru berikutnya. Saat Ehrman meragukan laporan Markus 2:25-26 dan
membuat pernyataan, “Begitu saya membuat
pengakuan itu, terbukalah pikiran saya. Karena jika di dalam Markus 2 terdapat
kesalahan di bagian-bagian lainnya juga”.[20]
Benarkah
Markus 2:25-26 merupakan sebuah kekeliruan? Benarkah Yesus salah mengutip nama?
Jika memang benar ada kekeliruan yang dilakukan penulis Injil Markus atau
bahkan Yesus, mengapa kekeliruan itu begitu menyolok dan dibiarkan tertulis
dalam Kitab Suci? Justru dengan Kitab Suci menuliskan bahwa nama Abyatar dan
bukan Ahimelekh ini menuntun orang percaya pada kenyataan bahwa ada persoalan
yang harus dipecahkan mengapa Yesus mengatakan Abyatar dan bukan Ahimelekh,
daripada tergesa-gesa menyebutnya sebagai “Misquoting Jesus” (Kesalahan
pengutipan oleh Yesus)
Terhadap
permasalahan di atas, DR. Gleason L. Archer Jr dalam bukunya Encylopedia of Bible Difficulties menjelaskan
persoalan tersebut, jauh-jauh hari sebelum Bart Ehrman mempermasalahkannya.
Gleason menganalisis frasa Yunani epi
Abiathar archieireoos bukan “waktu
Abyatar menjabat sebagai Imam Besar”. Melainkan “pada zaman imam Abyatar”. Alasannya, kata Yunani epi mempunyai bermacam arti dan pada
konteks ayat ini bermakna masa atau zaman.[21]
Yesus tidak mengatakan bahwa yang memberikan roti kepada Daud adalah Abyatar
namun Yesus hendak mengatakan bahwa pada zaman imam Abyatar yang menggantikan
Ahimelekh, Daud pernah menerima pemberian roti kudus dari Ahimelekh.
J.
A. Alexander memberikan jawaban terkait persoalan Markus 2:26, sebagai berikut;
“It is best, however, as in all such cases, to leave the discrepancy unsolved rather than to solve it by unnatural and forced construction. A difficulty may admit of explanation, although we may not able to explain it, and the multitude of cases in which riddles once esteemed insoluble have since been satisfactory seetled, should encourage us to hope for like results in other cases…”.[22]
2. Keaslian
Perjanjian Baru Tidak Diragukan, Sekalipun yang Tersisa Hanya Salinannya
Menurut Ehrman, naskah asli Kitab
Perjanjian Baru disangsikan untuk ditemukan keberadaanya sebagaimana dikatakan:
“Selain itu, sebagian orang Kristen di sepanjang sejarah gereja tidak memiliki akses untuk membaca naskah aslinya, sehingga keterilhaman naskah-naskah itu dipertanyakan. Kita bukan hanya tidak memiliki naskah aslinya, kita juga tidak memiliki salinan pertama dari naskah aslinya. Kita bahkan tidak memiliki salinan dari salinan naskah aslinya. Yang kita miliki adalah salinan yang dibuat lama kemudian-sangat lama kemudian”.[23]
Memang benar bahwa Kitab Perjanjian Baru
yang tersedia kini dalam bahasa Yunani adalah salinan dari salinan bukan naskah
aslinya. Bukan hanya Kitab Perjanjian Baru, namun semua Kitab Suci agama-agama
(Islam, Hindu, Budha, dll) tidak memiliki naskah asli yang ditulis tangan
pertama kali. Yang ada salinan dari salinan.
Data-data berikut menepis keraguan bahwa
naskah salinan telah menyimpang dari naskah aslinya.
Pertama,
kesaksian bapa gereja.
Tertulianus berkata:
“Marilah
hai engkau yang memerlukan lebih banyak jawaban untuk keselamatanmu, datanglah
ke gereja-gereja Apostolik yang masih memiliki dan membacakan tulisan-tulisan
otentik dari para rasul serta menampilkan wajah beberapa dari mereka”.[24]
Darrel L. Bock dan Daniel B. Wallace
memberikan komentar atas pernyataan Tertulianus:
Dalam skenario terburuk pun, pernyataan Tertulianus menunjukkan bahwa orang-orang Kristen pada saat itu cukup peduli untuk menyimpan salinan yang akurat dan tidak mengabaikan naskah-naskah yang awal. Tetapi setelah Tertulianus tidak ada lagi saksi yang mengklain hal yang sama. Ini dapat menjadi indikasi bahwa naskah-naskah asli telah hilang sejak akhir abad ketiga”.[25]
Kedua, jumlah salinan Perjanjian Baru. Ada lebih dari 5.300
salinan manuskrip dalam bahasa Yunani Kuno (MSS) dan berbagai fragment Kitab
Perjanjian Baru Yunani yang tetap bertahan sama hari ini. masih ditambah 10.000
Kitab Vulgata berbahasa Latin dan lebih dari 9.300 berbagai versi manuskrip
awal dalam bahasa Siriak, Kopti, Armenian, Gotik, dan Etiopik sehingga jumlah
keseluruhan ada lebih dari 24.000 manuskriop Kitab Perjanjian Baru yang masih
bertahan. Sedikit perubahan dan variasi dalam manuskrip tidak berpengaruh
satupun pada doktrin Kekristenan, bahkan tidak mengubah pesan apapun di
dalamnya.[26]
Tertulian menyatakan pada tahun 150 AD,
bahwa Gereja di Roma telah menyusun daftar Kitab Perjanjian Baru yang cocok
dengan daftar Alkitab Perjanjian Baru saat ini, yang memiliki 32.000 kutipan
dari periode sebelum 325 AD, dari Irenaus (182-188 AD), dari Justin Martyr (150
AD), Polycarpus (107 AD), Ignatius (100), Clement (96 AD) dan banyak lagi dari
Bapa Gereja abad Kedua dan Ketiga.
Ketiga, bukti manuskrip tertua. Kekristenan memiliki sejumlah
manuskrip yang cukup tua dengan usia penulisan sekitar tahun 300-400 an yaitu
Kodek Sinaitikus (Codek Aleph) dan Kodek Vatikanus (Codek B). kedua kodek di
atas lazim disebut dengan Kodek Alexandria. Kodek Sinaiticus ditemukan di Biara
St.Catharina yang didirikan oleh Kaisar Justianus pada abad VI Ms di bawah kaki
Gunung Sinai. Penemunya adalah Lobegott F.C Von Tischendorf pada tahun 1844.
Sementara Kodek Vatikanus merupakan hadiah yang diberikan Gereja Orthodok bagi
Paus di Vatikan tepatnya di perpustakan Paus pada tahun 1481. Kodek ini tidak
diperkenankan dibaca oleh umum hingga tahun 1889.
Kedua kodek ini dipakai rujukan untuk
membuat salinan naskah Yunani Kitab Perjanjian Baru oleh Brooke F. Wescott (1825-1901)
dan Fenton A. Hort (828-1892) yang kemudian menjadi rujukan terjemahan bagi
RSV, NIV, ASV, GNFTV.
Sekalipun dari usia kertas, Kodek
Sinaitikus dan Kodek Vatikanius lebih tua dari Kodek Byzantium yang kerap
disebut Textus Receptus dan Mayority Teks yang menjadi rujukan bagi
penerjemahan KJV, namun beberapa ahli Kritik Teks meyakini bahwa naskah
Bizantium didasarkan pada naskah yang lebih tua yang disebut Peshitta dalam
bahasa Aramik (sekalipun beberapa ahli berpendapat bahwa Peshitta adalah terjemahan
dari naskah Byzantin berbahasa Yunani).
Terjemahan Kitab Suci yang menggunakan
Textus Receptus sebagai rujukan adalah: Complutensian Polygot (1514-1522),
Edisi Desidarius Erasmus (1516-1535), Edisi Colinaus (1534), Robert Estienne
(1546-1551), karya Theodore Beza dan John Calvin (1565-1604), karya Elzevir
(1624, 1633, 1641). Kodek Byzantium di dasarkan pada naskah Peshitta (Aramik)
dan Curentonian Syriac yang dituliskan sekitar tahun 170 M (berbeda dengan
Sinaitikus dan Vatikanus yang dituliskan sekitar tahun 300-400 an).
Ketiga, perbandingan dengan naskah asli kuno lainnya. F.F.
Bruce mengatakan, “Mungkin kita akan
menghargai kekayaan Perjanjian Baru dalam hal pembuktian keaslian naskah kalau
kita membandingkannya dengan bahan naskah dari karya-karya kuno lainnya”.[27]
Buku “Perang Galia” karya Julius Caesar tahun 58-50 sM, masih menyisakan naskah
sebanyak sebilan atau sepuluh atau sepuluh dan yang tertua berusia 900 tahun
setelah Caesar. Buku “Sejarah Roma” karya Livius sebanyak 142 jilid hanya
tersisa tidak lebih dari 20 naskah, itupun berasal dari abad IV M. Buku
“Histories” karya Tcitus sebanyak 16 jilid hanya tersisa 4,5 jilid. Buku
“Sejarah Thucydides” yang tersisa tinggal 8 naskah dan usia yang tertua adalah
900 M. Bruce memberikan komentarnya perihal perbandingan Kitab Perjanjian Baru
dengan naskah-naskah kuno tersebut demikian, “Tetapi betapa berbedanya keadaan Perjanjian Baru dalam hal ini!
Kecuali dua naskah yang sangat penting dari abad keempat yang telah disebut
dimuka, yang paling tua dan kira-kira ribuan yang kita kenal, sangat banyak
bagian-bagian dari salinan papyrus dari buku-buku Perjanjian Baru yang waktunya
100-200 tahun lebih dulu”.[28]
Bukti-bukti di atas menampik keraguan yang
dilontarkan Ehrman bahwa naskah salinan Perjanjian Baru patut diragukan
validitasnya karena tidak memiliki naskah asli. Ribuan naskah salinan bahkan
sampai tahun yang terdekat dengan 100 Ms memberikan bukti pemeliharaan dan
kedekatan naskah aslinya.
Darrel L. Block dan Daniel B. Wallace
memberikan penegasan, “Jadi, terlepas
dari apakah kita memiliki atau tidak memiliki salinan dari salinan, saat ini
kita memiliki salinan yang secara kolektif cukup layak untuk membawa kita pada
isi teks asli, kecuali dalam beberapa bagian yang sangat kecil”.[29]
3. Perbedaan
Salinan Tidak Mengubah Pesan Asli dan Tidak Mengubah Doktrin
Pandangan Ehrman berikutnya mengatakan
bahwa salinan naskah Perjanjian Baru dibuat berabad-abad kemusian dan memiliki
perbedaan yang signifikan sebagaimana dikatakan:
“Dalam banyak kasus, salinan-salinan itu dibuat berabad-abad kemudian. Dan salinan-salinan itu berbeda satu dengan yang lainnya, dan bagian yang berbeda berjumlah ribuan. Sebagaimana akan kita lihat dalam buku ini, salinan itu berbeda satu dengan yang lainnya dalam begitu banyak bagian sehingga kita bahkan tidak tahu berapa banyak perbedaan yang sebenarnya ada. Mungkin hal itu bias lebih mudah dipahami dengan perbandingan berikut: jumlah perbedaan yang terdapat diantara manuskrip-manuskrip kita lebih banyak daripada jumlah kata-kata dalam Perjanjian Baru”.[30]
Bagaimana menanggapi pertanyaan Ehrman
perihal jumlah kesalahan salinan teks dalam Perjanjian Baru Yunani?
Apakah yang dimaksud dengan variasi teks?
Variasi teks adalah perbedaan kata dibagian manapun dalam manuskrip dan dapat
berupa perbedaan susunan kata, pengurangan atau penambahan kata bahkan
perbedaan ejaan. Jadi perbedaan paling remeh pun dihitung sebagai variasi.
Demikian juga, satu manuskrip berbeda dengan semua yang lain pun dihitung
sebagai variasi.[31]
Darrel L. Bock Daniel B. Wallace membagi jenis variasi menjadi empat bagian,
sebagai berikut:
1.
Perbedaan
ejaan
2.
Perbedaan
minor karena merupakan sinonim atau perbedaan kata yang tidak memengaruhi
terjemahan.
3.
Perbedaan
berarti, tetatpi tidak masuk akal kalau diikuti.
4.
Perbedaan
berarti, dan masuk akal untuk diikuti.[32]
Dari hasil penelitian para ahli, mayoritas
variasi teks yang ditemui adalah perbedaan ajaan belaka. Ketika membahas point
keempat, “Perbedaan berarti dan masuk akal untuk diikuti”, Darrel L. Block dan
Daniel B. Wallace memberikan ulasan, “Singkatnya,
kurang dari 1% dari seluruh variasi teks merupakan perbedaan yang berarti dan
masuk akal atau “bisa jalan” dan perbedaan yang “berarti” itupun bukanlah
perbedaan yang sangat signifikan, melainkan hampir selalu merupakan arti teks
yang minor”.[33]
DR. Daniel Wallace secara terpisah dalam
artikelnya menanggapi pernyataan Ehrman sebagai berikut, “In other words, the idea that the variants in the NT manuscripts alter
the theology of the NT is overstated at best”.[34]
Bahkan Wallace menyebut upaya Ehrman tersebut seperti menakuti anak ayam dalam
komunitas Kristen khususnya bagi mereka yang awal teologi dan ilmu Kritik Teks
sehingga membuat kepanikan. Selanjutnya Wallace menegaskan, “Regarding the evidence, suffice it to say
that significant textual variants that alter core doctrines of the NT have not
yen been produced”.[35]
Dengan demikian, jumlah varian teks yang
jumlahnya sangat fantastis merupakan tugas tersendiri bagi ahli Kritik Teks
Perjanjian Baru untuk menentukan pada ucapan yang paling dekat dengan aslinya
ketimbang merisaukan hal itu sebagai sebuah ancaman terhadap validitas iman
yang didasarkan pada teks Perjanjian Baru Yunani.
4. Perubahan
Naskah atas Dasar Kepentingan Teologis – Tidak Ada Pengaruhnya atas Keaslian
Perjanjian Baru
Ehrman menilai bahwa telah terjadi
kesalahan penyalinan Kitab Perjanjian Baru pada awal abad penyalinan sehingga
berdampak pada penyalinan pada abad-abad berikutnya sebagaimana ditegaskan
sebagai berikut:
“Karena naskah-naskah Kristen masa awal tidak disalin oleh para penyalin professional, setidaknya pada abad kedua dan ketiga, tetapi hanya oleh anggota terpelajar jemaat Kristen yang bisa melakukannya dan mau melakukannya, kita bisa berkesimpulan bahwa kesalahan penyalinan banyak terdapat terutama di dalam salinan terawal. Sesungguhnya, kita memiliki bukti kuat bahwa seperti itulah yang terjadi, karena orang-orang Kristen, yang membacakan naskah-naskah itu dan berupaya mengetahui apa kata-kata asli yang ditulis penulisnya, kadang-kadang mengeluhkan hal tersebut”.[36]
Ehrman juga menyatakan, bukan hanya
terjadi kesalahan penyalinan pada abad-abad awal, bahkan terjadi pengubahan
naskah saat menyalin dengan dimotivasi tujuan teologis agar tidak terjadi penyalahgunaan
oleh para bidah demi kepentingan teologi mereka.
“Para penyalin yang merupakan penganut tradisi ortodoks ternyata sering mengubah naskah yang mereka salin, kadang-kadang untuk menghapuskan kemungkinan adanya ‘penyalahgunaan’ naskah-naskah itu oleh orang Kristen yang ingin menguhkan kepercayaan bidah merekan dan kadang-kadang untuk membuat agar naskah-naskah itu lebih sesuai dengan doktrin-doktrin yang dipegang oleh orang-orang Kristen penganut tradisi ortodoks”.[37]
Perdebetan-perdebatan teologis di atas
menurut Ehrman sangat memengaruhi para penyalin Kitab Suci saat melakukan tugas
penyalinan. Ehrman memberikan 3 kasus pengubahan yang dilandasi motivasi
teologis yaitu “Pengubahan
Antiadopsionistik”, “Pengubahan Antidocetik”, “Pengubahan Antiseparasionis”.
Bagaimana menanggapi fakta adanya berbagai
perubahan penyalinan yang dimotivasi kepentingan teologis tersebut? Dalam hal
ini peneliti tidak ingin bereaksi berlebihan dengan melakukan bantahan atas
data-data yang disajikan Bart Ehrman. Untuk pembahasan ini, peneliti justru
berterimakasih atas kajian Ehrman yang hendak memberikan informasi kepada
pembaca non teologi bahwa perubahan penyalinan Kitab Suci yang dimotivasi oleh
kepentingan-kepentingan teologis adalah fakta yang tidak dapat disangkal. Sebagaimana
Darren L. Bock dan Daniel B. Wallace menuliskan, “Ehrman telah berjasa besar terhadap kaum akademik dengan mendatakan
secara sistematik banyak perubahan tersebut dalam buku The Orthodox Corruption
of Scripture”.[38]
Namun selanjutnya kedua ahli Perjanjian Baru tersebut menambahkan komentarnya, “Namun seberapa besar perubahan-perubahan
tersebut dan apakah menghilangkan selamanya isi teks Perjanjian Baru? Fakta
bahwa Ehrman dan ahli kritik teks dapat menemukan perbedaan bahkan dapat
menentukan yang mana teks asli justru mengindikasikan bahwa isi teks otentik
tidak hilang”.[39]
Kesimpulannya, apapun perubahan penyalinan
yang terjadi, masih dapat dilacak dengan melimpahnya berbagai salinan dan
bukti-bukti manuskrip. Dan terlebih penting, sejumlah ayat-ayat yang dikaji
oleh Ehrman dan dikritisi, tetap tidak memengaruhi doktrin utama Kekristenan.
5. Mempersoalkan
Pemutlakan Manuskrip Rujukan Ehrman
Dalam membangun teorinya Ehrman
melandaskan pada rujukan manuskrip Kodeks Sinaitikus dan Kodeks Vatikanus yang dianggap
paling terbaik. Dalam Bab IV bukunya, Ehrman memberikan penilaian mengenai
kedua kodeks tersebut, sebagai berikut:
“Dua
manuskrip Naskah Netral yang paling terkemuka, menurut Westscoot dan Hort
adalah Kodeks Sinaitikus (yang dikemukakan oleh Tischendorf) dan terlebih lagi,
Kodeks Vatikanus, yang ditemukan di perpustakaan Vatikan. Kedua manuskrip itu
adalah yang tertua yang dimiliki oleh Westcoot dan Hort, dan menurut penilaian
mereka, kedua manuskrip itu jauh lebih unggul daripada manuskrip lain mana pun,
karena keduanya merupakan Naskah Netral”.[40]
Dalam Bab V, kedua kodeks (Sinaitikus dan
Vatikanus) tersebut mendominasi kajian kritis Ehrman untuk membuktikan bahwa
manuskrip ini memuat Perjanjian Baru yang paling awal, karena berbeda dengan
banyak naskah-naskah Perjanjian Baru yang banyak beredar dan diterjemahkan
dalam banyak bahasa.
Ayat-ayat yang dipersoalkan dan
diperbandingkan dengan Kodeks Sinaiticus dan Vaticanus, ialah; Markus 1:41,
Lukas 22:43-44, Ibrani 2:8-9. Dalam kasus Markus 1:41, Ehrman mempersoalkan
frasa “Dan Dia (Yesus) merasa kasihan” (Yun:Splangnistheis)
atau “Dan Dia (Yesus) menjadi marah” (Yun:
Orgistheis). Dengan merujuk pada Kodeks Bezae, Ehrman lebih memilih bahwa frasa
aslinya adalah “Dan Dia menjadi marah”.[41]
Dalam kasus Lukas 22:43-44, Ehrman meragukan isi kalimat yang menggambarkan
penderitaan Yesus dengan mengeluarkan keringat darah, padahal seluruh gambaran
Lukas dalam seluruh pasal tersebut menggambarkan Yesus yang tenang. Kecurigaan
Ehrman didukung dengan manuskrip yang lebih tua yang tidak menuliskan dua ayat
tersebut. Mengenai Ibrani 2:8-9, Ehrman meragukan otensitas frasa, “dengan kebaikkan hati Tuhan” (Yun:
Choris Theou). Dengan merujuk dua manuskrip lain yang berbeda yang mengatakan, “dengan terpisah dari Tuhan” (Yun:
Choris Theou), Ehrman memiliki frasa ini yang tersedia pada Abad X yang
menuliskan hal sama dan pernyataan-pernyataan Origen, Ambrose dan Yerome.[42]
Bagaimana menanggapi pernyataan Ehrman
perihal manuskrip tertua yaitu Vatikanus dan Sinaitikus yang isinya lebih valid
karena dibuat dari Abad 3 Ms dan 4 Ms dibandingkan Textus Receptus atau
Received Text yang menjadi rujukan terjemahan King James Version?
Dengan memetakan teori dan sikap para
peneliti naskah dan manuskrip kuno, peneliti dapat menentukan sikap mana yang
paling baik dan proporsional dalam menilai perihal manuskrip mana yang lebih
layak dijadikan sumber terjemahan.
Sikap yang ditempuh para ahli seperti
Daniel Wallace, Ben Witherington, Craig Evans merupakan sikap proporsional yang
baik untuk dijadikan rujukan. Tanpa berprasangka negatif terhadap manuskrip
Alexandria (Kodeks Sinaitikus dan Vatikanus) seharusnya menempatkan manuskrip
ini sebagai bagian dari analisis dan kajian kritik teks Kitab Suci. Dengan
tetap mempertimbangkan dalam penilaian kritis serta tidak menganggap sepi
argumentasi-argumentasi dan kajian yang dilakukan oleh kelompok yang menolak
validitas Kodeks Sinaitikus dan Vatikanus.
Baik Ehrman maupun Wallace sama-sama
mengakui validitas Kodeks Sinaitikus dan Vatikanus. Namun, yang membedakan para
tokoh tersebut adalah keputusan teologis yang diambil terhadap keberadaan
Kodeka Sinaitikus dan Vatikanus yang dianggap lebih tua usianya sekalipun
banyak ayat-ayat yang tidak tercantum dan berkontradiksi dengan Kodeks
Bizantin.
Jika Ehrman menganggap sejumlah ayat yang
dianalisis dari manuskrip Alexandria seperti Yohanes 7:53-8:11, Markus 16:9-20,
1 Yohanes 5:7-8, Markus 1:41, Lukas 22:43-44, Ibrani 2:8-9 memengaruhi doktrin
Kristen. Sikap berbeda ditunjukkan oleh Daniel Wallace, Craig Evans, Ben
Witherington, Darrel Bock justru tidak melihat bahwa ayat-ayat tersebut
berpengaruh terhadap doktrin utama Kristen. Bahkan ayat-ayat tersebut tidak
berpengaruh pula terhadap status keilahian Yesus.
Entahkah kisah perempuan yang kedapatan
berzinah (Yoh.7:53-8:11) tercantum atau tidak tercantum dalam Kitab Suci, itu
tidak memengaruhi keilahian Yesus maupun kepribadian Yesus sebagai Mesias.
Entahkah formula Bapa, Anak, Roh Kudus (1Yoh.5:7-8) tercantum atau tidak
tercantum dalam naskah asli Perjanjian Baru, tidak pula meragukan doktrin
kesetaraan dan kesehakikatan Bapa, Anak, Roh Kudus karena sumber-sumber dari
TaNaKh atau Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru lainnya berlimpah-limpah.
Entahkah Markus 16:9-20 adalah tambahan kemudian dari manuskrip Alexandria
tidak tercantum, sama sekali tidak memengaruhi doktirn Kristen perihal kuasa
dalam nama Yesus yang dapat mengusir setan dan roh-roh jahat. Entahkah Yesus
marah atau berbelas kasihan (Mar.1:41) yang jelas ayat ini tidak memengaruhi
pribadi Yesus karena Injil dan Perjanjian Baru mencatat sikap Yesus tersebur
sebagai bagian alamiah dari kemanusiaannya yang sempurna.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, Alkitab adalah Firman Allah yang inerrant yang
diilhamkan oleh Roh Allah sendiri kepada para penulis Alkitab. Ada tiga pokok
yang membangun pengajaran tentang Inerrancy Alkitab, yaitu penyataan,
pengilhaman, dan penerangan.
Kedua, pemahaman Bart Ehrman yang meragukan
reliabilitas Perjanjian Baru tersebut, di latar belakangi oleh krisis
epistemologi yang dialami oleh Bart Ehrman sejak berada di Princenton Theological
Seminary. Krisis epistemologi itu juga membuat Bart Ehrman memiliki sikap
skeptis yang berujung pada agnostic hingga kini.
Ketiga, pemahaman Bart Ehrman yang meragukan reliabilitas Perjanjian Baru adalah pemahaman yang salah. Perjanjian Baru bersifat reliabil baik dilihat dari sudut pandang salinan, terjemahan, dan manuskrip yang dirujuk.
B. Saran
Di akhir penulisan penelitian ini, penulis
memperhatikan pentingnya orang Kristen untuk tidak terpengaruh terhadap teologi
Liberal yang semakin berkembang, yang meragukan Alkitab adalah Firman Allah
yang inerrant. Dengan kemampuan yang Tuhan berikan, penulis dapat menyelesaikan
penulisan penelitian ini dengan keterbatasan, maka dengan demikian penulis
membutuhkan beberapa saran yang membangun lebih baik lagi.
Pertama, untuk perkembangan teori dan penelitian
lebih lanjut, penulis menyarankan peneliti yang berniat melanjutkan penelitian
ini untuk melakukan kajian lebih dalam lagi mengenai penyalinan dari
naskah-naskah asli ke naskah Alkitab dan menganalisa perbedaannya dengan bahasa
yang digunakan dalam naskah-naskah salinan, agar kesahian Alkitab tidak dapat
disangkal oleh orang-orang non Kristen atau para teolog Liberal.
Kedua, perlu memberikan waktu yang cukup banyak
dalam membahas Bibliologi dalm kelas-kelas teologi, karena hal ini menjadi
dasar untuk pemberita Injil kepada orang-orang yang belum percaya.
Ketiga, di atas semuanya itu penulis sangat
menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dalam kepenulisan penelitian
ini. dengan demikian penulis sangat membutuhkan beberapa masukan dari para
penilai.
[1] DR. Arnold Tindas, Inerrancy Ketaksalahan Alkitab (Jakarta:
HITS, 2007), 9-10.
[2] Ir. Harold Tindas, Menyibak Kontroversi Dugaan Ketidakasliaan
Alkitab” (Yogyakarta: Andi Offset, 2009), 1.
[3] Ibid, 1.
[4] Ibid, 1.
[5] Henk Ten Napel, Kamus Teologi Inggris-Indonesia (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2002), 174.
[6] Norman R. Geisler, The Meaning of Innerancy (Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 1980), 21.
[7] W. Gray Crampton, Verbum Dei (Surabaya: Momentum, 2008),
63.
[8] J.L. Packer, Ensiklopedi Fakta Alkitab (Malang: Gandum Mas, 2003), 131.
[9] Joseph P. Free dan Howard F. Vos, Arkeologi dan Sejarah Alkitab (Malang:
Gandum Mas, 2001), 13.
[10] J.L. Packer, Ensiklopedi Fakta Alkitab, 49.
[11] DR. Arnold Tindas, Inerrancy Ketaksalahan Alkitab, 11.
[12] Pengilhaman Verbal yaitu setiap
kata dalam Alkitab dinafaskan oleh Allah.
[13] Dr. Arnold Tindas, Innerancy Ketaksalahan Alkitab, 174.
[14] Ibid., 176.
[15] W. Gary Crampton, Verbum Dei, 48
[16] Dr. Arnold Tindas, Inerrancy Ketaksalahan Alkitab, 258.
[17]
Misquoting
Jesus, Kesalahan Penyalinan dalam Perjanjian Baru: Kisah dibalik Siapa Yang
Mengubah Alkitab Dan Apa Alasannya, Jakarta: Gramedia Pustaka
Tama 2006, hal xxiii
[18]
Ibid.
[19] Craig A.
Evans, Merekayasa Yesus: Membongkar Pemutarbalikkan Injil Oleh Ilmuwan
Modern, Yogyakarta: Andi Offset 2005, hal 22
[20] Misquoting
Jesus, Kesalahan Penyalinan Dalam Perjanjian Baru: Kisah dibalik Siapa Yang Mengubah Alkitab Dan Apa Alasannya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Tama 2006, hal xxiii
[21] Ir.
Harold Lolowang, Menyibak
Kontroversi Dugaan Ketidakasliaan Alkitab”, hal
217
[22] Daniel
Wallace, Mark 2:26 and the Problem of Abiathar
[23] Misquoting
Jesus, Kesalahan Penyalinan dalam Perjanjian Baru: Kisah Dibalik Siapa Yang Mengubah Alkitab Dan Apa Alasannya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Tama 2006, hal xxiv
[24] Mendongkel
Yesus Dari Tahtanya: Upaya Mutakhir Untuk Menjungkirbalikkan Iman Gereja Mengenai Yesus Kristus, Jakarta:
Gramedia 2009, hal 541
[25] Ibid.,
55
[26] New
Testament Ancient Manuscripts,
http://biblefacts.org/history/oldtext.html
[27] Dokumen-Dokumen
Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia
1993, 12
[28] Ibid.,
13
[29] Mendongkel
Yesus Dari Tahta-Nya, 61.
[30] Misquoting
Jesus, Kesalahan Penyalinan dalam Perjanjian Baru: Kisah Dibalik Siapa Yang Mengubah Alkitab Dan Apa Alasannya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Tama 2006, xxiv.
[31] Mendongkel
Yesus Dari Tahtanya: Upaya Mutakhir Untuk Menjungkirbalikkan Iman Gereja Mengenai Yesus Kristus, Jakarta:
Gramedia 2009, 64.
[32] Ibid.,
hal 65
[33] Ibid.,
68
[34] DR.
Daniel B. Wallace, Th.M., Ph.D., Review ofBart D. Ehrman, Misquoting Jesus:
The Story Behind Who Changed the Bible and Why http://bible.org/article/review-bart-d-ehrman-imisquoting-jesus-story-behind-whochanged-bible-and-whyi-san-francisco
[35] Ibid.,
[36] Misquoting
Jesus, Kesalahan Penyalinan dalam Perjanjian Baru: Kisah Dibalik Siapa Yang Mengubah Alkitab Dan Apa Alasannya, Jakarta:
Gramedia Pustaka Tama 2006, 43.
[37] Ibid.,
hal 45
[38] Mendongkel
Yesus Dari Tahtanya: Upaya Mutakhir Untuk Menjungkirbalikkan Iman Gereja Mengenai Yesus Kristus, Jakarta:
Gramedia 2009, hal 72
[39] Ibid.,
[40] Ibid.,
hal 136-137
[41] Ibid.,
hal 148
[42] Ibid.,
hal 163
0 Response to "INERRANCY ALKITAB (Sebagai Suatu Tanggapan Kritis Terhadap Serangan Bart D. Ehrman, Ph.D. Mengenai Reliabilitas Kitab Perjanjian Baru)"
Posting Komentar