GEREJA TIDAK BERJALAN DALAM MISI ILAHI

 


Photo by: Pexels

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gereja merupakan kesatuan tubuh Kristus memiliki catatan sejarah yang panjang dalam merekam pergerakan pertumbuhannya. dalam proses pertumbuhan itu, gereja selalu berdaptasi dengan konteks masa di mana gereja hidup. Perubahan-perubahan yang terjadi mengenai pola hidup gereja menjadi bukti bahwa gereja bersifat dinamis dan hidup. Tetapi tidak disangkal juga, di era dunia modern sekarang ini, keberadaaan gereja yang justru mengutamakan ‘gereja-gereja lokal’ masing-maing, telah mengaburkan misi Allah yang diembannya. Gereja berupaya menarik banyak orang, supaya datang ke gerejanya sebagai indikator keberhasilannya dalam melakukan misi ilahi tersebut. Padahal fenomena ini menjadi sebuah ironi yang sangat kontras dengan misi ilahi yang Tuhan Yesus ajarkan dalam Kitab Suci.

Gereja perlu membuka mata hatinya supaya berbalik kembali menatap misi ilahi yang diterima sebagai esensi keberadaannya, yakni menjadi katalisator di dunia dan membawa Kabar Baik bagi dunia yang terhilang ini, dengan berbagai sekularismenya. Di samping itu, sebagai duta Allah, maka gereja mempunyai  tanggung jawab  untuk mendatangkan kerjaan-Nya di dalam dunia ini. Berkaitan dengan hal ini, berarti bahwa Kerajaan Allah adalah sebuah sistem pemerintahan yang berjalan sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Gereja yang mampu memahami paradigma ini akan hidup bergerak untuk melakukan misi ilahi tersebut, karena dunia ini sedang sibuk dengan pergumulannya pada masalah hidup pada saat ini. Tantangan bagi gereja untuk dapat menolong orang-orang yang berada di luar gereja melihat sebuah cara pandang yang ada di atasnya yaitu keberadaan Tuhan di dalam relaita kehidupan.

Permasalahan selanjutnya adalah adanya kecenderungan gereja pada era modern sekarang ini yang tidak terlibat aktif dalam pewartaan Injil atau bermisi. Pertumbuhan yang terlihat sekarang ini di dalam gereja lebih banyak disebabkan dari faktor biologis (keturunan) atau yang paling ironi adalah perpindahan anggota jemaat dari gereja yang satu dengan gereja yang lainnya. Fokus gereja untuk melakukan misi hanya dibebankan kepada para misionaris atau hamba-hamba Tuhan secara khusus. Padahal jika dilihat dengan baik-baik, sesungguhnya amanat Tuhan Yesus Kristus itu berlaku untuk semua orang percaya dengan memfungsikan gereja sebagai kesatuan tubuh Kristus.

Melalui beragam permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka secara khusus makalah ini difokuskan pada permasalahan gereja yang tidak berjalan dalam misi ilahinya. Dengan memahami permasalahan tersebut maka gereja diharap berbalik kembali untuk mengerjakan misi-Nya di tengah-tengah dunia yang terhilang ini.

 

PEMBAHASAN

Gereja mengemban tugas Allah yang disebut dengan Missio Dei. Allah memiliki tujuan yang menghendaki kerajaan Allah harus dinyatakan di bumi. Namun persoalan kerajaan Allah menganut tiga pandangan yang berbeda. Menurut Kees De Jong, pandangan pertama menganut visi tradisional yang melihat bahwa gereja adalah kerajaan Allah dalam sejarah. Pendapat kedua mengatakan bahwa gereja bukan kerajaan Allah melainkan gereja adalah awal mula dan hasil pertama dari Kerajaan Allah yang akan disempurnakan oleh Allah di masa depan. Oleh sebab itu gereja harus terus berlanjut membangun keadilan, persaudaraan dan kebebasan dalam sejarah.[1]

Pendapat lain dari para teolog Asia menganggap bahwa kerajaan Allah secara sederhana merupakan lingkungan kehadiran dan kegiatan Allah. Kerajaan Allah mencakup keseluruhan baik dalam sejarah manusia maupun pada akhir zaman sedang dalam proses dibangun oleh manusia. Termasuk agama-agama lain, walaupun gereja mempunyai hubungan khusus dengan kerajaan Allah. Sebagai suatu komunitas manusiawi adanya cinta kasih, kebebasan, persaudaraan dan keadilan, fokus utamanya adalah bukan hal religius namun ‘sekuler’. Bahkan orang yang tidak memeluk agama apapun, tetapi mempunyai kehendak baik, dalam memberi sumbangan pada pembangunan Kerajaan Allah, dan merupakan juga warga-warga-Nya.[2]

Pendapat tersebut cukup mengejutkan karena gereja sebagai tubuh Kristus justru kurang memahami hal ini di dalam konsep bermisi. Gereja memandang bahwa misi ialah membawa orang untuk masuk ke dalam ‘gereja mereka’. Namun seharusnya, konsep Missio Dei merangkul semua umat Tuhan yang menganut agama apapun. Dalam pengertian tersebut yang disebutkan bukan dimaksudkan sekularisasi mengesampingkan religiusitas, atau keyakinan yang konservatif diperhadapkan  dengan pluralisme, tetapi melihat bahwa Kerajaan Allah selalu bersifat inklusif bagi siapapun. Ketika berani untuk mengubah paradigma dunia mengenai apa yang disebut ‘agama’, hal demikian hanya membatasi dan menjadi pemisah. Maka kehadiran Allah untuk menyempurnakan sehingga semua orang akan datang kepada Tuhan yang hidup sebagai Raja yang kekal.

Gereja sebagai kumpulan orang-orang percaya harus tetap mengarahkan setiap program dan pemikiran yang sesuai dengan kehendak Kristus. Konsekuensinya adalah gereja harus mengarahkan hati dan pikiran yang sesuai  dengan kehendak Kristus yaitu menjadi saksi kebenaran dan membawa orang lain untuk meneladani ajaran Yesus. Kemudian Gereja harus kembali kepada identitas  dirinya sebagai kumpulan orang yang dipersatukan oleh Kristus, bukan terikat oleh persoalan hidup. Sehingga berkumpul hanya untuk mencari kepuasan diri sendiri dan mencari jawaban atas masalah. William Vun mengatakan bahwa gereja bukan hanya sekedar perkumpulan  orang-orang percaya dan menjadikan hanya sebatas kegiatan sosial. Gereja Yang Berfokus menurut Hery Susanto:

“Memang tidak salah bagi gereja untuk menolong orang-orang yang berkekurangan dan tidak berdaya. Gereja harus melakukan hal itu, tetapi tidak membatasi gereja hanya pada pekerjaan-pekerjaan amal dan menyebutnya sebagai sebuah pelayanan. Gereja Tuhan melebihi dari sekedar kegiatan amal, proyek pendidikan, misi darurat, dan sebagainya… Gereja Tuhan lebih besar dari semua itu.”[3]

Gereja harus mengarah kepada satu pengarahan yang sama dari Kristus. Apapun persoalan hidup, namun harus tetap bersatu dalam perintah Sang Tuan yaitu Yesus Kristus sendiri. Sebagai anggota tubuh Kristus harus berani menanggalkan kepentingan pribadi masing-masing demi kesatuan dan bertujuan untuk kesatuan tubuh Kristus yang utuh.

Kristus mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa mereka akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada yang pernah Dia lakukan (Yohanes 14:12). Syaratnya bahwa mereka harus percaya kepada-Nya. Di dalam perkembangan sejarah, semua perkataan Yesus terbukti bahwa para murid tersebut menjadi para rasul yang berani menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi bahkan sampai kepada orang non-Yahudi di seluruh daerah. Kekuatan para murid dibangun karena adanya persekutuan yang berfokus kepada gerakan misi dan menjangkau sebanyak-banyaknya orang dan tidak membatasi diri pada ruang lingkup gereja. Para murid memahami dan melakukan perintah Tuhan Yesus atas dasar pimpinan Roh Kudus tanpa mengenal lelah.

Gerakan Misioner Yang Dinamis

Gereja mula-mula tidak pernah berhenti bergerak dalam melakukan gerekan misi. Tepat pada hari Pantekosta, kurang lebih 120 orang percaya berkumpul di Yerusalem dan Roh Kudus turun ke atas mereka berbahasa lidah, dan ucapan mereka tidak dimengerti oleh umat Tuhan yang lain yang hadir pada saat itu.

Misi Rasul Paulus yang menjangkau orang-orang non Yahudi melintasi batas Yerusalem dan Antiokhia sebagai tempat mula-mula gereja berdiri. As he church grew, so the opposition escalated. Warnings, arrests, and beatings culminated in the stoning of Stephen, the first Christian martyr, which led to the scattering of the church throughout Judea and Samaria.[4]

Perkembangan gereja sangat pesat, terror dan ancaman juga meningkat namun hal ini tidak membuat gereja berhenti untuk bergerak bermisi. Kebalikan dari itu semua gereja dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Romawi karena mengubah tatanan sosial dan dianggap meresahkan komunitas religious Yahudi.[5]

Gereja tidak hanya dijadikan tempat untuk berkumpul namun dipakai sebagai home base bagi mereka untuk bergerak keluar, mencari komunitas lain untuk dapat menyampaikan Injil.Pusat mereka adalah Kristus, bukan gereja setempat. Semua mengambil peran dalam gerekan missioner ini sehingga banya bangsa-bangsa mendengar Injil dan menerima, menyerahkan diri untuk dibabtis.

Perjalanan para rasul dalam menyampaikan Injil banyak mengalami tantangan seperti mereka harus menjangkau tempat untuk menyampaikan Injil hanya dengan berjalan kaki dan naik kuda bagi yang mampu.

Sebagaimana Abraham dipanggil keluar dari dunia orang kafir (Kejadian 12:1), demikian pula gereja dipanggil keluar dari bangsa kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9; Kolose 1:13). Jadi demikian pula gereja timbul sebagai hasil pekerjaan Roh Kudus, yang dipakai sebagai alat Roh Kudus untuk memperhadapkan orang-orang kepada Kristus.

Jika ditarik dalam Perjanjian Lama, Allah memilih bangsa Israel agar bangsa-bangsa menjadi tahu dan mengenal siapa Allah itu dan hidup dalam pimpinan Allah. Namun sangat disayangkan Israel gagal menjadi saksi bagi bangsa-bangsa lain.

Perjanjian Baru mengubah pola itu. Allah sendiri yang datang dan menjadi manusia melalui Yeusus Kistus. Dia menjadi teladan sekaligus menjadi korban buat manusia yang berdosa. Yesus juga mengerjakan misi Allah dengan segenap hati dan Dia memberikan janji kepada para rasul bahwa oh Kudus akan menolong mereka menjadi saksi melalui pemberitaan Injil.

Unsur-unsur kesuksesan yang dimaksudakan adalah: 1) pemberitaan Injil tentang Yesus Kristus, sesuai dengan kesaksian Alkitab, baik ke dalam maupun keluar, 2) melakukan sakramen-sakramen sebagai bentuk pemberitaan dalam bentuk yang kelihatan, 3) doa san syafaat, 4) pekerjaan sosial kepada lingkungan dan anggota jemaat, 5) penggembalaan serta disiplin atas hidup dan kepercayaan anggota-anggota gereja, untuk menarik jemaat kepada pemberitaan Firman Allah serta mengikatnya kepada Firman itu. Dari kelima unsur tersebut, gereja tetap mengarahkan diri kepada kesaksian tentang Yesus Kristus yang dibangun atas dasar kesaksian para rasul tentang Yesus Kristus.

Gerakan bermisi adalah terkoodinasi oleh seluruh aggota gereja, bukan hanya sekedar pada pemimpinya saja, karena di dalam 1 Petrus 2:9 mengatakan bahwa, ‘’kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia yang telah memanggila kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib. Pengertianya adalah ditujukan kepada gereja secara menyeluruh, semua jemaat termasuk di dalamnya.

gereja perlu untuk berteologi sehingga akan mendorong visi yang kuat untuk menjangkau orang-orang yang belum dijangkau atau belum pernah mendengar Injil. Nafas gerekan gereja yang membuatnya tetap hidup adalah dengan tetap melakukan misi dan berani keluar dari kerangka tembok gereja lokal.

Sejarah Pertumbuhan Jemaat Mula-mula

Para ahli mengemukakan dan mencatat bahwa pada tahun 300 M, orang Roma terdapat dari sepersepuluh populasi telah menjadi orang Kristen atau sekitar 5-7,5 juta orang dari keseluruhan populasi 60 juta orang termasuk Kaisar Konstantin menjadi orang Kristen. Pada tahun 30 M, jumlah orang percaya berjumlah 120 orang yang mengalami pertumbuhan dalam kekristenan (Kis. 1:14-16), setelah 270 tahun kemudian semakin bertambah jumlahnya menjadi 6 juta orang.[6] Pertumbuhan ini tidak terjadi dalam lingkungan yang baik tetapi menjadi titik tolak bagi mereka untuk percaya kepada Yesus karena karya Roh Kudus bekerja untuk pertumbuhan gereja dan untuk pertobatan dan menjadi titik tolak bagi gereja untuk melakukan pewartaan Injil ke semua tempat.

Perkembangan agama-agama dalam budaya Timur Dekat Kuno mengikuti pola invasi dari pasukan militer. Pada waktu itu, para penginjil ini melakukannya dengan keberanian agar dapat menyampaikan Kabar Baik tentang keselamatan dan beriman hanya kepada Yesus Kristus sebagai Juru Selamat. Para penginjil hanya datang ke Sinagog sebagai tempat berkumpulnya orang Yahudi sehingga terjadi komunikasi antara orang Yahudi dan penginjil. Awalnya kekristenan hanya berpegang kuat pada tradisi Yahudi dan perlindungan resmi dari orang Yahudi dari kekuasaan Romawi agar dapat terjaga perdamaian di Palestina. Ketika memberitakan kabar baik, para penginjil mendapatkan rintangan secara politis dan melintasi budaya tetapi semua itu bukanlah menjadi penghalang tetapi membuat menjadi para penginjil untuk semakin berkobar memberitakan Injil sehingga banyak orang yang menerimda dan percaya kepada Injil sehingga dapat mengabaikan perbedaan ras, budaya atau latar belakang politik.

Para penginjil menggunakan media dalam penginjilan adalah melalui perkataan verbal seperti berkhotbah, percakapan dan dialog. Semangat dari para penginjil adalah tidak takut mati bagi Kristus. Amanat agunglah yang membuat jemaat Kristen untuk menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi dan terus berjuang untuk dapat memberitakan Firman Tuhan. Para penginjil ada yang menjadi menderita, diasingkan, dipenjara dan menjadi martir. Ian Shaw menyatakan bahwa: “The Antioch model only become widespread in the middle of the second century. By the third century the monarchial view of leadership had prevailed and a hierarchical pattern was established”[7]

Para rasul mengalami pergeseran pada abad ketiga dalam gerakan siap mati untuk Injil diganti menjadi model hirarkhial yang membatasi gereja dalam pengajaran Injil yang kompeten untuk dapat melakukan tugas itu. Perkembangan sejarah gereja sebagai akibatnya muncul berbagai denominasi yang menjadikan gereja sebagai main stream dan gereja-gereja pertobatan. Menurut Jan Aritonang: “Masing-masing aliran lahir dari latar belakang, pergumulan dan konteks tertentu”. Dengan kata lain, pada masa tertentu semua aliran merupakan sejarah karena kemunculan dan kehadirannya sebagai gereja yang mengalami perkembangan jumlah dan gerakan yang bervarian dalam pengelolaannya.[8]

Dalam sejarah kekristenan, Paus Bonifatius VIII (1294-1303) yang memerintah mengeluarkan ketetapan yang disebut Unam Sactam bahwa semua kemahakuasaan dunia ini sebagai wakil Kristus secara rohani maupun politik[9]. Menurut Mardiatmadja, istilah “gereja sebagai imperium” yang mengurusi keagamaan dan kenegaraan sehingga menjadikan gereja yang hanya menekankan kepada “gereja yang kelihatan” atau terstruktur teratur. Sebagai organisasi yang memimpin manusia, Paus yang sebagai wakil Kristus. Akibatnya gereja sebagai institusi lebih utama dari gereja sebagai organisme. Sebuah jurnal Waskita, Agustinus mengatakan “Gereja menjadi satu-satunya lembaga atau bahtera keselamatan yang memiliki tiga fungsi: menyebarkan iman yang benar dengan jelan memberitakan Firman, memelihara kesucian menggunakan sakramen, dan mengorganisasikan warganya dengan hukum gerejawi”[10]

Ajaran Kristen memiliki keeratan dalam ajaran kasih dan kebaikan dari Yesus Kristus. Hal ini menunjukkan bahwa gereja untuk tidak terjebak dalam institusi atau organisasi tetapi memiliki standar moral yang berbeda dengan dunia. Didakhe (tulisan-tulisan ajaran) tentang kasih kepada Allah, sesama dan melakukan hukum sebagai penuntun kehidupan karena ajaran dan pelaksanaan harus berjalan bersamaan. Gereja berada pada dunia dalam situasi korup secara moral dan finansial. Tanggung jawab gereja untuk tetap berada dalam standar Allah.

Dalam jemaat, budak harus diberlakukan secara bebas karena status mereka sebagai orang Kristen. Masyarakat Romawi wanita mendapatkan status legal dalam Yudaisme sedangkan dalam ajaran Kekristenan kesetaraan wanita dan pria menjadi satu dalam jemaat mula-mula dan dalam Kristus. Menurut Wlliam Kurz:

“Seperti Murid yang terkasih, kita harus menyadari bahwa Yesus mengasihi mereka secara medalam dan menyatakan rahasia-rahasiaNya kepada mereka. Seperti Murid yang terkasih itu, kita juga dipercayakan kepada ibu Yesus (baik Maria maupun gereja), dan ibuNya kepada mereka. Seperti murid yang terkasih itu mereka tahu dan harus menyaksikan darah dan air yang mengalir dari Yesus yang disalib itu, untuk mempercayai bahwa Ia sungguh-sungguh telah bangkit, untuk memandang Yesus yang bangkit itu dari perbuatan-perbuatanNya yang ajaib di antara komunitas murid dan gereja untuk tinggal hidup samapai Yesus datang kembali, dan untuk mengemban kesaksian yang benar tentang kabar baik mengenai Yesus”[11]

Dengan demikian, tugas gereja adalah membagian kesaksian tentang Yesus karena perintah Yesus yang mempercayakan murid-muridNya kepada ibuNya dan Maria dipercayakan kepada murid-muridNya. Gereja mempertahankan kebenaran di tengah ketidakbenaran sehingga menjadi tantangan pada masa kini untuk mewujudkannya. Kesaksian tentang Ktistus yang menyatukan murid-murid Tuhan dengan ibuNya dalam keluarga dengan dasar kasih. Hal ini menjadikan gerakan missioner untuk semakin memiliki kesadaran bukan karena keterpaksaan karena perintah. Rasa kasih merupakan kekuatan karena kepedulian kepada sesama agar diselamatkan dan menerima Kristus menjadi psan utamanya sebagai missioner.

Mengembalikan Gereja Pada Misi Ilahi

Permasalahan serius ketika gereja pada era modern ini lebih menekankan teologi yang bersifat egosentris. Dampaknya adalah jemaat lupa akan tugas utamanya untuk menjadi umat yang bekerja giat bersama umat percaya lainnya untuk menceritakan Yesus Kristus yang bersedia mati untuk pengampunan dosa dan kebangkitan-Nya menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang telah mengalahkan maut. Semua itu bertujuan untuk memulihkan hubungan yang rusak oleh dosa, sehingga manusia kembali dipulihkan menjadi ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah. Sebab itu, gereja perlu kembali menaruh pandangannya kepada keadaan semula. Pada saat gereja kembali kepada keadaan semula, ini berarti bahwa esensi gereja dikembalikan kepada misi ilahi, yakni terbtnuknya gereja sebagai sekumpulan orang percaya yang dikumpulkan untuk melakukan Amanat Agung.

Gereja adalah sebuah movement, maksudnya adalah gereja bukan hanya sebuah property yang berdiam diri saja. Gereja harus senantiasa bergerak dan menyelaraskan langkah mengikuti alur kerhendak Tuhan untuk membawa Kabar Baik kepada dunia. Dengan konsp seperti ini, maka gereja akan menjadi sebuah sistem yang tidak dapat dihentikan dan terus bertumbuh ke berbagai arah untuk membawa kemuliaan Allah.

Gereja tanpa tembok menjadi wadah bagi jemaat untuk saling menguatkan dan inklusif untuk menerima siapapun yang mau belajar kebenaran Firman Tuhan dan menjadi saksi bagi Kristus. Istilah denominasi yang merupakan ciri dari setiap gereja tidak harus menjadi pemecah belah, sebaliknya digunakan dengan hikmat Tuhan yang berarti didasari oleh rasa takut akan Tuhan sehingga menolong orang-orang sesuai konteks di mana dan kapan mereka berada dalam suatu situasi secara khusus. Misalnya di dalam gereja beraliran presbiterian dengan kekuatan organisasi yang terstruktur rapi dapat menggerakkan umatnya untuk terlibat dalam pelajaran teologis dan Firman Tuhan sehingga mereka terlibat di dalam pemahaman teologis yang benar dan kuat. Jika pemahaman dan penghayatan iman mereka didasarkan teologi yang kuat maka akan sangat berpeluang bahwa mereka bisa terlibat dalam gerakan misi yang lebih aktif lagi. Gereja karismatik akan menggunakan karunianya untuk lebih mengandalkan Roh Kudus sehingga mendapat keberanian untuk mengabarkan Injil kepada semua orang dengan pimpinan Roh Kudus. Bagi gereja-gereja yang menekankan eskatologi juga mempersiapkan kedatangan Kristus kedua kali dengan lebih giat melakukan penginjilan sebagaimana diajarkan bahwa Kristus akan datang kembali setelah seluruh bangsa mendengarkan Injil. Jadi pada akhir tujuannya tetap sama yaitu pekabaran Injil.

Perbedaan dalam setiap ajaran gereja tidak akan menjadi persoalan jika semua menyadari misi yang sama berkaitan dengan pekabaran Injil, meskipun cara dan metodenya bisa bermacam-macam. Semua akan turut ambil bagian dalam tugas besar ini karena Tuhan menghendakinya. gerakan misioner masa kini terus berkembang dalam bentuk-bentuk pemuridan yang menjangkau orang-orang yang belum percaya dan membimbing mereka secara terus menerus agar iman percaya kepada Kristus bertumbuh.

Menurut Makmur Halim, landasan teologisnya adalah:

“Pendekatan dan Allah dalam sejarah umat Israel, baik secara umum maupun secara khusus, diterima melalui “cultural channels”, hal ini kontras dengan “direct revelation atau direct experience”. Gereja ditantang untuk “back to the Bible” yakni meneladani apa yang telah diperbuat oleh Allah dalam pendekatan dan pernyataan Allah dalam sejarah. Metode ini merupakan suatu contoh pendekatan yang aktual, relevan dan up to date bagi perkembangan gereja masa kini.”[12]

Jadi yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan gereja untuk mengabarkan Injil melalui melalui budaya sebagai jembatannya. Perubahan hanya terdapat dalam metode atau cara tetapi pesannya akan tetap sama yaitu Yesus yang mati dan bangkit. Teladan Yesus yang masuk dalam konteks manusia adalah gambaran tentang cara Allah untuk menyelamatkan manusia. Gerakan missioner yang menyesuaikan dengan konteks memiliki fokus pelayanan dan sifatnya bersahabat. Dunia dipandang sebagai ladang pelayanan yang luas di mana kabar baik tersebut akan ditaburkan dan siap tumbuh. Kontekstualisasi menjadi motivasi pelayanan yang sensitif terhadap suatu kebutuhan, perubahan-perubahan radikal dan budaya. Jadi gerakan misi yang dilakukan dengan cara-cara sesuai konteks masyarakat yang dilayani disebut sebagau gerakan misi kontekstual.

Gerakan misi kontekstual juga akan menolong terjadinya pertumbuhan dan pelipatgandaan gereja di tengah masyarakat yang majemuk. Yang sering terjadi adalah penolakan Injil bukan disebabkan oleh menolak salib tetapi karena memaksa mereka untuk melepaskan budaya dan menjadi orang yang terasing dari komunitas mereka sendiri. Oleh sebab itu gerakan misi ini harus terus melakukan “creatives approach” agar tujuan misi itu tercapai. Gerakan ini merupakan inti kehidupan suatu gereja sehingga gereja tersebut akan dapat memobilisasi seluruh jemaat sehingga gereja itu akan sehat dan bertumbuh dengan pesat ketika semua berfungsi dengan normal. Menurut Yohanes Marsono dalam artikelnya menyatakan:

“Gereja mengemban misi Kristus sehingga setiap kata-kata dan tindakan gereja harus dilakukan demi kebaikan semua umat manusia mulai dari proses penyelamatan, menyembuhkan, membebaskan dan menolong sesama manusia.”[13]

Gerakan misi kontekstual memusatkan perhatian kepada jiwa atau orang bukan lagi gedung yang utama karena semangat mereka adalah membawa sebanyak-banyaknya orang datang kepada Kristus. Kontekstualisasi merupakan suatu metode pendekatan yang paling efektif bagi gereja-gereja di Indonesia karena Indonesia sangat multi kultur dan beragam persoalan dalam dimensi yang beragam.[14]

Menurut Daniel Trihandarkha dalam artikel jurnal SIAP mengatakan:

Christians in the early days were regarded as quiet, non violent, worshipers of imageless God. They were also known as gracious community and fear no death people. These made them distinct from Jews who had enormous influence in their theology.[15]

Maksud tulisan tersebut adalah orang Kristen dapat menunjukkan perbedaan dari orang pada umumnya karena mereka dikenal sebagai orang yang tenang, tidak menyukai kekerasan, dan menyembah Tuhan dengan tulus hati. Mereka dikenal sebagai orang yang baik dan tidak takut mati. Kualitas ini menjadikan mereka unik dan berkualitas. Sehingga ketika orang Kristen bersaksi kepada orang lain, berita Injil disampaikan bukan hanya melalui kata-kata tapi juga lewat karakter dan cara menghayati hidup yang bergantung kepada Tuhan.

Orang Kristen perlu meneladani cara Tuhan Yesus masuk dalam kehidupan manusia dengan pengajarannya yang penuh kuasa dan mukjizat. Artinya gereja memposisikan diri bukan sebagai pihak yang paling benar sendiri, tetapi mengajak yang lain untuk bersama-sama menemukan kebenaran itu dan berjalan dalam terang kebenaran tersebut. Jika hal itu terjadi maka kualitas iman dan kerohanian mereka akan berdampak dengan nyata kepada masyarakat tanpa memandang jenis agamanya.

 

PENUTUP

Kesimpulan

Amanat Agung Tuhan Yesus ditujukan kepada semua orang percaya agar Injil diberitakan ke seluruh penjuru bumi. Gereja yang melakukan gerakan ini akan menjadi gereja yang hidup karena terus bergerak dan aktif dalam gerakan Allah. Gereja diutus untuk bergerak  keluar dengan misi ilahi yaitu Kerajaan Allah terjadi di dalam dunia ini sebagaimanadikehendaki Allah. Gereja tidak lagi sekedar sebagai kerajaan-kerajaan kecil dalam dunia tetapi bersatu untuk memuliakan nama-Nya.

Situasi dan aturan-aturan yang dirasakan sebagai diskriminatif atau mempersulit gerakan justru dijadikan sebagai pemicu dan pemacu gerakan missioner ini. Tujuannya bukan untuk memenangkan sebuah kompetisi tetapi untuk menjalankan tugas Missio Dei. Sejarah pertumbuhan jemaat mula-mula menunjukkan bahwa Tuhan turut bekerja bersama para rasul dengan pertolongan Roh Kudus sehingga banyak jiwa bertobat dan datang kepada Kristus. Perubahan konteks dan masa mengakibatkan gereja mengalami pergeseran dalam memaknai misi. Berbagai aliran atau denominasi bermunculan dengan alasan masing-masing. Namun apapun argumentasinya, gereja tersebut akan bertumbuh ketika mereka berani menyampaikan Injil kepada orang lain. Ukuran keberhasilan yang dipakai bukan seberapa banyak yang didapat, tetapi seberapa banyak melakukan kegiatan misi. Ada kalanya situasi yang sulit bagi kekristenan justru memicu ledakan pertumbuhan jemaat, karena mereka menjadi lebih bergantung kepada Tuhan dalam kesulitannya. Pergeseran pola pemerintahan gereja juga menjadi salah satu ciri bahwa gereja itu bersifat dinamis dan adaptable.

Sebab itu, gereja pada masa kini perlu mengobarkan kembali spirit misionernya dalam kemasan baru yang menyesuaikan dengan konteks saat ini. Model penginjilan perlu dilakukan secara kontekstual. Pemuridan diperlukan bagi para petobat baru agar mereka memperoleh bimbingan dalam pertumbuhan imannya yang masih baru. Selain itu, gereja masa kini seharusnya memiliki motivasi yang benar di dalam menjalankan misi. Pewartaan Injil bukan sekedar dengan tujuan menambah data keanggotaan gereja tetapi didorong oleh kasih atau empati kepada orang-orang yang belum percaya kepada Yesus.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agustinus M. Batlajery, Konteks yang Mempengaruhi Ekklesiologi Calvin”, Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 2, No. 1, April 2014;

Daniel Trihandarkha, “The Historical ‘Early Church”, Jurnal SIAP Vol.7, No.2. 2018.

Ian J.Shaw, Christianity the Biography. (London: Inter Varsity Press, 2016)

Jan Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2012)

Kees De Jong, “Misiologi dari Perspektiyf Teologi Kontekstual” Gema Teologi, – sac.ukdw.ac.id. 2007

Makmur Halim, Gereja di Tengah-tengah Perubahan Dunia (Malang: Gandum Mas,2011)

Michael Amaladoss, Mission in Asia: A Reflection on Ecclesia in Asia (New York: Orbis Books, 2012)

Michael H. Crosby, Apakah Engkau Mengasihi Aku? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000)

P. schaff, History of the Christian Church In The Middle Ages (Grand Rapids: Eerdmans Publishing Company, 1949)

Paul Lawrence, The IVP Concise Atlas of Bible History (Illinois: Inter Varsity Press, 2004)

William Vun, Who is Building Whose Church? (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2010) 36.

Yohanes Marsono, “Misi Gereja dalam Penegakan Hak Asasi Manusia” Jurnal STULOS Volume 3 no.2, 2004.

 



[1] Kees De Jong, “Misiologi dari Perspektiyf Teologi Kontekstual” Gema Teologi, – sac.ukdw.ac.id. 2007; 56

[2] Michael Amaladoss, Mission in Asia: A Reflection on Ecclesia in Asia (New York: Orbis Books, 2012), 28

[3] William Vun, Who is Building Whose Church? (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2010), 36

[4] William Vun, Who is Building Whose Church? (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2010) 36.

[5] Paul Lawrence, The IVP Concise Atlas of Bible History (Illinois: Inter Varsity Press, 2004), 145

 

[6] Ian J.Shaw, Christianity the Biography. (London: Inter Varsity Press, 2016), 28

[7] Ian J. Shaw, Christianity The Biography, 32.

[8] Jan Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2012) 6.

[9] P. schaff, History of the Christian Church In The Middle Ages (Grand Rapids: Eerdmans Publishing Company, 1949) 75.

[10] Agustinus M. Batlajery, Konteks yang Mempengaruhi Ekklesiologi Calvin”, Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 2, No. 1, April 2014; 18

[11] Michael H. Crosby, Apakah Engkau Mengasihi Aku? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 27

[12] Makmur Halim, Gereja di Tengah-tengah Perubahan Dunia (Malang: Gandum Mas,2011), 28

[13] Yohanes Marsono, “Misi Gereja dalam Penegakan Hak Asasi Manusia” Jurnal STULOS Volume 3 no.2, 2004; 91

[14] Makmur Halim, Gereja di Tengah-tengah Perubahan Dunia, 63

[15] Daniel Trihandarkha, “The Historical ‘Early Church”, Jurnal SIAP Vol.7, No.2. 2018; 34

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "GEREJA TIDAK BERJALAN DALAM MISI ILAHI"

Posting Komentar