Filsafat Dalam Pendidikan Kristen

 

Photo by: Pixabay

 (Suatu Tinjauan Terhadap Filsafat Pendidikan Kristen Dari Aspek Epstemologi - Aksiologi - Ontologi)
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan merupakan usaha mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik; baik potensi fisik, potensi cipta rasa, maupun potensi karsanya. Supaya potensi itu menjadi realita dan berguna dalam perjalanan hidupnya dan sampai kepada kedewasaan.[1] Pondasi pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Tujuan pendidikan untuk menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.

Pendidikan tidak dapat lepas dari kehidupan manusia serta berperan aktif dalam aspek kehidupan manusia dari yang paling sederhana sampai taraf yang paling kompleks. Meskipun hal itu masih banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan hanya dilakukan dalam institusi formal, namun perlu disadari bahwa seluruh proses kehidupan manusia adalah pendidikan.

Dalam proses pendidikan tidak lepas dari prinsip filsafat pendidikan. Pemahaman yang benar terhadap prinsip filsafat pendidikan akan menuntun pada kaidah pendidikan yang tepat serta bagaimana lembaga pendidikan harus berjalan dengan benar. Namun seringkali dijumpai banyak lembaga pendidikan tidak merespon tujuan pendidikan dengan optimal bagi peserta didik di era modern saat ini.

Permasalahan seperti ini juga telah merasuki lembaga pendidikan Kristen yang tidak mampu meresponi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Maka yang sering ditemukan adalah lembaga pendidikan Kristen yang seharusnya menjadi berkat dan teladan di tengah-tengah lembaga pendidikan lainnya justru menjadikan suatu lembaga yang bersifat eklusivisme, merosot dan hilang arah dari visi panggilan Allah. Lembaga pendidikan Kristen seharusnya mampu menciptakan pendidikan yang mengintegrasikan pencapaian manusia serta sejalan dengan kebenaran-kebenaran Allah.

 

B.     Tujuan

Pendidik dan peserta didik memahami konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen berdasarkan pembagian kategorial filsafat umumnya yang meliputi epistemologi, aksiologi, dan ontologinya.

BAB II

LANDASAN TEORI

1.      Filsafat

Secara etimologi, filsafat berasal dari kata philosophia (bahasa Yunani), akar kata dari philein (cinta), dan sophia (hikmat/intelegensi, pengetahuan, kebenaran, kebijaksanaan).[2] Secara etimologi filsafat dapat diartikan mencintai atau mencari kebijaksanaan. Filsafat merupakan upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.[3] Dengan kata lain filsafat tidak dapat lepas dari rekonstruksi pemikiran konsep yang sistematis, universal, radikal, koherensi, dan bertanggungjawab.

Hakikat filsafat berorientasi pada pencarian kebenaran makna yang terus menerus yang ditanyakan dan tidak akan berhenti pada kebenaran fakta tunggal. Karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah.[4]

Secara umum, pemikiran filsafat dapat dikategorikan dalam tigam macam yakni, (1) Metafisika: kajian yang mendalam tentang hakikat realitas, meliputi ontologi, kosmologi, antropologi, dan teologi (what is real?); (2) Epistemologi: kajian tentang hakikat pengetahuan, meliputi metode, sumber, struktur, dan validitas (what is true?); (3) Aksiologi: kajian tentang nilai yang meliputi etika dan estetika (what is value?).

Filsafat menegaskan bagaimana berpikir kritis terhadap realitas terdalam dengan menggunakan paradigma berpikir. Hal ini menjadi tugas filsafat, karena permasalahannya menyangkut nilai, yang berarti filsafat akan dapat menentukan mana yang paling baik yang harus menjadi pegangan manusia. Berpikir kritis merupakan tindakan dalam proses pembelajaran yang tidak akan pernah berhenti pada kesimpulan definitive dan permanen, sebaliknya berpikir terikat pada pola bertanya yang berorientasi pada penjelasan hakikat makna yang diperoleh.

 

2.      Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan adalah ilmu yang bersendikan filsafat. Dengan kata lain filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan.[5]

Filsafat pendidikan merupakan bagian dari filsafat khusus yang menjelaskan tentang makna dasar, tujuan, metodologi, manfaat, dan kaitannya dengan proses pendidikan, hal itu juga merupakan tugas umum filsafat  pendidikan. Dengan demikian, filsafat pendidikan memberikan kerangka dasar tentang pendidikan dan hal-hal yang berhubungan dalamnya serta yang mengarah pada tujuan pendidikan yang merubah perilaku peserta didik.

Filsafat pendidikan memberikan paradigma proses pendidikan yang mempengaruhi aktualisasi potensi diri peserta didik yang menghargai dan menghormati hak, kebebasan dan nilai-nilai kemanusiaan peserta didik. Filsafat pendidikan juga memberikan kerangka dasar bagi proses pendidikan yang normative dan bernilai, kemudian menjadi indikator perilaku peserta didik di lingkungan masyarakat.

Struktur filsafat pendidikan didasarkan pada konsep filsafat umum yang kemudian menghasilkan aliran teori filsafat: idealism, realism, positivism, neo-skolastisime, pragmatism, dan eksistensialism. Konsepsi aliran filsafat ini kemudian menjadi acuan dasar kerangka filsafat pendidikan hingga tujuan.

Dalam filsafat pendidikan, ada beberapa kategori yang terbentuk yakni: progressivism, esensialism, behaviorsm, perenialism, dan rekontruksionism. Kategorial filsafat pendidikan ini membantu pengajar untuk menetapkan konsep pembelajaran yang akan disampaikan dalam proses pendidikan.

 

3.      Pendidikan Kristen

Pendidikan Kristen merupakan pendidikan yang meliputi seluruh eksistensi dan esensi manusia berdasarkan kebenaran-kebenaran wahyu khusus Allah dan wahyu umum. Pendidikan Kristen memiliki pondasi berpikir dari Alkitab yang dipercaya sebagai firman Allah, yang tidak dapat digantikan dengan prinsip lain untuk menjadi pondasi kerangka berpikir pendidikan Kristen. Pendidikan Kristen menempatkan Alkitab sebagai standard ukur teologis normative dan filosofis pragmatis yang dalam diri Alkitab memiliki dimensi ilahi dan manusiawi.

Pendidikan Kristen berorientasi pada keselamatan kekal dalam konteks dulu, sekarang dan yang akan datang (progress komulatif) dengan pola hidup berbagi untuk orang lain dan alam (harmonisasi ekosistem).

Proses pembelajaran dalam pendidikan Kristen menggunakan skema mengetahui – bertindak – menjadi, yang merupakan aspek dasar pendidikan konstruksif dengan peserta didik sebagai fokus pembelajaran.

Tujuan pendidikan Kristen ialah perubahan perilaku berdasarkan firman Allah yang terjadi dalam diri dan kehidupan peserta didik sehingga mampu memaknai hidup dan bertahan dalam dinamisasi kehidupan masyarakat.

 

 

BAB III

PEMBAHASAN 

Dalam Bab III ini, penulis membahas rekontruksi konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen berdasarkan pembagian kategorial filsafat umumnya yang meliputi epistemologi, aksiologi, dan ontologinya.

 

1.      Epistemologi

Epistemologi kaitannya dengan pengetahuan dan kebenaran.[6] Dengan demikian pengertian epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya pengetahuan tersebut. Cabang dari filsafat ini mempelajari sifat, sumber dan validitas dari pengetahuan. Obyek materi epistemologi ialah pengetahuan, sedangkan objek formal epistemologi adalah hakikat pengetahuan.

Pemikiran filsafat pendidikan Kristen berdasarkan epistemologi didasarkan pada “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” (Ams 1:7). Maksudnya, permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan, semua orang yang melakukannya memiliki akal budi yang baik. Maka perspektif Kristen mengenai pengetahuan berhubungan dengan Allah yang menjadi sumber segala pengetahuan.

Ketika manusia tidak memahami proses pengetahuan yang diperolehnya akan menjadikan manusia bersifat egosentris. Pemahaman dasar takut akan Tuhan menekankan bahwa manusia tidak dapat memiliki pengetahuan sebelum memiliki pengetahuan takut akan Tuhan.

Epistemologi filsafat pendidikan Kristen menegaskan bahwa pengetahuan memiliki sifat terikat dengan sumber segala pengetahuan yaitu Allah. Pengetahuan yang tidak berorientasi pada Allah menjadikan pengetahuan yang tidak melalui pikiran manusia. Sebab, pengetahuan dikenal melalui pikiran manusia, pikiran manusia terikat dengan sang Mutlak yaitu Allah.

Dengan demikian, pengetahuan itu pasti terikat dengan Allah yang menjadi sumber pengetahuan dan melalui pikiran manusia pengetahuan itu diperoleh.

 

2.      Aksiologi

Aksiologi merupakan aspek filsafat yang berkaitan dengan nilai tertinggi dan bermakna. Nilai tertinggi adalah nilai yang berasal dari Tuhan dan nilai itu disebut dengan istilah kebaikan tertinggi.[7] Terdapat dua nilai dalam aksiologi yaitu: Pertama, nilai etika merupakan studi tentang nilai-nilai moral dan perilaku. Nilai etika ini memberikan jawaban mengenai apa yang seharusnya dilakukan seseorang. Kedua, nilai estetika adalah kajian dari nilai-nilai umum, prinsip yang mengatur penciptaan dan penghargaan terhadap keindahan dan seni. Nilai ini memberikan jawaban mengenai keindahan.

2.1.   Nilai Estetika

Dalam Kitab Kejadian, Allah menciptakan segalanya dengan baik. Bahkan Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya. Eksistensi manusia ini sebagai gambar dan rupa Allah, menjadikannya sebagai ciptaan yang mulia dari segala yang diciptakan oleh Allah. Dari penciptaan manusia yang memiliki keunikan dan keindahannya masing-masing, sebenarnya telah mempresentasikan nilai estetika dengan jelas.

2.2.   Nilai Etika

Namun, keadaan demikian berubah setelah manusia melanggar perintah Allah. Relasi manusia dengan Pencipta pun terputus. Keberadaan manusia sebagai mahkluk yang memiliki sifat religius membuatnya terus mencari keberadaan Tuhan. Realitas ini terlihat dalam kehidupan dan kebudayaan manusia sampai saat ini. Manusia terus mencari keberadaan Tuhan dengan cara mereka sendiri. Akan tetapi usaha yang manusia lakukan hanyalah kesia-siaan belaka, yang tidak menemukan hasilnya. Manusia justru melakukan kesalahan dengan mengadakan penyembahan kepada berhala. Pertemuan dan relasi ini hanya akan terjadi apabila Allah sendiri yang berinisiatif menyatakan diri-Nya.

Kedatangan Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan wujud inisiatif Allah untuk menyatakan pribadi-Nya, sehingga penyataan ini sebagai titik balik relasi manusia. Karya penebusan yang dilakukan Yesus di kayu salib telah memulihkan kembali relasi manusia dengan Allah. Melalui jalan penebusan yang dilakukan oleh Yesus itulah nilai etika sebenarnya terpresentasikan. Manusia memperoleh pendamaian dengan Allah dan status manusia berubah menjadi anak-anak Allah.

 

3.      Ontologi

Ontologi (bagian dari ranah metafisika) adalah studi mengenai hakikat realitas bukan hakikat tentang ada. Dalam ontologi memiliki dua aliran yaitu: materialisme (realitas yang ada adalah tunggal), dan dualisme (realitas alam semesta memiliki dua sumber).

Filsafat pendidikan Kristen memahami mengenai ‘realitas ada’ (kelihatan dan tidak kelihatan) berdasarkan pada realitas Allah sang pencipta dan sumber moral yang dipercaya sebagai pribadi yang ‘ada’ bukan ‘menjadi ada’. Kejadian 1:1 “Pada Mulanya Allah ,menciptakan langit dan bumi”. Hal itu berarti Allah itu pencipta dan bukan ciptaan. Pengertian tersebut meneguhkan bahwasanya Allah adalah pribadi yang aktif dan bertanggungjawab bukan kepada yang lain melainkan pada diri-Nya sendiri.

Filsafat pendidikan Kristen menekankan pondasi kerangka berpikir dibangun melalui pemahaman terhadap Allah yang berpribadi yang dinyatakan dalam karya-Nya menciptakan alam semesta.

Allah yang berkarya kemudian berinkarnasi menjadi manusia yaitu Yesus Kristus sebagai peneguhan bahwa Allah hadir. Allah menjadi manusia bukan untuk memberikan bukti pada ciptaan-Nya, sebaliknya Allah menegaskan identitas-Nya sebagai pribadi yang berdaulat yang tidak bertindak berdasarkan nasihat ciptaan-Nya.

Konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen didasarkan pada suatu kepastian berpikir yang dimulai dari perspektif Allah yang berpribadi dan berkarya. Bukan diawali pada spekulasi-spekulasi yang dihasilkan dari pikiran manusia yang sejatinya adalah suatu asumsi untuk manusia mulai berpikir. Filsafat pendidikan Kristen menjelaskan bahwa realitas ada itu Allah berpribadi, Pencipta yang berdaulat dan sumber moral. Pengingkaran terhadap adanya realitas ada yang absolute (Allah pencipta) menghasilkan silogisme yang tidak sehat yang hanya menekankan pada realitas yang nampak, yang terbatas oleh hukum-hukum ciptaan yang terbatas pula.

 

BAB IV

KESIMPULAN

Pertama, pendidikan Kristen memiliki pondasi berpikir dari Alkitab yang dipercaya sebagai firman Allah, yang tidak dapat digantikan dengan prinsip lain untuk menjadi pondasi kerangka berpikir pendidikan Kristen. Dengan tujuan untuk mewujudkan perubahan perilaku berdasarkan firman Allah yang terjadi dalam diri dan kehidupan peserta didik sehingga mampu memaknai hidup dan bertahan dalam dinamisasi kehidupan masyarakat.

Kedua, epitemologi pendidikan Kristen didasarkan pada “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” (Ams 1:7). Maka perspektif Kristen mengenai pengetahuan berhubungan dengan Allah yang menjadi sumber segala pengetahuan. Epistemologi filsafat pendidikan Kristen menegaskan bahwa pengetahuan memiliki sifat terikat dengan sumber segala pengetahuan yaitu Allah.

Ketiga, aksiologi pendidikan Kristen berkaitan dengan dua nilai yang terkandung di dalamnya. (1) Nilai Estetika dipresentaikan dengan jelas melalui penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah. (2) Nilai etika dipresentasikan melalui tindakan Allah untuk menebus manusia dengan jalan inkarnasi dan kematian-Nya di kayu salib.

Keempat, ontologi pendidikan Kristen memahami mengenai ‘realitas ada’ (kelihatan dan tidak kelihatan) berdasarkan pada realitas Allah sang pencipta dan sumber moral yang dipercaya sebagai pribadi yang ‘ada’ bukan ‘menjadi ada’. Konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen didasarkan pada suatu kepastian berpikir yang dimulai dari perspektif Allah yang berpribadi dan berkarya. Bukan diawali pada spekulasi-spekulasi yang dihasilkan dari pikiran manusia yang sejatinya adalah suatu asumsi untuk manusia mulai berpikir.

Dengan demikian, segala aspek dari proses pendidikan yang berjalan harus kembali pada satu kebenaran, yaitu pribadi Allah sebagai pribadi yang absolut. Sehingga pendidikan hanya untuk kepentingan Allah, karena Allah ingin mengembalikan manusia kepada kemuliaan. Maka setiap lembaga pendidikan Kristen yang ada harus merekontruksi konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen berdasarkan pembagian kategorial filsafat umumnya yang meliputi epistemologi, aksiologi, dan ontologinya.



[1] M.J. Langeveld, Beknopte Theoritische Paedagogiek, terj.:Simajuntak, (Bandung: Jemmars, 1980).

[2] Khoe Yao Tung. Filsafat Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), 1.

[3] Louis O. Kattsof. Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 4.

[4] Franz Magnis-Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 20.

[5] Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Manfaat (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), 7.

[6] Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 69.

[7] James Braley, Dasar Pendidikan Kristen (Surabaya: ACSI, 2012),  

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Filsafat Dalam Pendidikan Kristen"

Posting Komentar