Filsafat Dalam Pendidikan Kristen
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan usaha mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik; baik
potensi fisik, potensi cipta rasa, maupun potensi karsanya. Supaya potensi itu
menjadi realita dan berguna dalam perjalanan hidupnya dan sampai kepada
kedewasaan.[1]
Pondasi pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Tujuan pendidikan
untuk menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis,
dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Pendidikan tidak
dapat lepas dari kehidupan manusia serta berperan aktif dalam aspek kehidupan
manusia dari yang paling sederhana sampai taraf yang paling kompleks. Meskipun
hal itu masih banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan hanya dilakukan
dalam institusi formal, namun perlu disadari bahwa seluruh proses kehidupan
manusia adalah pendidikan.
Dalam proses
pendidikan tidak lepas dari prinsip filsafat pendidikan. Pemahaman yang benar
terhadap prinsip filsafat pendidikan akan menuntun pada kaidah pendidikan yang
tepat serta bagaimana lembaga pendidikan harus berjalan dengan benar. Namun
seringkali dijumpai banyak lembaga pendidikan tidak merespon tujuan pendidikan
dengan optimal bagi peserta didik di era modern saat ini.
Permasalahan
seperti ini juga telah merasuki lembaga pendidikan Kristen yang tidak mampu
meresponi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Maka yang sering ditemukan
adalah lembaga pendidikan Kristen yang seharusnya menjadi berkat dan teladan di
tengah-tengah lembaga pendidikan lainnya justru menjadikan suatu lembaga yang
bersifat eklusivisme, merosot dan hilang arah dari visi panggilan Allah.
Lembaga pendidikan Kristen seharusnya mampu menciptakan pendidikan yang
mengintegrasikan pencapaian manusia serta sejalan dengan kebenaran-kebenaran
Allah.
B.
Tujuan
Pendidik
dan peserta didik memahami konsep
pemikiran filsafat pendidikan Kristen berdasarkan pembagian kategorial filsafat
umumnya yang meliputi epistemologi, aksiologi, dan ontologinya.
BAB II
LANDASAN TEORI
1.
Filsafat
Secara
etimologi, filsafat berasal dari kata philosophia
(bahasa Yunani), akar kata dari philein
(cinta), dan sophia (hikmat/intelegensi,
pengetahuan, kebenaran, kebijaksanaan).[2]
Secara etimologi filsafat dapat diartikan mencintai atau mencari kebijaksanaan.
Filsafat merupakan upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan
pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.[3] Dengan
kata lain filsafat tidak dapat lepas dari rekonstruksi pemikiran konsep yang
sistematis, universal, radikal, koherensi, dan bertanggungjawab.
Hakikat
filsafat berorientasi pada pencarian kebenaran makna yang terus menerus yang
ditanyakan dan tidak akan berhenti pada kebenaran fakta tunggal. Karena itu
filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah
masalah.[4]
Secara
umum, pemikiran filsafat dapat dikategorikan dalam tigam macam yakni, (1) Metafisika:
kajian yang mendalam tentang hakikat realitas, meliputi ontologi, kosmologi,
antropologi, dan teologi (what is real?);
(2) Epistemologi: kajian tentang hakikat pengetahuan, meliputi metode, sumber,
struktur, dan validitas (what is true?);
(3) Aksiologi: kajian tentang nilai yang meliputi etika dan estetika (what is value?).
Filsafat
menegaskan bagaimana berpikir kritis terhadap realitas terdalam dengan
menggunakan paradigma berpikir. Hal ini menjadi tugas filsafat, karena
permasalahannya menyangkut nilai, yang berarti filsafat akan dapat menentukan
mana yang paling baik yang harus menjadi pegangan manusia. Berpikir kritis
merupakan tindakan dalam proses pembelajaran yang tidak akan pernah berhenti
pada kesimpulan definitive dan permanen, sebaliknya berpikir terikat pada pola
bertanya yang berorientasi pada penjelasan hakikat makna yang diperoleh.
2.
Filsafat
Pendidikan
Filsafat
pendidikan adalah ilmu yang bersendikan filsafat. Dengan kata lain filsafat
yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah
pendidikan.[5]
Filsafat
pendidikan merupakan bagian dari filsafat khusus yang menjelaskan tentang makna
dasar, tujuan, metodologi, manfaat, dan kaitannya dengan proses pendidikan, hal
itu juga merupakan tugas umum filsafat
pendidikan. Dengan demikian, filsafat pendidikan memberikan kerangka
dasar tentang pendidikan dan hal-hal yang berhubungan dalamnya serta yang
mengarah pada tujuan pendidikan yang merubah perilaku peserta didik.
Filsafat
pendidikan memberikan paradigma proses pendidikan yang mempengaruhi aktualisasi
potensi diri peserta didik yang menghargai dan menghormati hak, kebebasan dan
nilai-nilai kemanusiaan peserta didik. Filsafat pendidikan juga memberikan
kerangka dasar bagi proses pendidikan yang normative dan bernilai, kemudian
menjadi indikator perilaku peserta didik di lingkungan masyarakat.
Struktur
filsafat pendidikan didasarkan pada konsep filsafat umum yang kemudian
menghasilkan aliran teori filsafat: idealism,
realism, positivism, neo-skolastisime, pragmatism, dan eksistensialism. Konsepsi aliran filsafat ini kemudian menjadi
acuan dasar kerangka filsafat pendidikan hingga tujuan.
Dalam
filsafat pendidikan, ada beberapa kategori yang terbentuk yakni: progressivism, esensialism, behaviorsm,
perenialism, dan rekontruksionism. Kategorial
filsafat pendidikan ini membantu pengajar untuk menetapkan konsep pembelajaran
yang akan disampaikan dalam proses pendidikan.
3.
Pendidikan
Kristen
Pendidikan Kristen merupakan pendidikan
yang meliputi seluruh eksistensi dan esensi manusia berdasarkan
kebenaran-kebenaran wahyu khusus Allah dan wahyu umum. Pendidikan Kristen
memiliki pondasi berpikir dari Alkitab yang dipercaya sebagai firman Allah,
yang tidak dapat digantikan dengan prinsip lain untuk menjadi pondasi kerangka
berpikir pendidikan Kristen. Pendidikan Kristen menempatkan Alkitab sebagai
standard ukur teologis normative dan filosofis pragmatis yang dalam diri
Alkitab memiliki dimensi ilahi dan manusiawi.
Pendidikan Kristen berorientasi pada
keselamatan kekal dalam konteks dulu, sekarang dan yang akan datang (progress komulatif) dengan pola hidup
berbagi untuk orang lain dan alam (harmonisasi ekosistem).
Proses pembelajaran dalam pendidikan
Kristen menggunakan skema mengetahui – bertindak – menjadi, yang merupakan
aspek dasar pendidikan konstruksif dengan peserta didik sebagai fokus pembelajaran.
Tujuan pendidikan Kristen ialah perubahan
perilaku berdasarkan firman Allah yang terjadi dalam diri dan kehidupan peserta
didik sehingga mampu memaknai hidup dan bertahan dalam dinamisasi kehidupan
masyarakat.
BAB
III
PEMBAHASAN
Dalam Bab III ini, penulis membahas rekontruksi konsep pemikiran filsafat
pendidikan Kristen berdasarkan pembagian kategorial filsafat umumnya yang
meliputi epistemologi, aksiologi, dan ontologinya.
1.
Epistemologi
Epistemologi
kaitannya dengan pengetahuan dan kebenaran.[6]
Dengan demikian pengertian epistemologi adalah cara yang digunakan untuk
mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya pengetahuan tersebut. Cabang dari
filsafat ini mempelajari sifat, sumber dan validitas dari pengetahuan. Obyek
materi epistemologi ialah pengetahuan, sedangkan objek formal epistemologi
adalah hakikat pengetahuan.
Pemikiran
filsafat pendidikan Kristen berdasarkan epistemologi didasarkan pada “Takut
akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” (Ams 1:7). Maksudnya, permulaan hikmat
adalah takut akan Tuhan, semua orang yang melakukannya memiliki akal budi yang
baik. Maka perspektif Kristen mengenai pengetahuan berhubungan dengan Allah
yang menjadi sumber segala pengetahuan.
Ketika
manusia tidak memahami proses pengetahuan yang diperolehnya akan menjadikan
manusia bersifat egosentris. Pemahaman dasar takut akan Tuhan menekankan bahwa
manusia tidak dapat memiliki pengetahuan sebelum memiliki pengetahuan takut
akan Tuhan.
Epistemologi
filsafat pendidikan Kristen menegaskan bahwa pengetahuan memiliki sifat terikat
dengan sumber segala pengetahuan yaitu Allah. Pengetahuan yang tidak
berorientasi pada Allah menjadikan pengetahuan yang tidak melalui pikiran
manusia. Sebab, pengetahuan dikenal melalui pikiran manusia, pikiran manusia
terikat dengan sang Mutlak yaitu Allah.
Dengan
demikian, pengetahuan itu pasti terikat dengan Allah yang menjadi sumber
pengetahuan dan melalui pikiran manusia pengetahuan itu diperoleh.
2.
Aksiologi
Aksiologi
merupakan aspek filsafat yang berkaitan dengan nilai tertinggi dan bermakna.
Nilai tertinggi adalah nilai yang berasal dari Tuhan dan nilai itu disebut
dengan istilah kebaikan tertinggi.[7]
Terdapat dua nilai dalam aksiologi yaitu: Pertama,
nilai etika merupakan studi tentang nilai-nilai moral dan perilaku. Nilai
etika ini memberikan jawaban mengenai apa yang seharusnya dilakukan seseorang. Kedua, nilai estetika adalah kajian dari
nilai-nilai umum, prinsip yang mengatur penciptaan dan penghargaan terhadap keindahan
dan seni. Nilai ini memberikan jawaban mengenai keindahan.
2.1.
Nilai
Estetika
Dalam
Kitab Kejadian, Allah menciptakan segalanya dengan baik. Bahkan Allah
menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya. Eksistensi manusia ini
sebagai gambar dan rupa Allah, menjadikannya sebagai ciptaan yang mulia dari
segala yang diciptakan oleh Allah. Dari penciptaan manusia yang memiliki
keunikan dan keindahannya masing-masing, sebenarnya telah mempresentasikan
nilai estetika dengan jelas.
2.2.
Nilai
Etika
Namun,
keadaan demikian berubah setelah manusia melanggar perintah Allah. Relasi
manusia dengan Pencipta pun terputus. Keberadaan manusia sebagai mahkluk yang
memiliki sifat religius membuatnya terus mencari keberadaan Tuhan. Realitas ini
terlihat dalam kehidupan dan kebudayaan manusia sampai saat ini. Manusia terus
mencari keberadaan Tuhan dengan cara mereka sendiri. Akan tetapi usaha yang
manusia lakukan hanyalah kesia-siaan belaka, yang tidak menemukan hasilnya.
Manusia justru melakukan kesalahan dengan mengadakan penyembahan kepada
berhala. Pertemuan dan relasi ini hanya akan terjadi apabila Allah sendiri yang
berinisiatif menyatakan diri-Nya.
Kedatangan
Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan wujud inisiatif Allah untuk menyatakan
pribadi-Nya, sehingga penyataan ini sebagai titik balik relasi manusia. Karya
penebusan yang dilakukan Yesus di kayu salib telah memulihkan kembali relasi
manusia dengan Allah. Melalui jalan penebusan yang dilakukan oleh Yesus itulah
nilai etika sebenarnya terpresentasikan. Manusia memperoleh pendamaian dengan
Allah dan status manusia berubah menjadi anak-anak Allah.
3.
Ontologi
Ontologi (bagian dari ranah metafisika) adalah studi
mengenai hakikat realitas bukan hakikat tentang ada. Dalam ontologi memiliki
dua aliran yaitu: materialisme (realitas
yang ada adalah tunggal), dan dualisme (realitas alam semesta memiliki
dua sumber).
Filsafat pendidikan Kristen memahami mengenai
‘realitas ada’ (kelihatan dan tidak kelihatan) berdasarkan pada realitas Allah sang
pencipta dan sumber moral yang dipercaya sebagai pribadi yang ‘ada’ bukan
‘menjadi ada’. Kejadian 1:1 “Pada Mulanya Allah ,menciptakan langit dan bumi”.
Hal itu berarti Allah itu pencipta dan bukan ciptaan. Pengertian tersebut
meneguhkan bahwasanya Allah adalah pribadi yang aktif dan bertanggungjawab
bukan kepada yang lain melainkan pada diri-Nya sendiri.
Filsafat pendidikan Kristen menekankan pondasi
kerangka berpikir dibangun melalui pemahaman terhadap Allah yang berpribadi yang
dinyatakan dalam karya-Nya menciptakan alam semesta.
Allah yang berkarya kemudian berinkarnasi menjadi manusia
yaitu Yesus Kristus sebagai peneguhan bahwa Allah hadir. Allah menjadi manusia
bukan untuk memberikan bukti pada ciptaan-Nya, sebaliknya Allah menegaskan
identitas-Nya sebagai pribadi yang berdaulat yang tidak bertindak berdasarkan
nasihat ciptaan-Nya.
Konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen
didasarkan pada suatu kepastian berpikir yang dimulai dari perspektif Allah
yang berpribadi dan berkarya. Bukan diawali pada spekulasi-spekulasi yang
dihasilkan dari pikiran manusia yang sejatinya adalah suatu asumsi untuk
manusia mulai berpikir. Filsafat pendidikan Kristen menjelaskan bahwa realitas
ada itu Allah berpribadi, Pencipta yang berdaulat dan sumber moral.
Pengingkaran terhadap adanya realitas ada yang absolute (Allah pencipta)
menghasilkan silogisme yang tidak sehat yang hanya menekankan pada realitas
yang nampak, yang terbatas oleh hukum-hukum ciptaan yang terbatas pula.
BAB IV
KESIMPULAN
Pertama,
pendidikan Kristen memiliki pondasi berpikir dari Alkitab yang dipercaya
sebagai firman Allah, yang tidak dapat digantikan dengan prinsip lain untuk
menjadi pondasi kerangka berpikir pendidikan Kristen. Dengan tujuan untuk
mewujudkan perubahan perilaku berdasarkan firman Allah yang terjadi dalam diri
dan kehidupan peserta didik sehingga mampu memaknai hidup dan bertahan dalam
dinamisasi kehidupan masyarakat.
Kedua,
epitemologi pendidikan Kristen didasarkan pada “Takut akan Tuhan adalah
permulaan pengetahuan” (Ams 1:7). Maka perspektif Kristen mengenai pengetahuan
berhubungan dengan Allah yang menjadi sumber segala pengetahuan. Epistemologi
filsafat pendidikan Kristen menegaskan bahwa pengetahuan memiliki sifat terikat
dengan sumber segala pengetahuan yaitu Allah.
Ketiga,
aksiologi pendidikan Kristen berkaitan dengan dua nilai yang terkandung di
dalamnya. (1) Nilai Estetika dipresentaikan dengan jelas melalui penciptaan
manusia sebagai gambar dan rupa Allah. (2) Nilai etika dipresentasikan melalui
tindakan Allah untuk menebus manusia dengan jalan inkarnasi dan kematian-Nya di
kayu salib.
Keempat,
ontologi pendidikan Kristen memahami
mengenai ‘realitas ada’ (kelihatan dan tidak kelihatan) berdasarkan pada
realitas Allah sang pencipta dan sumber moral yang dipercaya sebagai pribadi yang
‘ada’ bukan ‘menjadi ada’. Konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen
didasarkan pada suatu kepastian berpikir yang dimulai dari perspektif Allah
yang berpribadi dan berkarya. Bukan diawali pada spekulasi-spekulasi yang
dihasilkan dari pikiran manusia yang sejatinya adalah suatu asumsi untuk
manusia mulai berpikir.
Dengan demikian, segala aspek dari proses pendidikan yang berjalan harus
kembali pada satu kebenaran, yaitu pribadi Allah sebagai pribadi yang absolut.
Sehingga pendidikan hanya untuk kepentingan Allah, karena Allah ingin mengembalikan
manusia kepada kemuliaan. Maka setiap lembaga pendidikan
Kristen yang ada harus merekontruksi
konsep pemikiran filsafat pendidikan Kristen berdasarkan pembagian kategorial
filsafat umumnya yang meliputi epistemologi, aksiologi, dan ontologinya.
[1] M.J. Langeveld, Beknopte Theoritische Paedagogiek,
terj.:Simajuntak, (Bandung: Jemmars, 1980).
[2] Khoe Yao Tung. Filsafat Pendidikan Kristen (Yogyakarta:
Andi Offset, 2013), 1.
[3] Louis O. Kattsof. Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996), 4.
[4] Franz Magnis-Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), 20.
[5] Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Manfaat
(Yogyakarta: Andi Offset, 1994), 7.
[6] Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 69.
[7] James Braley, Dasar Pendidikan Kristen (Surabaya:
ACSI, 2012),
0 Response to "Filsafat Dalam Pendidikan Kristen"
Posting Komentar