REVIEW BUKU: TEOLOGI PERJANJIAN LAMA (Masalah-Masalah Pokok Dalam Perdebatan Saat Ini)

Photo by: Shopee

 v  IDENTITAS BUKU

             I.            Pengenalan Umum Buku

1.      Judul Asli                       : OLD TESTAMENT THEOLOGY (Basic Issues in the Current Debate)

2.      Originally Published      : William B. Eerdmands Publishing Co.

3.      Judul Buku                     : TEOLOGI PERJANJIAN LAMA (Masalah-Masalah Pokok Dalam Perdebatan Saat Ini)

4.      Penulis                            : Gerhard F. Hasel

5.      Penerbit                          : Gandum Mas, Malang

6.      Tahun Terbit                   : 2006, Cet. Ke-4

7.      Tebal Buku                     : 199 hlm.

  

          II.            Pengenalan Khusus Buku

1.      Posisi Penulis

Penulis merupakan seorang professor Perjanjian Lama dan telah menghasilkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan dunia Perjanjian Lama. Sehingga dalam menyusun karyanya yang ini penulis sudah memiliki pengalaman yang cukup dan tentunya sudah sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya.

2.      Latar Belakang Buku

Penulis telah mengungkapkan kegunaan buku sebagai sebuah pengantar kepada perdebatan mengenai sifat, fungsi, metode, dan lingkup bahasan Teologi Perjanjian Lama, dengan tambahan pasal penting yang membahas asal mula perkembangan dari Teologi Alkitabiah dan Perjanjian Lama. Pasal ini menunjukkan sumber-sumber dari perdebatan dewasa ini serta memberikan pandangan tentang aneka tahap sejarah yang berubah-ubah dari disiplin ini.

3.      Susunan Subtema

Daftar Singkatan …………………………………………………………………....6

Prakata …………………….………………………………………………………..7

Pengantar ……...……………………………………………………………………9

                                           I.            Permulaan dan Perkembangan Teologi Perjanjian Lama …………………...15

                                        II.            Sekitar Masalah Metodologi ………………………………………………...37

                                     III.            Masalah Sejarah, Sejarah Tradisi, dan Sejarah Keselamatan ……………...101

                                     IV.            Pusat Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Lama ……………………...121

                                        V.            Hubungan Antara Kedua Perjanjian ……………………………………….147

                                     VI.            Saran-Saran Pokok untuk Membuat Teologi Perjanjian Lama …………….171

Bibliografi Pilihan ………………………………………………………………..181

 

v  RINGKASAN BUKU

Prakata

Dalam prakata buku “Teologi Perjanjian Lama” ini, penulis menjelaskan bahwa buku ini merupakan sebuah revisi dari karya penulis sebelumnya. Penulis mengingat bahwa begitu cepat habisnya edisi yang pertama, telah menunjukkan bahwa buku tersebut sangat berguna bagi pembacanya. Dengan demikian penulis menerbitkan karyanya ini, dengan beberapa penyempurnaan pada setiap pasalnya, serta adanya penambahan gagasan teologinya yang relevan dengan kebutuhan masalah-masalah dewasa kini.

Pengantar

Penulis mengawali kata pengantarnya dengan mengangkat permasalahan; krisis yang terjadi dalam Teologi Perjanjian Lama dewasa ini. Metode yang dipakai penulis dengan cara menyajikan kutipan dari monograf-monograf dan artikel-artikel yang ditulis oleh para pakar teolog (disertai sumbernya yang tertulis di footnote)

Sumbangan-sumbangan besar dari para pakar teolog dalam bentuk monograf menunjukkan bahwa perdebatan mengenai sifat, manfaat, metode, serta bentuk Teologi Perjanjian Lama masih berlangsung tanpa berkurang. Teologi-teologi Perjanjian Lama yang lahir dewasa ini, menunjukkan bahwa keseluruhan usaha teologi Perjanjian Lama dan Teologi Alkitabiah yang lebih luas masih dalam keadaan terus berubah dan bertambah rumit.

Jadi, penulis hanya berfokus pada permasalahan penting yang merupakan pusat dari persoalan-persoalan fundamental dalam perdebatan dewasa ini memiliki suatu landasan yang cukup luas.

 

                                                                           I.            Permulaan dan Perkembangan Teologi Perjanjian Lama

Pasal ini dirancang untuk meneliti kecenderungan-kecenderungan utama dalam sejarah teologi Perjanjian Lama dan teologi Alkitabiah dari awal munculnya sampai kebangunan kembali teologi Perjanjian Lama seterlah Perang Dunia I. Penelitian Sejarah bertujuan untuk menjelaskan latar belakang perdebatan tentang lingkup, maksud, sifat, dan fungsi teologi Perjanjian Lama.

A. Sejak Reformasi Hingga Pencerahan. Para reformis tidak menciptakan istilah “teologi Alkitabiah”, juga tidak terlibat dalam teologi Alkitabiah sebagai disiplin sebagaimana hal itu kemudian dipahami. Ini adalah impak dari hermeneutic, prinsip dan dualisme Luther yang menghalangi mengembangkan teologi Alkitabiah. Baru seratus tahun setelah gerakan Reformasi istilah “teologi Alkitabiah” muncul pertama kali dalam karya Wolfgang Jacob Christmann (Teutsche Biblische Theologie. Kempten, 1629). Sumbangan Calovius memberikan peranan kepada teologi Alkitabiah sebagai disiplin tambahan yang mendukung doktrin-doktrin ortodoks golongan protestan. Kedudukan teologi Alkitabiah sebagai disiplin dapat disaksikan melalui karya; Sebastian Schmidt (1671), Johann Hulsemann (1679), Johann Heinrich Maius (1689), Johann Wilhelm Baier (1716-19), dan Christian Eberhard Weismann (1739). Di dalam gerakan Pietisme, teologi Alkitabiah sebagai alat reaksi terhadap sifat ortodoks Protestan yang kering. Pengaruh gerakan Pietisme tercermin dalam karya; Carl Haymann (1708), J. Deutschmann (1710), dan J. C. Weidner (1722), yang menolak sistem-sistem doktrin ortodoks dengan “teologi Alkitabiah”. Sejak sekitar 1745 “teologi Alkitabiah” jelas sudah terpisah dari teologi dogmatic (sistematika) dan “teologi Alkitabiah” . Ini terwujud di bawah pengaruh rasionalisme pada zaman Pencerahan.

B. Zaman Pencerahan. Sumbangan utama pada zaman Pencerahan adalah pendekatan penelaahan Alkitab dengan metode rasionalisme terhadap supranaturalisme. Akhirnya pada hakikatnya Alkitab hanya dijadikan sebagai dokumen kuno yang dipelajari, dan akibatnya teologi Alkitabiah tidaklah lebih daripada sekadar disiplin sejarah yang berlawanan dengan dogmatic tradisional.

Gotthilf Traugott Zacharia (1729-1777) melalui karyanya berusaha memisahkan teologi Alkitabiah dari dogmatic dengan kesimpulannya bahwa penafsiran Alkitab secara historis dan pemahaman kanonik tentang Alkitab tidaklah berbenturan, karena aspek historis tidak terlalu penting dalam teologi. Selanjutnya, C. F. von Ammon (1792) dengan pandangannya bahwa Perjanjian Baru lebih tinggi daripada Perjanjian Lama. Johann Philipp Gabler (1753-1826) juga memberikan sumbangan bahwa teologi Alkitabiah memiliki sifat historis, meneruskan pemahaman para penulis Alkitab tentang masalah-masalah ilahi; sebaliknya teologi dogmatic memiliki sifat mendidik, mengajarkan hasil penalaran filosofis seorang teolog tertentu terhadap masalah-masalah ilahi sesuai dengan kemampuan, waktu, usia, tempat, aliran atau mashab dan hal-hal lain semacam itu dari sang teolog tersebut. Tujuan teologi Alkitabiah yang secara ketat berkaitan dengan sejarah, dicapai pertama kali oleh George Lorenz Bauer (1755-1806), yang telah memisahkan teologi Alkitabiah menjadi Teologi Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Baru.

C. Dari Zaman Pencerahan Hingga Zaman Teologi Dialektik. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa disiplin baru yang berkaitan dengan sejarah ini kalah dan dikuasai oleh berbagai sistem filsafat, lalu mengalami tantangan dari ilmu pengetahuan Alkitab yang konservatif, dan akhirnya mati oleh pendekatan dari sudut “sejarah agama-agama”. Di dalam beberapa dasawarsa sesudah Perang Dunia I, disiplin teologi Alkitabiah ini menerima kehidupan yang baru di dalam periode teologi dialektik.

 

                                                                                                                         II.            Sekitar Masalah Metodologi

Setelah Perang Dunia I perdebatan soal metodologi terus berlangsung hingga kini. Perdebatan menyangkut apakah Teologi Perjanjian Lama itu semata-mata bersifat deskriptif dan historis, ataukah normative dan teologis. Pasal ini penulis mencoba mengklasifikasikan berbagai cara yang dengannya par sarjana telah menyusun teologi Perjanjian Lama untuk menganalisis pendekatan-pendekatan metodologis meutakhir yang utama serta masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pendekatan tersebut.

Tugas Deskriptif dan/atau Normatif

Stendahl mengungkapkan; ahli teologi Alkitabiah dikatakan harus memusatkan perhatiannya pada soal menguraikan “arti asli dari ayat” dan bukan “makna ayat itu masa kini”. Pembedaan ini memisahkan dengan pasti pendekatan deskriptif terhadap Alkitab dengan pendekatan normative. Ini merupakan suatu rekonstruksi historis yang artinya penyajian dunia pemikiran tentang Perjanjian Lama (atau PB) sebagaimana direkonstruksikan berdasarkan lingkungan sosial kulturnya.

Dikotomi Stendahl ini menerima perlawanan dari Childs, A. Dulles, dan para teolog lainnya. Mereka beranggapan bahwa, bagaimana mungkin pendekatan deskriptif yang non-normative dengan penekanan historisnya yang serba membatasi sanggup membawa kepada keseluruhan kenyataan teologis yang terkandung dalam ayat Alkitab.

Penulis memberikan pendapatnya bahwa dewasa ini terdapat usaha baru dari pihak para ahli teologi Alkitabiah untuk memandang kegiatan teologi Alkitabiah sebagai lebih dari sekedar bersifat deskriptif dan non-normatif. Kenyataan ini akan nampak lebih jelas ketika menyelidiki beberapa pendekatan penting terhadap teologi Perjanjian Lama selama lima dasawarsa terakhir ini dengan perhatian khusus pada periode sejak tahun 1970-an. (dari pendapat yang disampaikan oleh penulis buku, terlihat kemungkinan penulis juga menolak metode dari Standahl).

Metodologi Dalam Teologi Perjanjian Lama

Dewasa ini kita makin terpisah jauh dalam hal kesepakatan tentang konteks dan metode teologi Perjanjian Lama daripada keadaan kita lima puluh tahun yang lalu. Menjadi tugas kitalah sekarang untuk menyelidiki dan mengklasifikasikan berbagai teologi Perjanjian Lama yang ada, sekalipun hal itu kadang-kadang sulit dilaksanakan dengan memadai.

A. Metode Didaktik-Dogmatik. Metode tradisional dalam mengorganisasikan teologi Perjanjian Lama ialah pendekatan yang dipinjam dari teologi dogmatic dan bagiannya tentang Teologi-Antropologi-Soteriologi. Skema ini dipakai oleh beberapa ahli seperti; Georg Lorenz Bauer, R. C. Dentan, M. Garcia Cordero dan D. F. Hinson.

Sedangkan penulis buku berpendapat bahwa metode didaktik-dogmatik memiliki beberapa keuntungan tertentu, namun di sisi lain persoalan sifat deduktif dari metode ini tidak dapat dihindari. Inti Perjanjian Lama bahkan tidak menjadi masalah atau tidak terlalu penting dalam pendekatan dogmatic karena inti itu telah ditetapkan sebelumnya oleh skema pendekatan ini (Teologi-Antropologi-Soteriologi).

B. Metode Progresif –Genetis. Dilihat dari sudut lingkar pembahasan, fungsi, serta struktur teologi Perjanjian Lama maka metode ini merupakan suatu metode lain yang telah dipergunakan dengan ragam cara.

C. Metode Penggunaan Contoh yang Representatif yang Mewakili Keseluruhan. Perintis utama metode ini adalah Eichrodt yang mampu melakukan penggunakan contoh yang representative terhadap seluruh dunia pemikiran Perjanjian Lama dengan membuat perjanjian itu sebagai pusat Perjanjian Lama.

D. Metode Topikal. Metode topical dibedakan dengan metode didaktik-dogmatik lewat penolakannya untuk membiarkan kategori-kategori lewat penolakannya untuk membiarkan kategori-kategori dari luar dilapisi sebagai suatu jaringan melalui mana bahan-bahan dan tema-tema Perjanjain Lama dibaca, dirangkum, dan disistematisasi.

E. Metode Diakronis. Pendekatan diakronis menembus sampai ke beberapa lapisan berturut-turut dari ayat Perjanjian Lama tertentu dengan tujuan mengungkapkan “kegiatan teologi Israel yang mungkin merupakan salah satu kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik, yaitu usaha-usaha yang senantiasa baru untuk membuat tindakan-tindakan penyelamatan ilahi relevan bagi setiap masa dan waktu—pencapaian dan pengakuan yang senantiasa baru untuk membuat tindakan-tindakan Allah yang akhirnya membuat berbagai pengakuan iman lama menjadi tradisi-tradisi yang begitu banyak.

F. Metode “Pembentukan Tradisi”. Suatu teologi Alkitabiah atau teologi Perjanjian Lama yang berubah menjadi suatu fenomenologi proses-proses pembentukan tradisi dikatakan menemukan kesinambungan dan kesatuan tidak lagi di dalam Allah yang sama tetapi di dalam suatu ontologi proses hidup tertentu yang berkesinambungan.

G. Metode Dialektis-Tematik. Seperti yang telah diungkapkan W. Bruegmann, metode ini menunjukkan bahwa ada titik temu baru dalam teologi Perjanjian Lama, titik temu ini jelas dalam pendekatan-pendekatan terhadap teologi Perjanjian Lama (dan Alkitabiah) yang memakai hubungan tematik dan dialektis.

H. Metode “Alkitabiah Baru”. Metode ini respon untuk mengatasi dikotomi antara “arti asli dari ayat” dengan “makna ayat itu untuk masa kini” yang telah digunakan dengan begitu hebat oleh penelitian ilmiah modern.

 

                                                               III.            Masalah Sejarah, Sejarah Tradisi, dan Sejarah Keselamatan

Sekelompok masalah yang berkaitan dengan pemahaman yang tepat tentang sejarah telah menjadi pusat perhatian. Dalam hal ini penulis buku telah menyajikan pemikiran-pemikiran para teolog dengan perdebatannya seputar masalah sejarah, sejarah tradisi, dan sejarah keselamatan. Diakhir pasal penulis menanggapi setiap hasil pemikiran para teolog tersebut dan menyampaikan pemikirannya sendiri. Inilah argumen penulis;

Menurut pendapat teolog sekarang ini rasanya tidaklah meungkin mendasarkan “sejarah keselamatan” pada metode penelitian sejarah “Hesse” dan tidak mungkin memperluas metode penelitian sejarah itu sedemikian rupa sampai realitas mutlak dapat nyata melaluinya (Pannenberg, Rendtorff), karena penyesuaian-penyesuaian besar yang berbau prasangka dan filosofis yang harus dibuat akan mengubah metode ini secara demikian radikal sehingga sifatnya yang berkaitan dengan penelitian sejarah sebagaimana biasanya dipahami saat ini akan hilang. Sekalipun demikian, tidak peduli bagaimana mengevaluasi cara Pannenberg dan kelompoknya mengerjakan teologi-teologi mereka, gagasan Pannenberg bahwa “sekarang kita harus menerima kembali kesatuan yang semula dari fakta-faktadan maknanya” memerlukan pertimbangan yang serius sebagai suatu titik tolak baru untuk mengatasi dikotomi modern yang dengannya historiografi telah memecah sejarah Israel dengan pengaruh-pengaruh yang begitu ketinggalan zaman dan meragukan positivisme dan neo-Kantianisme. Dengan demikian iman tidak akan tercipta melalui “bahasa fakta” atau melalui sebuah bukti tentang peristiwa-peristiwa berdasarkan metode penelitian sejarah, tetapi melalui fakta bahasa, yang membuat peristiwa dan kata menjasi suatu kesatuan asli yang utama bagi pendengar. Jadi, bila kita berbicara mengenai tindakan-tindakan Allah di dalam sejarah Israel, tidak ada alasan untuk membatasi kegiatan ini beberapa peristiwa nyata, bruta facta, sehingga skema penelitian sejarah dapat membuktikan sesuatu lewat pemeriksaan silang dengan fakta-fakta sejarah yang lain. Juga tidaklah cukup dan tepat untuk memakais skema hermeneutis von Rad, karena dengan skema manapun ilmu pengetahuan tidak dapat mencapai pengertian yang dapat diterima sepenuhnya tentang realitas sejarah karena adanya berbagai keterbatasan dan kekurangan yang serius dalam bidang metodologis, jistoris, dan teologis. Tindakan-tindakan Allah menyertai seluruh karier Israel di dalam sejarah, termasuk cara-cara yang sangat kompleks dan beraneka ragam yang dengannya Israel mengembangkan dan mewariskan pengakuan-pengakuannya. Jadi, kita harus bekerja dengan suatu metode yang memperhatikan keseluruhan sejarah itu dengan mengakui kesatuan asli dari fakta-fakta dan maknanya serta suatu konsepsi tentang realitas mutlak yang memadai.

 

                                                                            IV.            Pusat Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Lama

Masalah pusat memainkan peranan penting dan menentukan penyajian teologi Perjanjian Lama. Dalam pasal ini penulis membatasi diskusi hanya pada sekitar usaha-usaha yang melahirkan sebuah konsepsi, tema, motif, atau gagasan tertentu sebagai pusat Perjanjian Lama yang merupakan prinsip pemersatu berdasarkannya bahan-bahan Perjanjian Lama yang beraneka ragam dapat diatur menjadi sebuah teologi Perjanjian Lama yang sistematis.

Para sarjana yang telah diacu penulis dalam pasal ini telah setuju bahwa sebuah konsepsi, tema, motif, atau gagasan alkitabiah tunggal dapat dijadikan pusat yang dapat dipakai sebagai sebuah prinsip pengatur untuk membuat semacam struktur sistematis dari teologi Perjnajian Lama.

Kesimpulan yang diberikan penulis mengenai masalah ini, yaitu Allah adalah pusat pemersatu yang dinamis dari Perjanjian Lama. Dalam menyatakan bahwa Allah merupakan pusat pemersatu yang dianamis dari Perjanjian Lama, orang harus ingat bahwa Perjanjian Lama tidak berbicara tentang keberadaan, sifat, dan kegiatan Allah dengan cara yang abstrak. Setiap saat dalam Perjanjian Lama Allah menunjukkan diri-Nya dalam keadaan aktif. Tuntutan utama Perjanjian Lama terhadap Allah ialah tindakan penyelamatan-Nya.

Sebuah teologi Perjanjian Lama yang mengakui Allah sebagai pusat pemersatu yang dinammis memberikan gambaran teologi-teologi yang kaya dan menyajikan berbagai tema, motif, dan gagasan longitudinal.

Masalah pusat Perjanjian Lama terutama sekali menyinggung sifat kesatuan dan kesinambungan Perjanjian Lama. Dengan mengakui Allah sebagai pusat pemersatu yang dinamis dari Perjanjian Lama orang dapat berbicara tentang kesatuan dan kesinambungan Perjanjian Lama dalam pengertiannya yang paling mendasar. Kesatuan dan kesinambungan bersumber pada Allah, dalam keanekaragaman penyataan diri-Nya dalam berbagai perbuatan dan firman. Perjanjian Lama pada saat yang sama merupakan sebuah “kitab terbuka” yang mrenunjukkan pada sumber di belakangnya.

 

                                                                                                          V.            Hubungan Antara Kedua Perjanjian

Bagi setiap teolog Kristen, teologi Perjanjian Lama adalah dan harus merupakan bagian dari teologi Alkitabiah. Seorang teolog Alkitabiah harus mempelajari hubungan timbal balik antara kedua Perjanjian dan “harus memberitahukan pemahamannya tentang Alkitab sebagai keseluruhan, yaitu terutama masalah-masalah teologi yang terjadi karena menyelidiki kesatuan inti dari berbagai macam-macam kesaksian Alkitab. Kenyataan ini menimbulkan persoalan-persoalan tentang kesinambungan dan keadaan tidak bersambung, tentang apakah orang secara unik membaca dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru atau dari Perjanjian Baru kembali ke Perjanjian Lama, atau secara timbal balik dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru dan dari Perjanjian Baru ke Perjanjian Lama. Mengenai permasalahan ini setiap teolog mengeluarkan tesis mereka masing-masing. Tetapi usaha ini pun juga belum menemukan titik terang.

Mengingat pertimbangan-pertimbangan para teolog, nampaknya jalan satu-satunya yang memadai untuk menagatasi sifat multipleks dari hubungan antara kedua Perjanjian adalah dengan memilih suatu pendekatan multipleks, yaitu pendekatan yang menggunakan pemakaian tipologi secara sangat berhati-hati dan teliti, memakai ide penggenapan janji, dan memakai saecara berhati-hati pendekatan heilsgeschichte.

Bila dipahami secara benar, berbagai hubungan timbal balik antara kedua Perjanjian ini dapat dianggap sebagai menjelaskan kesatuan antara kedua Perjanjian tanpa memaksakan suatu keseragaman atas bermacam-macam kesaksian alkitabiah. Ada kesatuan dalam perbedaan.

 

                                                           VI.            Saran-Saran Pokok Untuk Membuat Teologi Perjanjian Lama

Usaha untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah penting yang belum terselesaikan mengenai jalan-jalan yang telah ditempuh oleh para ahli teologi Alkitabiah telah menunjukkan kepada kita bahwa kini harus di susun suatu pendekatan yang pada dasarnya baru. Suatu cara yang produktif untuk meneruskan dari keadaan dewasa ini nampaknya perlu bersandar pada saran-saran pokok untuk membuat teologi Perjanjian Lama berikut ini.

1.      Teologi Alkitabiah harus dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis.

2.      Bila teologi Alkitabiah dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat historis-teologis, maka dengan sendirinya metodenya yang tepat harus bersifat historis dan teologi sejak awal.

3.      Ahli teologi Alkitabiah yang terlibat dalam teologi Perjanjian Lama mrnunjukkan pokok persoalannya terlebih dahulu karena usahanya itu merupakan teologi Perjanjian Lama.

4.      Penyajian teologi-teologi dari kitab-kitab atau kelompok tulisan dalam Perjanjian Lama akan lebih suka tidak mengikuti urutan kitab-kitab tersebut dalam urutan kanoniknya.

5.      Sebuah teologi Perjanjian Lama tidak sekedar berusaha untuk mengetahui teologi dari berbagai kitab, atau kelompok kitab.

6.      Waktu Perjanjian Lama ditanya untuk memperoleh teologinya, pertama-tama dijawab dengan memberikan berbagai teologi, yaitu teologi dari kitab-kitab terpisah dan kelompok tulisan, dan kemudian dengan memberikan teologi-teologi dari berbagai tema longitudinal.

7.      Ahli teologi Alkitab memahami teologi Perjanjian Lama sebagai lebih luas daripada “teologi Kitab Suci Ibrani”.

 

v  EVALUASI BUKU

A.    Kutipan Terbaik

Penulis membawa para pembaca untuk menyamakan persepsinya dengan apa yang telah disimpulkan penulis mengenai masalah pusat Perjanjian Lama:

“Dengan mengakui Allah sebagai pusat pemersatu yang dinamis dari Perjanjian Lama orang dapat berbicara tentang kesatuan dan kesinambungan Perjanjian Lama dalam pengertiannya yang paling mendasar”.[1]

Penulis memberikan pemahaman dasar mengenai teologi Perjanjian Lama, bahwa:

“Teologi Perjanjian Lama adalah dan harus tetap merupakan bagian dari teologi Alkitabiah”.[2]

Penulis buku memberikan konklusi yang tepat bagi para pembaca dengan sebuah kesempatan bagi para teolog untuk memberikan kontribusi yang relevan bagi teologi Alkitabiah (khususnya Perjanjian Lama):

“Berlandaskan pada gagasan-gagasan yang menguraikan suatu pendekatan baru terhadap teologi Perjanjian Lama, orang sekarang diharapkan sanggup menyusun suatu teologi Perjanjian Lama yang dapat menghindari berbagai perangkap serta jalan buntu yang telah menimbulkan krisis dalam teologi Perjanjian Lama sekarang ini. Pada saat yang sama orang mungkin lebih dekat selangkah lagi dalam menghasilkan suatu teologi Alkitabiah yang sangat banyak dibicarakan dan sangat dinanti-nantikan baik tentang Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru”.[3]

 

B.     Kelebihan/Kekuatan Buku

1.      Penulis mengemukakan gagasan-gagasannya dengan jelas dan cermat tentang berbagai kecenderungan utama dalam ilmu pengetahuan Perjanjian Lama yang relevan bagi kondisi sekarang ini.

2.      Setiap gagasan yang dikemukakan oleh penulis adalah hasil dari proses analisanya yang sangat teliti. Hal ini ditunjukkan dari pengamatannya terhadap kondisi perdebatan sekarang ini serta pengutipan-pengutipan dari monograf-monograf yang ditulis oleh para pakar teologi lainnya.

3.      Penulis menyajikan metode pendekatan yang multipleks terhadap teologi Perjanjian Lama.

4.      Penyusunan judul buku, pasal-pasalnya dan materi/kontennya secara harmonis atau selaras, sehingga keutuhan makna yang ingin disampaikan sangat terjaga dengan baik.

C.    Kekurangan/kelemahan Buku

1.      Buku ini tidak dapat dinikmati oleh kaum awam (jemaat Kristen biasa), buku ini lebih bersifat sebagai literature bagi mahasiswa teologi dan dosen.

2.      Pemilihan diksi yang dipakai penulis sukar untuk dimengerti.

 

v  SARAN, BERKAT PRIBADI, DAN APLIKASI

A.    Saran

Penulis membatasi penulisannya sesuai dengan apa yang dialaminya (dilihat dan  dipelajarinya), namun sebenarnya masih begitu kompleksnya masalah-masalah pokok mengenai Teologi Perjanjian Lama dalam perdebatan dewasa ini. Maka pembaca perlu mengadakan studi lebih lanjut dengan tekun untuk memperoleh dan menghasilkan gagasan-gagasan yang Alkitabiah dan relevan bagi kebutuhan dewasa ini.

B.     Berkat Pribadi

Setelah melakukan  kegiatan laporan baca ini (membaca, memahami, meringkas dan memberikan evaluasi) pelapor menemukan pemahaman yang lebih lagi mengenai masalahan-masalah pokok teologi Perjanjian Lama dalam perdebatan saat ini, serta pendekatan mana yang paling relevan untuk meresponi masalah-masalah tersebut.

C.    Aplikasi

1.      Saya harus mempelajari lebih lanjut kembali mengenai teologi Perjanjian Lama dan permasalahannya. (membaca buku-buku yang disarankan penulis dalam bibliografi).

2.      Saya harus menghargai hasil-hasil teologi dari para pakar teolog, namun di sisi lain saya juga harus bisa mandiri untuk menemukan gagasan yang Alkitabiah.



[1] Bagian; IV. Pusat Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Lama, (hlm. 146)

[2] Bagian; V. Hubungan Antara Kedua Perjanjian, (hlm. 147)

[3] Bagian; VI. Saran-Saran Pokok Untuk Membuat Teologi Perjanjian Lama, (hlm.185).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "REVIEW BUKU: TEOLOGI PERJANJIAN LAMA (Masalah-Masalah Pokok Dalam Perdebatan Saat Ini)"

Posting Komentar