REVIEW BUKU: TEOLOGI PERJANJIAN LAMA (Masalah-Masalah Pokok Dalam Perdebatan Saat Ini)
Photo by: Shopee
v IDENTITAS BUKU
I.
Pengenalan
Umum Buku
1. Judul
Asli : OLD TESTAMENT THEOLOGY (Basic Issues in the Current
Debate)
2. Originally
Published : William B. Eerdmands
Publishing Co.
3. Judul
Buku : TEOLOGI PERJANJIAN LAMA (Masalah-Masalah Pokok Dalam
Perdebatan Saat Ini)
4. Penulis :
Gerhard F. Hasel
5. Penerbit :
Gandum Mas, Malang
6. Tahun
Terbit : 2006, Cet. Ke-4
7. Tebal
Buku : 199 hlm.
II.
Pengenalan
Khusus Buku
1. Posisi
Penulis
Penulis merupakan seorang professor Perjanjian Lama dan telah menghasilkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan dunia Perjanjian Lama. Sehingga dalam menyusun karyanya yang ini penulis sudah memiliki pengalaman yang cukup dan tentunya sudah sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya.
2. Latar
Belakang Buku
Penulis telah mengungkapkan kegunaan buku sebagai sebuah pengantar kepada perdebatan mengenai sifat, fungsi, metode, dan lingkup bahasan Teologi Perjanjian Lama, dengan tambahan pasal penting yang membahas asal mula perkembangan dari Teologi Alkitabiah dan Perjanjian Lama. Pasal ini menunjukkan sumber-sumber dari perdebatan dewasa ini serta memberikan pandangan tentang aneka tahap sejarah yang berubah-ubah dari disiplin ini.
3. Susunan
Subtema
Daftar Singkatan
…………………………………………………………………....6
Prakata …………………….………………………………………………………..7
Pengantar ……...……………………………………………………………………9
I.
Permulaan dan Perkembangan Teologi
Perjanjian Lama …………………...15
II.
Sekitar Masalah Metodologi
………………………………………………...37
III.
Masalah Sejarah, Sejarah Tradisi, dan
Sejarah Keselamatan ……………...101
IV.
Pusat Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian
Lama ……………………...121
V.
Hubungan Antara Kedua Perjanjian
……………………………………….147
VI.
Saran-Saran Pokok untuk Membuat Teologi
Perjanjian Lama …………….171
Bibliografi Pilihan
………………………………………………………………..181
v RINGKASAN BUKU
Prakata
Dalam prakata buku “Teologi Perjanjian Lama” ini, penulis menjelaskan bahwa buku ini merupakan sebuah revisi dari karya penulis sebelumnya. Penulis mengingat bahwa begitu cepat habisnya edisi yang pertama, telah menunjukkan bahwa buku tersebut sangat berguna bagi pembacanya. Dengan demikian penulis menerbitkan karyanya ini, dengan beberapa penyempurnaan pada setiap pasalnya, serta adanya penambahan gagasan teologinya yang relevan dengan kebutuhan masalah-masalah dewasa kini.
Pengantar
Penulis
mengawali kata pengantarnya dengan mengangkat permasalahan; krisis yang terjadi
dalam Teologi Perjanjian Lama dewasa ini. Metode yang dipakai penulis dengan
cara menyajikan kutipan dari monograf-monograf dan artikel-artikel yang ditulis
oleh para pakar teolog (disertai sumbernya yang tertulis di footnote)
Sumbangan-sumbangan
besar dari para pakar teolog dalam bentuk monograf menunjukkan bahwa perdebatan
mengenai sifat, manfaat, metode, serta bentuk Teologi Perjanjian Lama masih
berlangsung tanpa berkurang. Teologi-teologi Perjanjian Lama yang lahir dewasa
ini, menunjukkan bahwa keseluruhan usaha teologi Perjanjian Lama dan Teologi
Alkitabiah yang lebih luas masih dalam keadaan terus berubah dan bertambah
rumit.
Jadi,
penulis hanya berfokus pada permasalahan penting yang merupakan pusat dari
persoalan-persoalan fundamental dalam perdebatan dewasa ini memiliki suatu
landasan yang cukup luas.
I.
Permulaan
dan Perkembangan Teologi Perjanjian Lama
Pasal
ini dirancang untuk meneliti kecenderungan-kecenderungan utama dalam sejarah
teologi Perjanjian Lama dan teologi Alkitabiah dari awal munculnya sampai
kebangunan kembali teologi Perjanjian Lama seterlah Perang Dunia I. Penelitian
Sejarah bertujuan untuk menjelaskan latar belakang perdebatan tentang lingkup,
maksud, sifat, dan fungsi teologi Perjanjian Lama.
A.
Sejak Reformasi Hingga Pencerahan. Para reformis tidak
menciptakan istilah “teologi Alkitabiah”, juga tidak terlibat dalam teologi
Alkitabiah sebagai disiplin sebagaimana hal itu kemudian dipahami. Ini adalah
impak dari hermeneutic, prinsip dan dualisme Luther yang menghalangi
mengembangkan teologi Alkitabiah. Baru seratus tahun setelah gerakan Reformasi
istilah “teologi Alkitabiah” muncul pertama kali dalam karya Wolfgang Jacob
Christmann (Teutsche Biblische Theologie.
Kempten, 1629). Sumbangan Calovius memberikan peranan kepada teologi
Alkitabiah sebagai disiplin tambahan yang mendukung doktrin-doktrin ortodoks
golongan protestan. Kedudukan teologi Alkitabiah sebagai disiplin dapat
disaksikan melalui karya; Sebastian Schmidt (1671), Johann Hulsemann (1679),
Johann Heinrich Maius (1689), Johann Wilhelm Baier (1716-19), dan Christian
Eberhard Weismann (1739). Di dalam gerakan Pietisme, teologi Alkitabiah sebagai
alat reaksi terhadap sifat ortodoks Protestan yang kering. Pengaruh gerakan
Pietisme tercermin dalam karya; Carl Haymann (1708), J. Deutschmann (1710), dan
J. C. Weidner (1722), yang menolak sistem-sistem doktrin ortodoks dengan
“teologi Alkitabiah”. Sejak sekitar 1745 “teologi Alkitabiah” jelas sudah
terpisah dari teologi dogmatic (sistematika) dan “teologi Alkitabiah” . Ini
terwujud di bawah pengaruh rasionalisme pada zaman Pencerahan.
B. Zaman Pencerahan. Sumbangan utama pada
zaman Pencerahan adalah pendekatan penelaahan Alkitab dengan metode
rasionalisme terhadap supranaturalisme. Akhirnya pada hakikatnya Alkitab hanya
dijadikan sebagai dokumen kuno yang dipelajari, dan akibatnya teologi
Alkitabiah tidaklah lebih daripada sekadar disiplin sejarah yang berlawanan
dengan dogmatic tradisional.
Gotthilf
Traugott Zacharia (1729-1777) melalui karyanya berusaha memisahkan teologi
Alkitabiah dari dogmatic dengan kesimpulannya bahwa penafsiran Alkitab secara
historis dan pemahaman kanonik tentang Alkitab tidaklah berbenturan, karena
aspek historis tidak terlalu penting dalam teologi. Selanjutnya, C. F. von
Ammon (1792) dengan pandangannya bahwa Perjanjian Baru lebih tinggi daripada
Perjanjian Lama. Johann Philipp Gabler (1753-1826) juga memberikan sumbangan
bahwa teologi Alkitabiah memiliki sifat historis, meneruskan pemahaman para
penulis Alkitab tentang masalah-masalah ilahi; sebaliknya teologi dogmatic
memiliki sifat mendidik, mengajarkan hasil penalaran filosofis seorang teolog
tertentu terhadap masalah-masalah ilahi sesuai dengan kemampuan, waktu, usia,
tempat, aliran atau mashab dan hal-hal lain semacam itu dari sang teolog
tersebut. Tujuan teologi Alkitabiah yang secara ketat berkaitan dengan sejarah,
dicapai pertama kali oleh George Lorenz Bauer (1755-1806), yang telah
memisahkan teologi Alkitabiah menjadi Teologi Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian
Baru.
C.
Dari Zaman Pencerahan Hingga Zaman Teologi Dialektik. Perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa disiplin baru yang berkaitan dengan sejarah ini
kalah dan dikuasai oleh berbagai sistem filsafat, lalu mengalami tantangan dari
ilmu pengetahuan Alkitab yang konservatif, dan akhirnya mati oleh pendekatan
dari sudut “sejarah agama-agama”. Di dalam beberapa dasawarsa sesudah Perang
Dunia I, disiplin teologi Alkitabiah ini menerima kehidupan yang baru di dalam
periode teologi dialektik.
II.
Sekitar
Masalah Metodologi
Setelah
Perang Dunia I perdebatan soal metodologi terus berlangsung hingga kini. Perdebatan
menyangkut apakah Teologi Perjanjian Lama itu semata-mata bersifat deskriptif
dan historis, ataukah normative dan teologis. Pasal ini penulis mencoba
mengklasifikasikan berbagai cara yang dengannya par sarjana telah menyusun
teologi Perjanjian Lama untuk menganalisis pendekatan-pendekatan metodologis
meutakhir yang utama serta masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pendekatan
tersebut.
Tugas
Deskriptif dan/atau Normatif
Stendahl
mengungkapkan; ahli teologi Alkitabiah dikatakan harus memusatkan perhatiannya
pada soal menguraikan “arti asli dari ayat” dan bukan “makna ayat itu masa
kini”. Pembedaan ini memisahkan dengan pasti pendekatan deskriptif terhadap
Alkitab dengan pendekatan normative. Ini merupakan suatu rekonstruksi historis
yang artinya penyajian dunia pemikiran tentang Perjanjian Lama (atau PB)
sebagaimana direkonstruksikan berdasarkan lingkungan sosial kulturnya.
Dikotomi
Stendahl ini menerima perlawanan dari Childs, A. Dulles, dan para teolog
lainnya. Mereka beranggapan bahwa, bagaimana mungkin pendekatan deskriptif yang
non-normative dengan penekanan historisnya yang serba membatasi sanggup membawa
kepada keseluruhan kenyataan teologis yang terkandung dalam ayat Alkitab.
Penulis
memberikan pendapatnya bahwa dewasa ini terdapat usaha baru dari pihak para
ahli teologi Alkitabiah untuk memandang kegiatan teologi Alkitabiah sebagai
lebih dari sekedar bersifat deskriptif dan non-normatif. Kenyataan ini akan
nampak lebih jelas ketika menyelidiki beberapa pendekatan penting terhadap
teologi Perjanjian Lama selama lima dasawarsa terakhir ini dengan perhatian
khusus pada periode sejak tahun 1970-an. (dari pendapat yang disampaikan oleh
penulis buku, terlihat kemungkinan penulis juga menolak metode dari Standahl).
Metodologi
Dalam Teologi Perjanjian Lama
Dewasa
ini kita makin terpisah jauh dalam hal kesepakatan tentang konteks dan metode
teologi Perjanjian Lama daripada keadaan kita lima puluh tahun yang lalu.
Menjadi tugas kitalah sekarang untuk menyelidiki dan mengklasifikasikan
berbagai teologi Perjanjian Lama yang ada, sekalipun hal itu kadang-kadang
sulit dilaksanakan dengan memadai.
A.
Metode Didaktik-Dogmatik. Metode tradisional dalam
mengorganisasikan teologi Perjanjian Lama ialah pendekatan yang dipinjam dari
teologi dogmatic dan bagiannya tentang Teologi-Antropologi-Soteriologi. Skema
ini dipakai oleh beberapa ahli seperti; Georg Lorenz Bauer, R. C. Dentan, M.
Garcia Cordero dan D. F. Hinson.
Sedangkan
penulis buku berpendapat bahwa metode didaktik-dogmatik memiliki beberapa
keuntungan tertentu, namun di sisi lain persoalan sifat deduktif dari metode
ini tidak dapat dihindari. Inti Perjanjian Lama bahkan tidak menjadi masalah
atau tidak terlalu penting dalam pendekatan dogmatic karena inti itu telah
ditetapkan sebelumnya oleh skema pendekatan ini
(Teologi-Antropologi-Soteriologi).
B.
Metode Progresif –Genetis. Dilihat dari sudut lingkar
pembahasan, fungsi, serta struktur teologi Perjanjian Lama maka metode ini
merupakan suatu metode lain yang telah dipergunakan dengan ragam cara.
C.
Metode Penggunaan Contoh yang Representatif yang Mewakili Keseluruhan. Perintis
utama metode ini adalah Eichrodt yang mampu melakukan penggunakan contoh yang
representative terhadap seluruh dunia pemikiran Perjanjian Lama dengan membuat
perjanjian itu sebagai pusat Perjanjian Lama.
D.
Metode Topikal. Metode topical dibedakan dengan metode
didaktik-dogmatik lewat penolakannya untuk membiarkan kategori-kategori lewat
penolakannya untuk membiarkan kategori-kategori dari luar dilapisi sebagai
suatu jaringan melalui mana bahan-bahan dan tema-tema Perjanjain Lama dibaca,
dirangkum, dan disistematisasi.
E. Metode Diakronis. Pendekatan diakronis
menembus sampai ke beberapa lapisan berturut-turut dari ayat Perjanjian Lama
tertentu dengan tujuan mengungkapkan “kegiatan teologi Israel yang mungkin
merupakan salah satu kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik, yaitu
usaha-usaha yang senantiasa baru untuk membuat tindakan-tindakan penyelamatan
ilahi relevan bagi setiap masa dan waktu—pencapaian dan pengakuan yang
senantiasa baru untuk membuat tindakan-tindakan Allah yang akhirnya membuat berbagai
pengakuan iman lama menjadi tradisi-tradisi yang begitu banyak.
F. Metode “Pembentukan Tradisi”. Suatu
teologi Alkitabiah atau teologi Perjanjian Lama yang berubah menjadi suatu
fenomenologi proses-proses pembentukan tradisi dikatakan menemukan kesinambungan
dan kesatuan tidak lagi di dalam Allah yang sama tetapi di dalam suatu ontologi
proses hidup tertentu yang berkesinambungan.
G. Metode Dialektis-Tematik. Seperti yang
telah diungkapkan W. Bruegmann, metode ini menunjukkan bahwa ada titik temu
baru dalam teologi Perjanjian Lama, titik temu ini jelas dalam
pendekatan-pendekatan terhadap teologi Perjanjian Lama (dan Alkitabiah) yang
memakai hubungan tematik dan dialektis.
H. Metode “Alkitabiah Baru”. Metode ini
respon untuk mengatasi dikotomi antara “arti asli dari ayat” dengan “makna ayat
itu untuk masa kini” yang telah digunakan dengan begitu hebat oleh penelitian
ilmiah modern.
III.
Masalah
Sejarah, Sejarah Tradisi, dan Sejarah Keselamatan
Sekelompok
masalah yang berkaitan dengan pemahaman yang tepat tentang sejarah telah
menjadi pusat perhatian. Dalam hal ini penulis buku telah menyajikan
pemikiran-pemikiran para teolog dengan perdebatannya seputar masalah sejarah,
sejarah tradisi, dan sejarah keselamatan. Diakhir pasal penulis menanggapi
setiap hasil pemikiran para teolog tersebut dan menyampaikan pemikirannya
sendiri. Inilah argumen penulis;
Menurut
pendapat teolog sekarang ini rasanya tidaklah meungkin mendasarkan “sejarah
keselamatan” pada metode penelitian sejarah “Hesse” dan tidak mungkin memperluas
metode penelitian sejarah itu sedemikian rupa sampai realitas mutlak dapat
nyata melaluinya (Pannenberg, Rendtorff), karena penyesuaian-penyesuaian besar
yang berbau prasangka dan filosofis yang harus dibuat akan mengubah metode ini
secara demikian radikal sehingga sifatnya yang berkaitan dengan penelitian
sejarah sebagaimana biasanya dipahami saat ini akan hilang. Sekalipun demikian,
tidak peduli bagaimana mengevaluasi cara Pannenberg dan kelompoknya mengerjakan
teologi-teologi mereka, gagasan Pannenberg bahwa “sekarang kita harus menerima
kembali kesatuan yang semula dari fakta-faktadan maknanya” memerlukan
pertimbangan yang serius sebagai suatu titik tolak baru untuk mengatasi
dikotomi modern yang dengannya historiografi telah memecah sejarah Israel
dengan pengaruh-pengaruh yang begitu ketinggalan zaman dan meragukan
positivisme dan neo-Kantianisme. Dengan demikian iman tidak akan tercipta
melalui “bahasa fakta” atau melalui sebuah bukti tentang peristiwa-peristiwa
berdasarkan metode penelitian sejarah, tetapi melalui fakta bahasa, yang
membuat peristiwa dan kata menjasi suatu kesatuan asli yang utama bagi
pendengar. Jadi, bila kita berbicara mengenai tindakan-tindakan Allah di dalam
sejarah Israel, tidak ada alasan untuk membatasi kegiatan ini beberapa
peristiwa nyata, bruta facta, sehingga
skema penelitian sejarah dapat membuktikan sesuatu lewat pemeriksaan silang
dengan fakta-fakta sejarah yang lain. Juga tidaklah cukup dan tepat untuk
memakais skema hermeneutis von Rad, karena dengan skema manapun ilmu
pengetahuan tidak dapat mencapai pengertian yang dapat diterima sepenuhnya
tentang realitas sejarah karena adanya berbagai keterbatasan dan kekurangan
yang serius dalam bidang metodologis, jistoris, dan teologis. Tindakan-tindakan
Allah menyertai seluruh karier Israel di dalam sejarah, termasuk cara-cara yang
sangat kompleks dan beraneka ragam yang dengannya Israel mengembangkan dan
mewariskan pengakuan-pengakuannya. Jadi, kita harus bekerja dengan suatu metode
yang memperhatikan keseluruhan sejarah itu dengan mengakui kesatuan asli dari
fakta-fakta dan maknanya serta suatu konsepsi tentang realitas mutlak yang
memadai.
IV.
Pusat
Perjanjian Lama dan Teologi Perjanjian Lama
Masalah
pusat memainkan peranan penting dan menentukan penyajian teologi Perjanjian
Lama. Dalam pasal ini penulis membatasi diskusi hanya pada sekitar usaha-usaha
yang melahirkan sebuah konsepsi, tema, motif, atau gagasan tertentu sebagai
pusat Perjanjian Lama yang merupakan prinsip pemersatu berdasarkannya
bahan-bahan Perjanjian Lama yang beraneka ragam dapat diatur menjadi sebuah
teologi Perjanjian Lama yang sistematis.
Para
sarjana yang telah diacu penulis dalam pasal ini telah setuju bahwa sebuah
konsepsi, tema, motif, atau gagasan alkitabiah tunggal dapat dijadikan pusat yang
dapat dipakai sebagai sebuah prinsip pengatur untuk membuat semacam struktur
sistematis dari teologi Perjnajian Lama.
Kesimpulan
yang diberikan penulis mengenai masalah ini, yaitu Allah adalah pusat pemersatu
yang dinamis dari Perjanjian Lama. Dalam menyatakan bahwa Allah merupakan pusat
pemersatu yang dianamis dari Perjanjian Lama, orang harus ingat bahwa
Perjanjian Lama tidak berbicara tentang keberadaan, sifat, dan kegiatan Allah
dengan cara yang abstrak. Setiap saat dalam Perjanjian Lama Allah menunjukkan
diri-Nya dalam keadaan aktif. Tuntutan utama Perjanjian Lama terhadap Allah
ialah tindakan penyelamatan-Nya.
Sebuah
teologi Perjanjian Lama yang mengakui Allah sebagai pusat pemersatu yang
dinammis memberikan gambaran teologi-teologi yang kaya dan menyajikan berbagai
tema, motif, dan gagasan longitudinal.
Masalah
pusat Perjanjian Lama terutama sekali menyinggung sifat kesatuan dan
kesinambungan Perjanjian Lama. Dengan mengakui Allah sebagai pusat pemersatu
yang dinamis dari Perjanjian Lama orang dapat berbicara tentang kesatuan dan
kesinambungan Perjanjian Lama dalam pengertiannya yang paling mendasar.
Kesatuan dan kesinambungan bersumber pada Allah, dalam keanekaragaman penyataan
diri-Nya dalam berbagai perbuatan dan firman. Perjanjian Lama pada saat yang
sama merupakan sebuah “kitab terbuka” yang mrenunjukkan pada sumber di
belakangnya.
V.
Hubungan
Antara Kedua Perjanjian
Bagi
setiap teolog Kristen, teologi Perjanjian Lama adalah dan harus merupakan
bagian dari teologi Alkitabiah. Seorang teolog Alkitabiah harus mempelajari
hubungan timbal balik antara kedua Perjanjian dan “harus memberitahukan
pemahamannya tentang Alkitab sebagai keseluruhan, yaitu terutama
masalah-masalah teologi yang terjadi karena menyelidiki kesatuan inti dari
berbagai macam-macam kesaksian Alkitab. Kenyataan ini menimbulkan
persoalan-persoalan tentang kesinambungan dan keadaan tidak bersambung, tentang
apakah orang secara unik membaca dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru atau
dari Perjanjian Baru kembali ke Perjanjian Lama, atau secara timbal balik dari
Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru dan dari Perjanjian Baru ke Perjanjian Lama.
Mengenai permasalahan ini setiap teolog mengeluarkan tesis mereka
masing-masing. Tetapi usaha ini pun juga belum menemukan titik terang.
Mengingat
pertimbangan-pertimbangan para teolog, nampaknya jalan satu-satunya yang
memadai untuk menagatasi sifat multipleks dari hubungan antara kedua Perjanjian
adalah dengan memilih suatu pendekatan multipleks, yaitu pendekatan yang
menggunakan pemakaian tipologi secara sangat berhati-hati dan teliti, memakai
ide penggenapan janji, dan memakai saecara berhati-hati pendekatan heilsgeschichte.
Bila
dipahami secara benar, berbagai hubungan timbal balik antara kedua Perjanjian
ini dapat dianggap sebagai menjelaskan kesatuan antara kedua Perjanjian tanpa
memaksakan suatu keseragaman atas bermacam-macam kesaksian alkitabiah. Ada
kesatuan dalam perbedaan.
VI.
Saran-Saran
Pokok Untuk Membuat Teologi Perjanjian Lama
Usaha
untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah penting yang belum
terselesaikan mengenai jalan-jalan yang telah ditempuh oleh para ahli teologi
Alkitabiah telah menunjukkan kepada kita bahwa kini harus di susun suatu
pendekatan yang pada dasarnya baru. Suatu cara yang produktif untuk meneruskan
dari keadaan dewasa ini nampaknya perlu bersandar pada saran-saran pokok untuk
membuat teologi Perjanjian Lama berikut ini.
1. Teologi
Alkitabiah harus dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat
historis-teologis.
2. Bila
teologi Alkitabiah dipahami sebagai sebuah disiplin yang bersifat
historis-teologis, maka dengan sendirinya metodenya yang tepat harus bersifat
historis dan teologi sejak awal.
3. Ahli
teologi Alkitabiah yang terlibat dalam teologi Perjanjian Lama mrnunjukkan
pokok persoalannya terlebih dahulu karena usahanya itu merupakan teologi
Perjanjian Lama.
4. Penyajian
teologi-teologi dari kitab-kitab atau kelompok tulisan dalam Perjanjian Lama
akan lebih suka tidak mengikuti urutan kitab-kitab tersebut dalam urutan
kanoniknya.
5. Sebuah
teologi Perjanjian Lama tidak sekedar berusaha untuk mengetahui teologi dari
berbagai kitab, atau kelompok kitab.
6. Waktu
Perjanjian Lama ditanya untuk memperoleh teologinya, pertama-tama dijawab
dengan memberikan berbagai teologi, yaitu teologi dari kitab-kitab terpisah dan
kelompok tulisan, dan kemudian dengan memberikan teologi-teologi dari berbagai
tema longitudinal.
7. Ahli
teologi Alkitab memahami teologi Perjanjian Lama sebagai lebih luas daripada
“teologi Kitab Suci Ibrani”.
v EVALUASI BUKU
A. Kutipan Terbaik
Penulis membawa para pembaca untuk menyamakan
persepsinya dengan apa yang telah disimpulkan penulis mengenai masalah pusat
Perjanjian Lama:
“Dengan mengakui Allah sebagai pusat pemersatu yang dinamis dari Perjanjian Lama orang dapat berbicara tentang kesatuan dan kesinambungan Perjanjian Lama dalam pengertiannya yang paling mendasar”.[1]
Penulis memberikan pemahaman dasar mengenai teologi
Perjanjian Lama, bahwa:
“Teologi Perjanjian Lama adalah dan harus tetap merupakan bagian dari teologi Alkitabiah”.[2]
Penulis buku memberikan konklusi yang tepat bagi para
pembaca dengan sebuah kesempatan bagi para teolog untuk memberikan kontribusi
yang relevan bagi teologi Alkitabiah (khususnya Perjanjian Lama):
“Berlandaskan pada gagasan-gagasan yang
menguraikan suatu pendekatan baru terhadap teologi Perjanjian Lama, orang
sekarang diharapkan sanggup menyusun suatu teologi Perjanjian Lama yang dapat
menghindari berbagai perangkap serta jalan buntu yang telah menimbulkan krisis
dalam teologi Perjanjian Lama sekarang ini. Pada saat yang sama orang mungkin
lebih dekat selangkah lagi dalam menghasilkan suatu teologi Alkitabiah yang
sangat banyak dibicarakan dan sangat dinanti-nantikan baik tentang Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru”.[3]
B. Kelebihan/Kekuatan Buku
1. Penulis
mengemukakan gagasan-gagasannya dengan jelas dan cermat tentang berbagai
kecenderungan utama dalam ilmu pengetahuan Perjanjian Lama yang relevan bagi
kondisi sekarang ini.
2. Setiap
gagasan yang dikemukakan oleh penulis adalah hasil dari proses analisanya yang
sangat teliti. Hal ini ditunjukkan dari pengamatannya terhadap kondisi
perdebatan sekarang ini serta pengutipan-pengutipan dari monograf-monograf yang
ditulis oleh para pakar teologi lainnya.
3. Penulis
menyajikan metode pendekatan yang multipleks terhadap teologi Perjanjian Lama.
4. Penyusunan judul buku, pasal-pasalnya dan materi/kontennya secara harmonis atau selaras, sehingga keutuhan makna yang ingin disampaikan sangat terjaga dengan baik.
C. Kekurangan/kelemahan Buku
1. Buku
ini tidak dapat dinikmati oleh kaum awam (jemaat Kristen biasa), buku ini lebih
bersifat sebagai literature bagi mahasiswa teologi dan dosen.
2. Pemilihan
diksi yang dipakai penulis sukar untuk dimengerti.
v SARAN, BERKAT PRIBADI, DAN APLIKASI
A. Saran
Penulis membatasi penulisannya sesuai dengan apa yang dialaminya (dilihat dan dipelajarinya), namun sebenarnya masih begitu kompleksnya masalah-masalah pokok mengenai Teologi Perjanjian Lama dalam perdebatan dewasa ini. Maka pembaca perlu mengadakan studi lebih lanjut dengan tekun untuk memperoleh dan menghasilkan gagasan-gagasan yang Alkitabiah dan relevan bagi kebutuhan dewasa ini.
B. Berkat Pribadi
Setelah melakukan kegiatan laporan baca ini (membaca, memahami, meringkas dan memberikan evaluasi) pelapor menemukan pemahaman yang lebih lagi mengenai masalahan-masalah pokok teologi Perjanjian Lama dalam perdebatan saat ini, serta pendekatan mana yang paling relevan untuk meresponi masalah-masalah tersebut.
C. Aplikasi
1. Saya
harus mempelajari lebih lanjut kembali mengenai teologi Perjanjian Lama dan
permasalahannya. (membaca buku-buku yang disarankan penulis dalam bibliografi).
2. Saya
harus menghargai hasil-hasil teologi dari para pakar teolog, namun di sisi lain
saya juga harus bisa mandiri untuk menemukan gagasan yang Alkitabiah.
[1] Bagian; IV. Pusat Perjanjian Lama
dan Teologi Perjanjian Lama, (hlm. 146)
[2] Bagian; V. Hubungan Antara Kedua
Perjanjian, (hlm. 147)
[3] Bagian; VI. Saran-Saran Pokok
Untuk Membuat Teologi Perjanjian Lama, (hlm.185).
0 Response to "REVIEW BUKU: TEOLOGI PERJANJIAN LAMA (Masalah-Masalah Pokok Dalam Perdebatan Saat Ini)"
Posting Komentar