Survei Terhadap Kitab Ibrani
Photo by: Pexels
Pengenalan
Terhadap Kitab Ibrani
I.
Genre Kitab
Surat Ibrani memiliki penutup tetapi tanpa salam
pembuka dan alamat. Bagian penutup dari rujukan pribadi kepada pembaca
menunjukkan bahwa Surat Ibrani adalah sebuah surat. Tetapi gaya, metode
argumentasi, dan beberapa indikasi kecil (seperti “aku akan kekurangan waktu
apabila aku hendak menceriterakan,” 11:32) menyerupai sebuah khotbah. Teori
yang mendalilkan hilangnya kata pendahuluan, entah disengaja atau tidak, tidak
terlalu meyakinkan karena tidak didukung oleh bukti tekstual.[1]
Berbagai teori menganggap pasal 13, atau bagian pasal ini, sebagai tambahan
dikemudian hari atas sebuah homily juga tidak memiliki dukungan tekstual. Namun
demikian, bentuk Surat Ibrani memang menghadirkan beberapa problem.
A. Deissmann melihat Surat Ibrani sebagai contoh
pertama literature seni Kristen.[2]
Tetapi hal ini jangan terlalu ditekankan karena Surat Ibrani jelas dirancang
untuk menjawab kebutuhan situasi historis tertentu, dan tidak tampak seperti
“praktik sastra belaka.”[3]
Situasi historis juga melenyapkan kemungkinan bahwa Surat Ibrani awalnya
dimaksudkan sebagai surat edaran.[4]
Beberapa pakar yang berfokus pada struktur surat mengklaim telah menemukan
penyatuan dua atau lebih bagian.[5]
Pakar lain mendukung bahwa struktur Surat Ibrani sengaja dirancang seperti ini,
karena mereka melihat simetri konsentris di dalamnya.
Namun sifat otorial Surat Ibrani membuat kita harus
menyimpulkan bahwa Surat Ibrani awalnya adalah khotbah yang diucapkan, atau
setidaknya dipersiapkan untuk disampaikan pada beberapa jemaat.[6]
Apakah Surat Ibrani adalah khotbah yang penulis persiapkan untuk orang lain
bacakan atau Surat Ibrani awalnya merupakan khotbah penulis sebelum ia didesak
oleh pendengar dan pemimpin jemaat untuk menuliskan isi khotbahnya? Untuk kasus
pertama, penutup berbentuk surat pastilah ditambahkan sebagai salam pribadi
penulis yang tidak hadir, kepada jemaat yang ia ingini segera kunjungi. Untuk
kasus kedua, si pengkhotbah pasti akan memberikan semacam surat pengantar saat
memberikan salinan tertulis. Masalah ini tidak mudah diselesaikan. Penulis
jelas mengingat jemaat saat menyusun surat ini karena ia menekankan argumentasi
doctrinal dengan dorongan moral langsung kepada mereka.
Maka perlu membandingkan Surat Ibrani dengan 1 Yohanes
yang juga tidak memberikan nama penulis dan penerima surat yang spesifik.
Parallel ini tampaknya semakin meneguhkan bahwa Surat Ibrani tidak memiliki
pengantar selain dari bentuk yang ada pada hari
ini. Tetapi ada keberatan bahwa keduanya tidak cukup berparalel karena
di 1 Yohanes 1:4, penulis berkata ia menulis
kepada jemaat sementara baru di Ibrani 13:22 penulis menyebut tentang
suratnya. Tetapi jika penulis mendesak pembaca untuk “menyambut” “kata-kata nasihat”-nya,
sekalipun suratnya pendek saja, maka sangatlah wajar jika kita menduga seluruh
Surat Ibrani awalnya disusun sebagai surat.
Tetapi jika diasumsikan bahwa Surat Ibrani awalnya
adalah homily, maka akan muncul pertanyaan tentang maksud dan jangkauan
kesimpulan surat. Beberapa pakar menganggap 13:22-25 sebagai tambahan, yang
karena cita rasa Paulusnya, membuat seluruh Surat Ibrani dimasukkan ke dalan
kanon Paulus.[7] Pakar lain menganggap
tambahan ini sebagai pemalsuan penulis, khususnya untuk memberi kesan bahwa
surat ini berasal dari Paulus. Alternatif pertama berlawanan dengan pandangan,
maksud, dan gaya penulis Ibrani 1-12 dan 13. Alternatif kedua sangat tidak
mungkin karena penulis yang mau memalsukan asal mula Paulus tidak akan cukup
bodoh untuk tidak menambahkan nama Paulus di pasal satu sebagai penulis.
Menurut teori ketiga, Paulus menambahkan tiga ayat penutup pada surat yang
ditulis oleh salah seorang rekannya.[8]
Frasa “Timotius, saudara kita” dan kata “kasih karunia” di salam penutup,
dianggap mendukung teori ini. tetapi aneh mengapa Paulus tidak memunculkan
identitasnya dan bagaimanapun, tiga ayat merupakan dasar yang sangat sempit
untuk menilai kepenulisan.
Menurut teori lain yang sangat tidak mungkin, Ibrani 13 adalah potongan “surat dukacita” Paulus kepada jemaat Korintus.[9] Beberapa keserupaan memang ada, tetapi bagaimana akhir seperti itu bisa disatukan dengan surat anonym seperti Ibrani terlalu mencengangkan untuk bisa diabsahkan.
II.
Penulis
Penulis Surat Ibrani tidak mencantumkan namanya dan
tidak memberi salam; suratnya tidak beralamat seperti lazimnya surat-surat
lainnya. Walaupun demikian, ada beberapa observasi yang dapat menolong untuk
menyimpulkan siapakah penulis Surat Ibrani. Tentunya sebagai eksegetor yang
biblika maka Alkitab menjadi sumber utama dalam mengobservasinya, di sisi lain
juga tidak mengabaikan dari sumber-sumber dari luar. Berikut ini observasi yang
ditemukan oleh eksegetor:
1.
Pasal 2:3,
seringkali ditafsirkan bahwa penulis surat menjadi orang percaya karena
mendengar pemberitaan dari orang lain (bukan Yesus), sehingga kesimpulan mereka
Paulus bukanlah penulis surat Ibrani. Memang benar Paulus berkata bahwa ia
tidak menerima Injil dari rasul-rasul di Yerusalem, melainkan Injil itu
diilhamkan langsung kepadanya oleh Tuhan Yesus, tetapi jangan mengira bahwa
waktu berada di Yerusalem, Paulus tidak pernah mendengar dan menerima apa-apa
dari rasul-rasul. Paulus hanya berkata dari hal rasul-rasul itu secara umum
untuk memperkuat perkataannya kepada orang-orang Ibrani yang hendak diajarnya
dan diteguhkannya dalam iman. Dalam kalimat itu Paulus hanya mengaku bahwa
rasul-rasul yang lain mengiakan apa yang dituliskannya dalam surat itu.
2.
Pasal 13 mulai
ayat 18, terdapat hal-hal yang telah merujuk bahwa Paulus penulis Surat Ibrani.
Penulis minta supaya orang-orang Ibrani mendoakannya, supaya Paulus lekas
kembali kepada mereka. Hal ini merupakan kebiasaan Paulus dalam surat-suratnya
(mungkin pada waktu itu Paulus juga dalam penjara). Doa selamat dalam ayat
20-21 sama seperti doa selamat Rasul Paulus. Selanjutnya ayat 23 Paulus berkata
bahwa ia akan berkunjung bersama-sama dengan Timotius. Dan ayat 25 adalah salam
yang biasa dipakai Paulus untuk mengakhiri suratnya.
3.
Dalam pasal 10:30
terdapat kutipan dari Ulangan 32:35. Kutipan itu tidak tepat menurut
Septuaginta maupun bahasa Ibrani, tetapi kutipan itu sama benar dengan kutipan
Paulus dalam Roma 12:9. Lagi pula dalam 10:34 dan 13:3 penulis surat itu
berbicara tentang orang-orang hukuman dan ini merupakan kebiasaan Paulus (cf.
kol.4:18).
4.
Habakuk 2:4 yang
dikutip oleh Paulus dalam Galatia 3:11, juga dikutip dalam Ibrani 10:38. Dan
pelajaran mengenai perjanjian kepada orang Ibrani yang terdapat dalam Galatia
4:26 dan hal ini juga terdapat dalam Ibrani 12:22. Persamaan-persamaan ini
menunjukkan bahwa Pauluslah yang menulis Surat Ibrani.
5.
Kalau direnungkan
betapa mulia, tinggi serta dalamnya surat ini, timbullah sebuah pertanyaan
sipakah yang cakap menerangkan hubungan antara PL dan PB? Tentu tidak dapat
disangkal bahwa hanya Pauluslah yang mampu menerangkannya. Sebab siapakah
selain Paulus yang dapat menyurat dengan wibawa untuk menyurati orang-orang
Ibrani yang sangat dikasihinya, walaupun kebanyakan dari mereka membencinya?
6. Sidang Tuhan di Timur Tengah, yang lebih dahulu menerima surat itu, dengan suara bulat mengaku bahwa Pauluslah penulis Surat Ibrani.
III.
Waktu Dan Tempat Penulisan
Seperti yang telah dikatakan, 1 Klemens mengutip
karangan ini. Surat itu ditulis ± tahun 96 M. Jadi Surat Ibrani sudah ada, lagi
dihormati pada waktu itu. Inilah batas ke atas.
Segala bahan yang lain menunjuk kepada waktu yang
sudah lanjut: penderitaan sudah lama lalu, ada orang Kristen yang memalingkan
diri dari Kristus, semangat yang berkobar pada masa pertama mulai pudar (6:4-6;
12). Mereka seharusnya patut menjadi pengajar, mengingat lamanya mereka sudah
mendengarkan Injil (5:12).
Bahwa Timotius telah berangkat (13:23) tidak memberi
pegangan. Itu pun tidak dapat ditentukan, apakah di Yerusalem masih
dipersembahkan korban atau tidak lagi, dengan kata lain: apakah Yerusalem sudah
binasa (th 70).
Dengan kesimpulan; Surat ini terbit antara tahun 60-70. Tempat asalnya sama sekali tidak tentu juga.[10]
IV.
Alamat dan Situasi Pembaca
Mengenai soal kepada siapa surat ini dialamatkan
haruslah diketengahkan lagi: kalau meneliti karangan ini, maka seharusnya surat
ini tidak beralamat: tidak ada salam, tidak ada nama sipengirim. Uraiannya
langsung dimulai. Jelas alamat yang sekarang ini terdapat dalam segala salinan,
yang dituju oleh penulis kitab ini adalah “Orang Ibrani”. Tertera dalam semua
manuskrip-manuskrip, sampai kepada yang tertua sekalipun. Jadi, karangan Surat
Ibrani diperuntukkan bagi “Orang Ibrani”. Istilah “Orang Ibrani” biasanya dipergunakan
untuk mencirikan orang Yahudi yang berbahasa Aram. Dengan demikian sampai kepada
kesimpulan bahwa pembaca-pembacanya harus dicari di tanah Palestina, khususnya
orang-orang Kristen di sana. Kesimpulan ini didukung oleh caranya penulis
membentangkan pikirannya, yakni selalu berdasarkan Perjanjian Lama. Uraian
Surat Ibrani hanya dapat diikuti oleh orang yang biasa mempergunakan Perjanjian
Lama.
Berdasarkan isi surat ini, maka kelihatannya sidang
pembaca merupakan sekelompok orang Kristen dari angkatan kedua atau ketiga
(Ibr. 2:3; 5:12; 10:32). Sejumlah pemimpin jemaat itu sudah meninggal (Ibr.
13:7). Sejak mereka menjadi Kristen, mereka mengalami penganiayaan
(Ibr.10:32-34) karena iman mereka. Mereka dipermalukan di depan umum,
dipenjarakan, dan harta benda mereka pun dirampas (Ibr. 10:32-34), walaupun
belum ada yang meninggal sebagai akibatnya (Ibr. 12:4). Komunitas ini seterus
menghadapi penindasan yang serius, tetapi mereka menghadapinya dengan berani.
Memang ada dianggota jemaat mulai lesu imannya dan murtad (Ibr. 3:12-13; 6:6-8)
karena tertekan oleh berbagai kesulitan.[11]
Dalam situasi yang sulit itu penulis hendak meyakinkan
para pembaca bahwa Yesus adalah penyataan Allah yang tertinggi (Mesias) dan
bahwa Kekristenan menggantikan keyahudian. Penulis juga mempunyai maksud etis,
yakni mengingatkan jemaat supaya tidak hanya ingin memperkuat iman para pembaca
kepada Allah yang hidup dan ketaatan mereka terhadap apa yang telah diajarkan,
tetapi juga mengingatkan mereka agar hati mereka dibersihkan dari hati nurani
yang jahat dan mendorong satu sama lain untuk saling mengasihi dan melaksanakan
pekerjaan yang baik (Ibr. 10:22-24).[12]
V.
Latar Belakang
Pertumbuhan yang pesat dari gereja orang-orang bukan
Yahudi yang terlepas dari Yudaisme baik dalam sifat maupun keyakinannya hanya
dimungkinkan oleh perpisahan yang tegas dan mutlak di antara keduanya.
Anggota-anggota gereja Yahudi masih berpegang pada pelaksanaan hukum secara
ketat, meskipun mereka mempercayakan keselamatan mereka kepada Yesus, Sang
Mesias.[13]
Ketegangan di antara orang-orang Yahudi dan Kristen yang terasa sepanjang tiga
puluh tahun yang pertama dari sejarah Kristen makin menghebat ketika gereja
menyaingi sinagoge dalam jumlah pengikut dan dalam perkembangannya di dunia.
Jurang ini semakin diperlebar oleh dua faktor lainnya. Sejak semula, ketika
Petrus berbicara di muka orang-orang Yahudi di Yerusalem (Kis.2:39),
peruntukkan Injil bagi seluruh dunia sudah dinyatakan. Orang Yahudi adalah
bangsa yang menutup diri, gagasan untuk hidup bersama bangsa-bangsa lain dalam
ikatan yang sama tidak dapat mereka terima (Kis:10-14, 28). Faktor kedua yang
menyempurnakan perpecahan itu adalah kejatuhan Yerusalem dalam tahun 70.
Yudaisme sebagai suatu agama dan Yudaisme sebagai suatu sistem politik adalah
sama; dan bila sistem politik itu tumbang maka orang-orang Yahudi yang tidak
memiliki tanah, tidak memiliki Bait Allah, dan tidak memiliki pemerintahan
sendiri akan kehilangan banyak sekali hakikat sistemnya.
Bagi orang-orang Kristen Yahudi ketegangan ini
menimbulkan suatu masalah tersendiri. Semua orang Kristen percaya kepada
kekuasaan ilahi dari Kitab Suci Perjanjian Lama dan menggunakannya sebagai
dasar iman serta perbuatan mereka. Kini, bagaimana Kitab Suci ini harus
ditafsirkan? Sikap apakah yang diambil dalam menghadapi masalah nasional
mereka? Bila mereka mempercayai kata-kata Yesus, yang mengatakan dalam khotbah
di bukit bahwa tidak satu pun batu di Yerusalem yang akan dibiarkan terletak di
atas batu yang lain (Mat.24:2; Luk.19:41-44), maka kejatuhan kota itu hanya
dapat mereka terima sebagai hukuman Allah yang tidak terelakkan karena mereka
telah menolak Sang Raja. Namun bila mereka berpaling dari hukum Taurat kepada
kasih karunia, dan dari Yerusalem dari pusat ibadah mereka kepada gereja mereka
sendiri, mereka akan dianggap pengkhianat oleh rekan-rekan sebangsa yang tetap
setia kepada hukum Taurat. Bila mereka kembali kepada hukum Taurat berarti
mereka meninggalkan Kristus dan akan kehilangan segala sesuatu yang telah
dijanjikan-Nya.
VI.
Tujuan Penulisan
Beragam pendapat mengenai tujuan penulisan Surat
Ibrani, hal ini sama banyaknya dengan pendapat mengenai siapa penulis dan
penerimanya. Tetapi problem tujuan penulisan ini tidak kalah pentingnya penting
karena mempengaruhi tafsiran. Penulis menyebut tulisannya sebagai “kata-kata
nasihat” (13:22) dan setiap eksegetor harus sepenuhnya menimbang hal ini
sebelum mengusulkan tujuan-tujuan lain. Perikop-perikop nasihat jelas tersebar
di seluruh Surat Ibrani, meski beberapa (khususnya Ibrani 6 dan 10) mengandung
peringatan-peringatan serius. Problemnya adalah menemukan maksud dari perikop
yang bersifat doctrinal, yang tidak mudah disesuaikan dengan tema “nasihat”.
Penulis bisa jadi ingin mengingatkan jemaat bahwa suratnya secara esensial
bersifat penggembalaan dan praktis. Itu perikop tentang Kristus sebagai Imam
Besar yang ditulis dengan seksama harus ditafsirkan dalam terang 13:22, bukan
sebaliknya.[14] Itu berarti argumentasi
penulis jangan dianggap sebagai naskah latihan intelektual, tetapi sebagai isu
(theologis) praktis yang teramat penting, adalah sebagai berikut:
a.
Memperingatkan
Orang Kristen Yahudi agar Jangan Murtad dan Kembali kepada Yudaisme
Pendapat ini paling luas dipegang dan didukung oleh
asumsi bahwa pasal 6 dan 10 menunjukkan bahwa jemaat sedang digoda untuk
murtad. Karena isi Surat Ibrani dirancang untuk menunjukkan keunggulan iman
Kristen atas tatanan yang tua, maka kemurtadan ini diasumsikan meliputi
kembalinya orang Kristen kepada Yudaisme. Di 13:13, jemaat dinasihati untuk
membuat pemutusan yang jelas dan keluar dari “perkemahan” yang masuk akal jika
ditafsirkan sebagai perkemahan Isrtael. Tantangan saat itu bagi orang Kristen
Yahudi adalah memutuskan hubungan dengan iman lama mereka, karena Kekristenan
merupakan tatanan yang berbeda dan lebih tinggi.[15]
b.
Untuk Menunjukkan
Perihal Unggulnya Krsitus
Pembaca Surat Ibrani menerima pengajaran untuk tetap
berpegang teguh kepada Kristus sebagai penyataan Allah yang tertinggi (Mesias),
yang akan menyelamatkan mereka. Nasihat pengajaran ini dengan menggunakan
pendekatan pemaparan keunggulan Kristus.
c.
Untuk Menyatakan
Karakter Absolut Kekristenan kepada Orang Kristen yang Sebagian Besar
Non-Yahudi
Orang Kristen yang berada di tengah-tengah berbagai
kepercayaan lain perlu meyakini keagungan dan superioritas Kekristenan di atas
semua agama-agama lain itu. Mereka perlun tahu bahwa metode penyembahan Kristen
bukan sekadar berbeda, tetapi unik, karena tidak ada kepercayaan lain yang bisa
mengajarkan tata ibadah yang sesempurna itu.[16]
Oleh karena itu, penulis merujuk kepada Perjanjian Lama untuk membuktikan
kemuliaan Kekristenan, dan dengan alasan ini, penulis tidak secara khusus
membahas Yudaisme.
d.
Tindakan Melawan
Bidat Awal
Tindakan melawan bidat awal merupakan tujuan (1) sebagai
jawaban terhadap sekte Gnostik Yahudi[17]
atau (2) sebagai jawaban terhadap bidat Kolose.[18]
Teori-teori tentang tujuan penulis ini menyatakan perlunya jemaat diingatkan agar jangan murtad dari Kekristenan, tetapi mustahil untuk memastikan apa yang sedang mencobai mereka. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penulis ingin menunjukkan kecukupan dan keunggulan Kristus dari berbagai pengantara lain, berikut bagaimana Ia secara utuh menggenapi sistem ritual Yahudi. Hal ini menolong penafsir untuk memberi tafsiran yang baik akan Surat Ibrani. Meski pemahaman yang lebih persis atas situasi pembaca akan semakin menolong dalam menjelaskan pernyaraan-pernyatan tertentu.
VII.
Rumusan Inti Berita
Penulis menunjukkan bahwa Allah yang sama yang
menyerahkan hukum kepada Musa melalui tangan-tangan malaikatnya telah berbicara
mengenai anak-Nya, yang telah dibuat-Nya untuk sementara lebih rendah dari para
malaikat agar Ia dapat masuk dengan sempurna ke dalam lingkungan kehidupan
manusia sebagai bagian dari padanya (2:9-10, 14-18). Karena Ia adalah ilahi
sekaligus manusia, Ia menjadi Imam Besar, yang lebih tinggi dari imamat Harun.
Jabatan-Nya tidak terputuskan oleh kematian (7:24), dan tempat kedudukan-Nya
adalah di tempat kudus di surga, di tempat kediaman Allah sendiri (9:11-12).
Lagipula kurban yang Ia persembahkan tidak perlu diulangi lagi. Ia adalah Imam
yang mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai kurban, yang sangat berkenan
kepada Allah, dan yang mampu menebus segala dosa dan pelanggaran yang dilakukan
di bawah hukum dan di bawah kasih karunia (9:15; 10:10, 19). Penebusan kekal
yang telah dibayarkan-Nya dapat kita terima oleh iman, iman yang sama seperti
yang ditunjukkan oleh orang-orang dari Perjanjian Lama yang menjadi pemimpin
rohani pada masanya. Iman ini, yang diterapkan dengan keadaan di mana kita
hidup, akan memberikan kepada kita jaminan, ketahanan, dan akhirnya kunci masuk
ke dalam kerajaan yang kekal.
Peringatan yang gencar dapat dilihat dari daftar
bahaya yang mengepung orang-orang yang percaya. Masing-masing merupakan suatu
langkah radikal yang makin menyimpang dari iman sebelumnya. Yang pertama adalah
bahaya kelengahan, yang ditandai oleh kata-kata “hanyut dibawa arus” (2:1). Ia
mengandung arti ketidakacuhan, bukan perlawanan. Yang kedua, bahaya
ketidakpercayaan, yang dilukiskan dalam kutipan dari Mazmur 95, yang
sesungguhnya menggambarkan sikap umat Israel terhadap janji untuk memasuki
Palestina. Dengan membesar-besarkan tantangan yang mereka hadapi dan dengan
mengabaikan perwujudan kuasa ilahi dalam pengalaman mereka sebelumnya mereka
telah gagal mempertahankan hak warisnya, dan kehilangan berkat Allah yang
sengaja diperuntukkan bagi mereka. Bersamaan dengan ketidakpercayaan, dan yang
secara praktis merupakan sinonim dari yang pertama adalah bahaya ketidaktaatan.
Keengganan untuk menaati hukum yang baru
merupakan penghambat utama dari kemajuan rohani.
Bahaya ketidakmatangan jiwa dan bahaya penyangkalan sangat serupa. Keduanya telah membangkitkan cukup banyak perdebatan teologis. Peringatan-peringatan ini rupanya menunjukkan bahwa sekali seseorang menolak untuk menaati, atau meninggalkan kedudukan imanya, ia tidak akan dapat diperbaruhi lagi (6:6; 10:26).
VIII.
Kekhususan Kitab
Satu hal hendak disoroti di sini selaku unsur yang
khas untuk Surat Ibrani adalah ajaran bahwa seseorang Kristen, yang murtad,
tidak mungkin dibaharui lagi, hingga mereka bertobat, karena mereka telah
menyalibkan Anak Allah seklai lagi dan telah menghinga-Nya (6:4-6; 10:26-29;
bandingkanlah 12:16). Ajaran ini, yang sudah menyesakkan jiwa banyak orang
dalam sejarah gereja, tidak disebut dengan tegas dalam kitab-kitab lain
Perjanjian Baru. Apakah ini merupakan konsekwensi dari apa yang disebut dalam
kitab-kitab lain, atau menentangnya (bandingkan dengan khianat Petrus):
bukanlah di sini tempatnya untuk menguraikannya. Asal jangan kita mengenakannya
begitu saja kepada orang lain atau kepada diri sendiri. misalnya harus ingat
bahwa kata-kata ini ditujukan kepada orang-orang yang sedang tidak dianiaya.
Satu hal formil: Perjanjian Lama selalu dikutip menurut bunyi Septuaginta, jadi bukan dari dalam bahasa Ibrani. Perhatikanlah peranan penting yang dipegang terjemahan ini dalam gereja lama, yang dikutip ialah umumnya kitab-kitab yang sekarang ini diakui; sekali-kali dikutip bahan dari kitab “Apokrif” (deuterokanonika), misalnya: Jesus Sirakh, Hikmat Salomo, dan lain-lain.
IX.
Tema Kitab
Seluruh tema ini dibangun di seputar kata “lebih
tinggi”, yang digunakan dalam serangkaian perbandingan untuk menunjukkan
bagaimana pernyataan Allah melalui Kristus adalah melebihi pernyataan yang
diperoleh melalui hukum, terutama hukum sebagaimana yang diterapkan melalui
imamat Lewi. Kualitas pernyataan serta kebenaran hukum ini pada masanya tidak
pernah dibatalkan; bahkan banyak argumentasi dalam kitab Ibrani mengambil dasar
Perjanjian Lama. Namun pernyataan yang baru di dalam Kristus telah melampaui
yang lama; kedatangan wujud yang sesungguhnya telah memudarkan bayangan yang
mendahuluinya.
Kerangka surat ini, terdiri dari serangkaian perbandingan, yang masing-masing diikuti oleh suatu peringatan dan suatu nasihat, yang biasanya termuat dalam sisipan. Surat ini menyerupai suatu pidato yang diawali oleh suatu pernyataan, diikutim oleh suatu pembuktian yang disesuaikan secara berkala terhadap kebutuhan para pembacanya, dan diakhiri oleh suatu klimaks yang luar biasa.
X.
Garis Besar Kitab
Ibrani: Surat Mengenai Hal-Hal Yang Lebih Tinggi
1.
Perantaraan yang
Lebih Tinggi: Sang Anak 1:1
– 2:18
1.1.
Keistimewaan 1:1-3
1.2.
Lebih Tinggi dari
pada Malaikat 1:4
– 2:4
1.3.
Inkarnasi Allah 2:5-18
2.
Rasul yang Lebih
Tinggi 3:1
– 4:13
2.1.
Lebih Tinggi dari
Musa 3:1-19
2.2.
Keunggulan
Perhentian-Nya 4:1-13
3.
Imam Besar yang
Lebih Tinggi 4:14
– 7:28
3.1.
Perbandingan
dengan Harun 4:14
– 5:4
3.2.
Peraturan
Melkisedek 5:5
– 7:25
3.3.
Dalam Hal Panutan
Pengorbanan 7:26
– 7:28
4.
Perjanjian yang
Lebih Tinggi 8:1
– 9:28
4.1.
Penetapan
Perjanjian 8:1-13
4.2.
Isi Perjanjian
yang Lama 9:1-10
4.3.
Kristus dan
Perjanjian yang Baru 9:11-28
5.
Persembahan yang
Lebih Tinggi 10:1-31
5.1.
Hakikat Hukum
Taurat yang Tidak Berdaya 10:1-4
5.2.
Persembahan
Kristus 10:5-31
6.
Jalan yang Lebih
Tinggi: Iman 10:32
– 12:29
6.1.
Kebutuhan Akan
Iman 10:32
– 39
6.2.
Contoh-contoh Iman 11:1-40
6.3.
Latihan Iman 12:1-17
6.4.
Tujuan Iman 12:18-29
7.
Penutup:
Pelaksanaan Iman 13:1-25
7.1.
Dalam Hubungan
Sosial 13:1-6
7.2.
Dalam Hubungan
Rohani 13:7-17
7.3.
Salam Pribadi 13:18-25
XI.
Pokok Bahasan Yang Menonjol
Apabila membaca Surat Ibrani ini satukali terus menerus, maka kesan yang diperoleh menyatakan maksudnya dengan terang, yakni; “Kemutlakan penyataan Allah di dalam Yesus Kristus, Anak Allah”, yang melebihi malaikat dan Musa (1; 2:5 – 3:6). Yesus adalah Imam Besar yang sebenarnya, yang dihadapan-Nya segala sesuatu yang lalu harus mundur (4:14; 10:19). Keimaman yang sudah-sudah itu ialah keimaman yang tidak sempurna, hanya merupakan bayangan saja dari Kristus. Uraian ini diselingi dengan berbagai-bagai ajakan.
XII.
Studi Topik
1.
Tokoh
Dalam mempelajari Surat Ibrani, akan ditemukan banyak orang dalam Perjanjian Lama yang memiliki iman kuat, antara lain; Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Rahab, Gideon, Daud, dan Samuel, serta Yesus yang menjadi tikoh sentral surat. Mereka merupakan teladan di antara sejumlah orang yang percaya benar kepada Allah.
2.
Tempat/Geografis
Tidak banyak hal yang dapat ditemukan dalam studi tentang latar geografis dalam Surat Ibrani ini. Asal penulis dan tempat tujuan surat yang tidak dijelaskan membuat studi geografis ini menjadi semakin sulit.
XIII.
Pokok-Pokok Teologis
1.
Yesus adalah
Firman itu Sendiri
Penulis surat memulai
tulisannya dengan menyatakan bahwa pada awalnya Allah berbicara kepada manusia
melalui perantaran para nabi, termasuk melalui Musa (7:14; 9:19; 10:28; 12:21),
Yosus (4:8), dan Daud (4:7). Semua yang dikatakan dalam Kitab Suci itu
disampaikan oleh Allah melalui para nabi. Akan, tetapi sekarang Allah berbicara
melalui Anak-Nya. Kualitas perkataan-Nya melebihi apa yang dikatakan di dalam
Kitab Suci karena berasal dari firman itu sendiri. Ia telah ditetapkan sebagai
yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia, Allah telah menjadikan alam
semesta (1:2-3).[19] Anak-Nya itu adalah
Tuhan, yang menyampaikan berita keselamatan kepada para pengikut-Nya yang
mula-mula dan kepada para pembaca (2:3). Firman itu penuh kuasa sehingga ketika
disampaikan terjadi tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat, serta berbagai penyataan
(2:4). Itu tidak berarti bahwa firman yang disampaikan dalam Kitab Suci tidak
berguna lagi. Melalui tafsiran yang tepat, firman itu hidup dan kuat, ia lebih
tajam dari pedang bermata dua manapun. Ia menusuk begitu dalam, sehingga
memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi, dan sum-sum; ia sanggup membedakan
pertimbangan dan pemikiran hati (4:12).[20]
2.
Yesus Lebih Tinggi
dari Para Malaikat
Penulis Surat Ibrani juga
mendemonstrasikan kepada para pembacanya tentang perbedaan hubungan antara Anak
dengan Allah dan hubungan para malaikat dengan Allah. Menurut penulis, ada dua
hal mendasar yang membedakan hubungan antara Anak dengan Allah dan hubungan
antara malaikat dengan Allah.
Pertama,
Yesus adalah Anak Allah. Ia
ditinggikan oleh Allah dan duduk di sebelah kanan Allah (1:2-3).[21]
Ia adalah Raja yang diurapi oleh Allah. Untuk mendukung gagasannya itu, penulis
mengkombinasikan kutipan dari Mazmur 2:7 dan 2Samuel 7:14 (cf. 1Taw.17:13),
yang berbicara tentang raja sebagai Anak Allah. Ia mengakhirinya dengan Mazmur
110:1 dan menyatakan bahwa Yesus sendiri menjelaskan hal tersebut dalam
hubungan dengan Mesias (Mat.22:41-46; Mrk.1235-37a; Luk.20:41-44). Dengan
mengutip Mazmur 97:7, penulis menegaskan bahwa para malaikat, sebagai makhluk
ciptaan, menyembah Anak Allah dan melaksanakan kehendak-Nya. Bahkan, para
malaikat itu diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan
(1:14).
Kedua,
Yesus adalah Allah yang kekal. Salah
satu perbedaan antara Yesus dengan para malaikat adalah kekekalan-Nya. Karena
Ia yang meletakkan dasar bumi (1:10), maka Ia sendiri adalah dan tidak berubah
(1:11), sementara ciptaan-Nya akan berubah (1:12).
3.
Yesus adalah Imam
Besar, Lebih Tinggi dari Imam Besar Keturunan Lewi
Ada tiga pokok yang
penulis kitab ini tekankan; Pertama, Yesus
adalah seorang Imam Besar menurut peraturan Melkizedek. Dengan mengutip
Kejadian 14:18-20 dan Mazmur 110:4, penulis menampilkan Yesus sebagai Imam
Besar yang lebih tinggi dari Imam Besar keturunan Lewi. Kedua, pengorbanan Yesus membuat Dia sebagai Imam Besar yang
sempurna (9:11). Sebagai Imam Besar, Ia telah masuk sekali untuk selama-lamanya
ke dalam tempat kudus, bukan membawa darah hewan, tetapi dengan membawa darah-Nya
sendiri (Ibr.9:12). Dalam pengertian lainnya, Yesus telah mengorbankan diri-Nya
sendiri. Ketiga, Yesus adalah sumber
keselamatan yang kekal. Menurut penulis Surat Ibrani, Kristus telah
mengorbankan diri-Nya sebagai korban penghapusan dosa, sehingga keselamatan
yang sempurna akan disediakan pada hari terakhir bagi orang percaya.
4.
Nasihat untuk
Tetap Setia dalam Imam
Menurut penulis Surat Ibrani, sama seperti bangsa Israel di masa lampau yang melakukan suatu perjalanan di padang gurun menuju tanah perjanjian, demikian pula keadaan orang percaya pada masa kini. Orang percaya pun sedang berada di dalam suatu perjalanan menuju suatu tujuan yang bersifat eskatologis. Perjalanan tersebut diperlukan sebuah iman yang kuat dan kesetiaan untuk mencapai tujuannya.
XIV.
Synopsis Kesimpulan Kitab
[1] J. C. McCullogh, “The Old
Testament Quotations in Hebrews,” NTS 26
(1980), hlm. 363-379.
[2] The New Testament in the Light of Modern Research (1929), hlm. 51.
[3] T. W. Manson. “The Problem of the Epistle to the Hebrews”. BJRL 32. (1949). Hlm.
5.
[4] M. Dibelius, THBL. (1942). Hlm. 1-11.
[5] E. Graasser, “Der Hebraerbrief
1938-1963,” TR 30 (1964). Hlm. 160.
[6] P. Wendland, Die urchristlichen Literaturformen (LHB, 1912). Hlm 206-309.
[7] Overbeck, Zur Geschichte des Kanons. (1998). Hlm. 220-223.
[8] F. J. Badcock (The Pauline Epistles and the Epistles to the Hebrews in their
Historical Setting, 1937). Hlm. 199-200.
[9] E. D. Jones ET 46 (1935). Hlm. 565-567.
[10] E. T. Merrill. Essays in Early Christian History. (1924).
Hlm. 217.
[11] Frank Tielman, The Theplogy of the New Testament, (Grand
Rapids Michigan: Zondervan, 2005), hlm 239-240.
[12] Edwin D. Freed, The New Testament, A Critical Introduction,
2nd., (London: SCM Press., LTD, 1991), hlm 248.
[13] Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum
Mas, 2003), 439.
[14] Th. Hearing, “Gedankengang und Grundgedanken des Hebraerbriefs,” ZNTW 18 (1917). Hlm. 145-164.
[15] A. Nairne, The Epistle to the Hebrews, Hlm. lxxiv
[16] J. Moffat, The Epistle to the Hebrews (ICC). Hlm. 444.
[17] F. D. V. Narborough. The Epistle to the Hebrews. Hlm 20-27
[18] T. W. Manson. Op.cit. Hlm. 17.
[19] Paul ellingworth, The Epistle to the Hebrews, (London:
Edworth Press, 1991), hal 1-2.
[20] Frank Thielman, op., Cit. hlm.
589.
[21] Victor C. Pfitzner, Hebrewa (Nashville: Abingdon Press,
1997), hal. 51.
0 Response to "Survei Terhadap Kitab Ibrani"
Posting Komentar