PEMAHAMAN KENABIAN DAN RELEVANSINYA BAGI MASA KINI
Image by: Pixabay
PENDAHULUAN
Istilah
Nabi Dalam Perjanjian Lama
Secara etimologi (asal
kata) nabi belum menghasilkan hasil yang handal. Dulu kata “nabi” dikaitkan
dengan arti “menyemburkan” (kata-kata ekstase), baik Tuhan yang memancarkan
firman-Nya ataupun sang nabi yang memancarkannya seperti sumber mata air.
Dimensi ekstase dalam pengalaman sang nabi ada dalam penafsirannya. Kata Akadia
nabi (“memanggil”) telah memunculkan bentuk penjelasan; nabi dipanggil oleh Tuhan (Kel. 3:1-4, 17;
Yes. 6, Yer. 1:4-19; Yeh. 1-3; Hos. 1:2; Amos 7:14; Yun. 1:1).[1]
Suatu kajian lebih dalam
menemukan istilah nabi berasal dari bahasa Ibrani “navi” yang berarti orang yang mewartakan pesan yang diterimanya
dari Allah. Seorang nabi, terutama dalam Perjanjian Lama, disebut ‘mulut’ YHWH
karena mengumumkan berita kepada manusia apa yang dipesankan oleh YHWH.[2] Istilah “nabi” sering diartikan dengan
“mengangkat”, “menunjuk”, atau “memanggil”.[3] Dengan demikian, secara
etimologis istilah nabi, apabila dipakai dalam bentuk pasif mempunyai
pengertian orang yang dipanggil dan diutus oleh Allah, dengan suatu tugas
tertentu.
Secara teologis, nabi
adalah orang yang berbicara atas nama Allah, dengan demikian istilah nabi dapat
dikatakan sebagai Legatus Divinus, seseorang
yang diutus Allah. Dalam perspektif teologis ini, seseorang menjadi nabi
bukanlah atas kemauan diri sendiri, tetapi karena dipilih olah Allah. Contoh
yang dijelaskan dalam Perjanjian Lama misalnya, Yeremia. Bahwa Yeremia sebelum
lahir dari kandungan, Allah telah menetapkan Yeremia sebagai nabi. Seorang nabi
bukan juga karena warisan, karena dilahirkan dalam keluarga nabi. Panggilan
kenabian adalah inisiatif Allah bukan dari usaha manusia. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa seorang nabi adalah hamba Allah, mengucapkan kata-kata demi
nama Allah, dan hanya memegang perintah atau perkataan yang diterimanya dari
Allah, serta bertanggungjawab penuh kepada Allah.
Dalam Perjanjian Lama sendiri, ada tiga istilah khusus yang penting dalam menyebut nabi. Pertama, adalah “navi” yang diterjemahkan menjadi “prophet” dalam bahasa Inggris, atau “nabi” dalam bahasa Indonesia. Kata ini dipakai hampir tiga ratus kali dalam Perjanjian Lama (hanya dalam bentuk kata bendanya saja).[4] Dua istilah lainnya diterjemahkan menjadi “seer” dalam bahasa Inggris, atau “pelihat” dalam bahasa Indonesia. Dua istilah yang bermakna seer itu yang pertama adalah “ro’eh”, dari kata “melihat” dan yang lain adalah “hozeh”, dari akar kata “hazah”, artinya “melihat”. Ada satu lagi istilah keempat, meskipun yang keempat ini paling sedikit digunakan, yaitu “abdi Allah” (‘ish elohim), artinya cukup jelas ini menunjuk kepada nabi sebagai orang yang telah dipilih dan diutus oleh Allah.[5]
BAB
I
Sejarah
Kenabian Dalam Perjanjian Lama
Para
nabi yang kitabnya terdapat dalam Perjanjian Lama memusatkan perhatian kepada
tiga pusat sejarah, yakni:[6]
Kategori
pertama, mencakup para nabi dari kurun waktu Neo-Asyur, yang perhatiannya jatuh
pada peristiwa-peristiwa yang mengarah ke kondisi-kondisi yang terjadi setelah
kejatuhan Kerajaan Utara (Israel) pada tahun 722 sM. Kumpulan nabi yang menilai
iklim moral dan teologis yang menuju kepada akhir Israel adalah Amos, Hosea,
Mikha, dan Yesaya.
Kategori
kedua, terdiri atas nabi-nabi dari zaman Neo-Babel. Fokus kelompok ini terpusat
pada keadaan-keadaan pada waktu itu dan kondisi-kondisi berikutnya dari
keruntuhan Kerajaan Selatan (Yehuda) pada tahun 596 sM. Nabi-nabi yang berada
dalam kategori kedua ini adalah Zefanya, Yeremia, Habakuk, Nahum, Yehezkiel,
dan Obaja.
Setelah masa pembuangan, selama kurun waktu Persia, kelompok nabi-nabi yang ketiga membangun di atas harapan. Mereka menyatakan peraturan Yahweh yang baru sementara kekerasan Babel beralih kepada keramahan Persia. Ketetapan Raja Koresy (538 sM) menadai permulaan zaman kegairahan harapan bagi umat Allah. Kategori ketiga ini ditempati oleh nabi Daniel, Hagai, Zakharia, Yoel, dam Maleakhi.
Tugas
Nabi Dalam Perjanjian Lama
Tugas dan peranan pokok
besar panggilan kenabian, yang dapat dipelajari dari tradisi kenabian
Perjanjian Lama, yakni: Pertama, adalah
untuk mengingatkan bangsanya, secara khusus Israel, yang melupakan akan
perjanjian (covenant) dengan Allah,
dan melalui inilah seorang nabi menyerukan pertobatan. Kedua, seorang nabi juga menyampaikan ancaman hukuman atau bencana
yang akan terjadi apabila bangsanya tidak bertobat, dan sebaliknya mereka akan
menerima berkat jika bertobat. Ketiga, peran
nabi selain yang telah disebutkan, juga menyampaikan masa depan, memberitakan
warta gembira, serta membangkitkan dalam hati umat, pengharapan akan Allah yang
terjanji, yang akan mendirikan kerajaan baru.[7]
Melalui nabi Musa, akan
diperoleh suatu gambaran yang lebih jelas mengenai peranan dan tugas nabi. Nabi
(nabi) adalah juru bicara bagi Allah dengan panggilan khusus untuk menjadi duta
Allah.[8] Setiap nabi adalah
“seperti Musa” dan sesuai dengan tujuh kriteria yang diberikan dalam penyataan
melalui Musa: (1) orang Israel, (2) dipanggil oleh Tuhan dan (3) dimampukan
oleh Roh Kudus; (4) melayani sebagai juru bicara Allah, (5) otoritasnya adalah berbicara
dalam nama Tuhan; (6) seorang gembala yang baik atas umat Allah; dan (7)
membuktikan beritanya dengan tanda-tanda ajaib.
Sebagai narasumber
tradisi profetis, Musa melihat kemuliaan penyataan diri Allah lebih banyak
daripada semua orang lain dalam Perjanjian Lama (Kel.33:18; 34:29-35). Musa
berbicara dengan otoritas Allah. Meragukan Musa berarti menentang Tuhan. Musa
berdoa bagi Israel, berbicara dengan tegas sebagai pembela di hadapan Tuhan,
dan mendorong mereka untuk melihat melampaui dirinya kepada Yahweh.[9]
Musa bukanlah akhir dari penyataan ilahi, melainkan awal, mata air, dari gerakan profetis. Musa telah memberikan instruksi khusus tentang tugas, peran, dan berita nabi-nabi (nebi’im).[10] Para nabi terdiri atas sekelompok pejabat-pejabat theokrasi yang dipakai Tuhan untuk menuntun komunitas kovenan bersama-sama kaum imam, raja-raja (Ul. 17:14-20), kepemimpinan suku dan lokal. Para nabi, seperti halnya dengan kaum imam dan raja-raja, dipanggil dan dipilih Tuhan untuk melayani sebagai penjaga-penjaga kerajaan-Nya.[11]
Pandangan Teolog Mengenai Nabi
Theophile J. Meek
berpendapat bahwa dalam bernubuat nabi-nabi Israel kehilangan kesadaran dan
hanyut dalam perasaan yang meluap-luap, terutama nabi generasi pertama. Dan
kemampuan untuk keluar dari alam sadar dan hanyut dalam perasaan yang
meluap-luap adalah ciri penting untuk mengakui keaslian seorang nabi.[12]
Gustav Holscher memiliki
keyakinan bahwa hampir semua aspek nubuatan nabi Israel meniru dari bangsa
Kanaan.[13] Israel bukanlah negeri
yang berdiri sendiri pada jamannya, yang bebas dari pengaruh bangsa-bangsa
lain. Melainkan suatu bangsa di antara bangsa-bangsa lain yang saling
mempengaruhi. Jadi, konsep praktik nubuat kenabian Israel tersebut telah
meminjam dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Pendapat Gustav ini, sama dengan apa
yang disampaikan oleh Theodore H. Robinson.[14]
Sebaliknya, J. Lindblom
berkeyakinan bahwa konsep nabi Israel tidak meniru bangsa Kanaan, tetapi yang
lebih tepat adalah melakukan praktik nubuat karena seluruh dunia juga
melakukannya.[15]
Orang Israel juga sama dengan bangsa lain dan melakukan keagamaannya seperti
bangsa lain.
Abraham Hescel, dengan
mengamati ayat-ayat Alkitab lebih mendalam, melihat nabi-nabi Israel sebagai
orang yang unik dan tulisan mereka menempati kelas tersendiri.[16]
Petersen beranggapan bahwa perkataan nabi merefleksikan beragam peran profetis: (1) “pelihat” (ro’eh) – figur publik dan sosial, orang kudus, yang terintegrasi secara penuh ke dalam struktur masyarakt Israel, seperti dalam kasus Samuel;[17] (2) “abdi Allah” (isha-elohim) – orang kudus oyang berjalan berkeliling, yang disekitar sosoknya dikisahkan perbuatan-perbuatan ajaib Allah melalui dia, misalnya Elia dan Elisa;[18] dan (3) “pelihat” (hozeh) dan “nabi” (nabi) – orang-orang yang pelayanannya sesuai dengan konsep “nabi klasik” dengan perhatian terhadap isu-isu moral.[19]
BAB
II
Pandangan Perjanjian Baru Mengenai Nabi
Dalam Perjanjian Baru,
pemahaman mengenai kenabian dapat terlihat dengan jelas melalui surat-surat
yang ditulis oleh Rasul Paulus (1Kor. 12:28-29 dan Ef. 4:11-12). Nabi adalah
seseorang yang diberikan Allah untuk memperlengkapi orang-orang kudus (jemaat)
bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus. Dengan kata lain,
nabi adalah sebuah karunia yang diberikan oleh Allah di dalam orang-orang
kudus-Nya untuk menyampaikan kebenaran. Dalam pemahaman yang diperoleh dalam
Perjanjian Baru tersebut terlihat bahwa penekanannya terdapat dalam fungsinya
bukan pada jabatan.
Maka dengan demikian, pemahaman mengenai nabi dalam Perjanjian Baru sedikit memiliki perbedaan dengan Perjanjian Lama. Nabi dalam Perjanjian Baru telah mendapatkan pesan dari Allah, akan tetapi pesan tersebut memiliki sifat sementara dan hanya berlaku bagi orang-orang yang ada pada zaman tersebut (kontemporer).[20] Sedangkan nabi Perjanjian Lama memiliki pesan yang didapat dari Allah untuk diajarkan kepada umat-Nya dan pesan tersebut juga memiliki sifat nubuatan (apokaliptik). Hal ini sangat terlihat jelas dalam diri nabi Yesaya yang menyampaikan kebenaran kepada umat perjanjian. Pesan yang disampaikan Yesaya tersebut juga memiliki sifat nubuatan, karena mewartakan Mesias yang akan datang.
BAB
III
Relevansi Tugas Kenabian Masa Kini
Pada masa kini jabatan
kenabian sudah tidak ditemukan kembali.[21] Namun, fungsi dari seorang
nabi masih tetap relevan sampai saat ini. Dalam bab yang sudah dipelajari,
sangat terlihat jelas relevansi nabi bagi masa kini.
Setelah Tuhan terangkat
ke sorga, Tuhan sendiri memberikan lima pelayan di jemaat, yakni rasul, nabi,
pemberita Injil, gembala, dan pengajar. Kelima pelayan yang dipakai Tuhan
tersebut bertujuan untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan
pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus. Sehingga orang-orang kudus dapat
mengerti kehendak Allah.
Dengan demikian relevansi
tugas kenabian untuk masa kini dapat ditemukan dalam diri seorang seorang Hamba
Tuhan (pengkhotbah). Fungsi seorang nabi sebagai seorang yang mewartakan pesan
bagi orang kudus sangat berhubungan dengan fungsi seorang Hamba Tuhan yang juga
memberitakan pesan Allah kepada jemaat.
Namun perlu dipahami,
pada masa kini seorang Hamba Tuhan menerima pesan dari Allah yang akan
disampaikan kepada jemaat, bukan berarti Hamba Tuhan tersebut menerima wahyu
lagi (ilham) dari Allah. Akan tetapi, seorang Hamba Tuhan menerima pesan dari
Allah, melalui Alkitab (Firman Allah yang ditulis) yang dipelajarinya.
Melalui peran Roh Kudus yang menerangi (Mengiluminasikan) seorang Hamba Tuhan dalam mempelajari Alkitab (Firman Allah), seorang Hmaba Tuhan akan mengerti pesan yang ingin Allah sampaikan kepada jemaat.
BAB
IV
Kesimpulan
Istilah nabi berasal dari
bahasa Ibrani “navi” yang berarti
orang yang mewartakan pesan yang diterimanya dari Allah.
Para
nabi yang kitabnya terdapat dalam Perjanjian Lama memusatkan perhatian kepada
tiga pusat sejarah, yakni; kurun waktu Neo-Asyur (722 sM), zaman Neo-Babel (596
sM), selama kurun waktu Persia (538 sM).
Tugas dan peranan pokok
besar panggilan kenabian, yang dapat dipelajari dari tradisi kenabian
Perjanjian Lama, yakni: Pertama,
adalah untuk mengingatkan bangsanya, secara khusus Israel, yang melupakan akan
perjanjian (covenant) dengan Allah. Kedua, seorang nabi juga menyampaikan
ancaman hukuman atau bencana yang akan terjadi apabila bangsanya tidak
bertobat. Ketiga, peran nabi
menyampaikan masa depan, memberitakan warta gembira, serta membangkitkan dalam
hati umat, pengharapan akan Allah yang terjanji, yang akan mendirikan kerajaan
baru.
Para teolog memiliki
pemahaman yang berbeda-beda dalam memberikan pandangan mengenai istilah nabi.
Namun, dari semuanya itu dapat disimpulkan bahwa nabi Allah memiliki tugas
untuk mewartakan pesan Allah pada umat-Nya dan bernubuat bagi umat Allah.
Dalam Perjanjian Baru,
jabatan kenabian telah berhenti dan lebih memfokuskan pada fungsi nabi bukan
pada jabatan. Namun, Perjanjian Baru memberikan pemahaman bahwa nabi adalah
jawatan pelayanan yang diberikan oleh Allah untuk memperlengkapi orang-orang
kudus-Nya, bagi pembangunan tubuh Kristus. Dalam Perjanjian Baru ditekankan
bahwa hal itu adalah karunia Allah yang diberikan bagi seseorang.
Meskipun kenabian telah
berhenti, akan tetapi fungsi dari seorang nabi masih tetap relevan hingga masa
kini. Untuk masa kini relevansi tersebut dapat ditemukan dalam diri seorang
Hamba Tuhan yang menyampailkan pesan Allah kepada jemaat melalui Alkitab yang
dipelajarinya.
[1] Willem A. Vangemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi (Surabaya:
Momentum, 2011), 484-485.
[2] Adolf Heuken (Ed), Ensiklopedia Gereja, Jilid IV
(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), 9-10.
[3] Leon J. Wood, The Prophets of Israel, (Malang: Gandum Mas, 2005), 83.
[4] Ibid,
24.
[5] David
L. Petersen, The Roles of Israel’s
Prophets (England: University of Sheffield, 1981), 58.
[6] C. Hassel Bullock, Kitab Nabi-Nabi Perjanjian Lama (Malang:
Gandum Mas, 2009), 14-16.
[7] Laurent Reresi, “Siapakah Sang Nabi Itu?”, dalam Majalah
Rohani, Oktober 1995, 430-433.
[8] Simon B. Paker, “Possession Trance and Prophecy in Preexilic
Israel, “ (VT 28: 1978), 271-85.
[9] Henning Graf Reventlow, “Prophetenant und Mittleramt,” ZTK 58
[1961]: 269-84).
[10] Brueggemann, “Sebagai Nabi Paradigmatik”,
(Prophetic Imagination, 15).
[11] Rolf Rendtorff, “Reflections on the Early History of
Prophecy in Israel”, Journal Theology and Church 4 [1967], 26.
[12] Theophile
J. Meek, Hebrew Origins (New York: Harper, 1960), 55.
[13] Gustav Hölscher Die Propheten
(Leipzig: Hinrichts, 1914), 140.
[14] Theodore
H. Robinson, Prophet. 39-49.
[15] J.
Lindblom, Prophecy in Ancient Israel,
98.
[16] Abraham
J. Heschel, The Prophets (New York:
Harper & Row, 1962), 472-473.
[17] David L. Petersen, The Roles of Israel’s Prophets, JSOTSS
17 (Sheffield: JSOT, 1981), 38-40.
[18] Ibid., 40-50.
[19] Ibid., 51-69.
[20] Prof. Dr. J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2: Perjanjian Baru. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2007), 766.
[21] Bigman Sirait. Gereja Yang Membumi. (Jakarta: Yapama,
2015),4.
0 Response to "PEMAHAMAN KENABIAN DAN RELEVANSINYA BAGI MASA KINI"
Posting Komentar