TEOLOGI PROSES
I. DEFINISI ISTILAH
Mengacu pada Gerald O’Collins et al., Kamus Teologi (1996), Rasis Rachman (2015a) mendefinisikan: Teologi Proses atau filsafat proses, sebagaimana diungkapkan oleh filsuf Alfred North Whitehead (1861-1947), adalah upaya berteologi yang lebih menekankan “menjadi” (Becoming) atau berproses ketimbang “ada” (Being) atau sudah jadi.
Selanjutnya, mengacu pada J. Sudarminta (Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematika Filsafat Alfred North Whitehead, 1991), Rasid Rachman mencatat: dengan membuat sintesis antara realitas dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, ia menghasilkan entitas atau entitas aktual dalam berinteraksi dengan alam semesta. Realitas bersifat dinamis dan berproses, tidak final, sebagaimana putaran dunia – atau kata lain: pengalaman. Pengalaman menandakan perubahan, sifatnya subjektif dank has, atau unik. Perubahan atau selalu berada dalam kondisi berubah, adalah salah satu ciri perspektif atau pemikiran proses ini.
II. LATAR BELAKANG SEJARAH
Teologi Proses merupakan salah satu bagian dari Teologi Kontemporer yang pergerakannya terlihat menonjol pada akhir 1960-an hingga pada awal 1970-an. Akar pemikiran dari Teologi Proses paling lambat sudah terlihat dalam gerakan pemikiran pada abad ke-19, yaitu dalam filsafat Romantik Jerman (Schelling dan Hegel) dan perubahan padangan dunia yang dicanangkan oleh oleh teori evolusi Darwin. Kedua gerakan ini melihat perkembangan (development), proses dan perubahan sebagai realitas yang tidak terbantahkan.
Pemahaman ini dikembangkan oleh filsuf Alferd North Whitehead (1861-1947) dan Charles Hartshorne (1897), pengaruhnya telah terasakan terutama di Amerika Serikat. Dengan demikian nama ”Teologi Proses” berasal dari ajaran inti kedua filsuf ini bahwa realitas adalah proses menjadi sesuatu, bukan objek-objek yang seluruhnya statis. Pemahaman inilah yang juga meliputi pandangan tentang Allah, dan dari itu semua jadilah sebuah teologi yang lengkap yang telah digunakan oleh beberapa teolog untuk memunculkan Teologi Proses.
Pada tahun 1925, Alferd North Whitehead memulai serangkain publikasi yang memuncak dalam Process and Reality (1929). Dalam buku ini Whitehead mengembangkan sebuah sistem metafisika asli berdasarkan peristiwa-peristiwa yang utama. Ide dari peristiwa-peristiwa bergabung dengan yang sebelumnya merupakan ide-ide yang terpisah dalam ruang, waktu, dan materi, sebagaimnana ditunjukkan oleh ilmuan fisika Einstein. Peristiwa-peristiwa ini (Whitehead menyebutnya dengan kejadian-kejadian yang nyata) adalah atom-atom dari kosmos. Setiap atom adalah titik dalam proses, yang terjadi dari masa lalu dan bergabung dengan kemungkinan baru yang pada gilirannya akan menyumbangkan sesuatu di masa depan. Prinsip tertinggi dari proses ini adalah kreativfitas. Ia akan terus membawa hal-hal baru dalam kemajuan kreatif yang memaksimalkan kebaikan.
Pandangan ini dijelaskan lebih panjang lebar dalam dekade berikutnya oleh para teolog dan filsuf. Seperti John Cobb (1925), David R. Griffin (1939), Schubert Ogden (1928), Daniel Day Williem (1910-1973) dan Lewis Ford (1933) di Amerika Serikat dan Norman Pittenger (1905) di Inggris telah menguraikan secara luas pandangan-pandagan ini pada masa-masa berikutnya. Para teolog dan filsuf tersebut memiliki keyakinan bahwa untuk menjawab “Teologi Allah adalah mati”, harus memperlihatkan realitas Allah yang objektif melalui metafisika rasional.
Meskipun seolah memberikan suatu permulaan yang baik, sebab penekanan yang baru ini berusaha untuk menegaskan kembali realitas metafisika Allah dalam dunia yang skeptic ini. Akan tetapi, jangan melupakan bahwa para teolog dan filsuf ini, berusaha melakukannya berdasarkan pengalaman dan hubungan pemikiran yang logis serta filsafat yang ada, bukan berdasarkan penyataan Ilahi yang ajaib sebagai sumber kebenaran tentang Allah. Dan justru karena pendirian mereka yang melawan wahyu khusus sehingga hasil-hasil mereka pun akhirnya harus dinilai sebagai respon yang merupakan kepasrahan dan bukan pernyataan-pernyataan yang alkitabiah.
III. Doktrin (Penalaran) Teologi Proses
Filsafat Yunani melihat gagasan “ada” dan “keabadian” sebagai hal-hal yang terutama, sedangkan gagasan “menjadi” dan “perubahan” sebagai nomer dua dan tidak nyata dibandingkan dengan yang terutama. Hal ini berarti Allah dianggap tidak berubah dan oleh sebab itu tidak berperasaan atau menderita. Allah jauh dari alam “menjadi” dan “perubahan”. Allah mendiami alam semesta yang tidak berubah. Allah di luar waktu, suatu fenomena yang bersifat sekunder dan sementara.
Teologi Proses bersedia menerima ide filsafat Yunani tentang Allah yang kekal, tidak berubah dan tidak penyebab segala sesuatu, tetapi hanya dalam hal keberadaan-Nya yang abstrak. Allah adalah kekal dalam arti bahwa Ia selalu ada, dari dulu, sekarang dan selama-lamanya. Akan tetapi Allah selalu berjalan bersama manusia melintasi waktu. Sebagai gambaran, pada saat ini tahun 1982 adalah masa lampau, dan tahun 2082 adalah masa mendatang bagi Allah. Allah memang tidak berubah dalam hal kasih-Nya yang selalu tetap, tetapi tidak berarti Allah statis dan tidak aktif. Allah adalah penyebab dari segala sesuatu, dalam arti bahwa segala sesuatu mendapat keberadaannya dari Allah dan bergantung pada Allah. Namun Allah tidak bebas dari pengaruhnya ciptaan-Nya. Allah memberikan kebebasan yang sejati walaupun terbatas kepada alam semesta supaya manusia dapat menjadi sebab dan Allah menjadi akibat. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya pandangan “bipolar” tentang Allah, sebagai sebab dan akibat.
Pandangan Teologi Proses mengenai Allah ini sering disebut “panenteisme” atau “teisme neo-klasik”. Allah tidak bebas dari pengaruh dunia (teisme klasik), juga tidak disamakan dengan dengannya (panteisme). Namun Allah mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dunia. Semua yang terjadi, terjadi di dalam Allah. Dunia adalah tubuh Allah. Hubungan antara Allah dan dunia dapat disamakan dengan hubungan otak dengan tubuh. Allah dan dunia bergerak bersama-sama melintasi waktu. Teologi Proses mengutarakan protes alkitabiah yang lancar terhadap teisme klasik dan melihat pesannya sebagai kembali pada pandangan yang lebih alkitabiah tentang Allah. Serangan-serangannya terhadap pokok-pokok pemikiran teisme klasik kebanyakan beralasan. Dan kini perbedaan antara filsafat Yunani dan pandangan alkitabiah mengenai Allah sudah diakui oleh kalangan luas sebagai perbedaan yang tidak dapat dipertemukan. Namun sayang, Teologi Proses terjebak dalam kesalahan yang sama seperti teisme klasik dengan membiarkan titik tolaknya mengubah pengertiannya atas Allah. Berikut ini dua contoh yang dicantumkan sebagai penjelasannya.
Pertama, Teologi Proses menyangkal bahwa Allah mengetahui masa depan. Dengan alasan masa depan itu belum ada. Allah mahatahu – tetapi ini hanya dipahami sebatas Allah tahu semua yang ada dan dapat diketahui. Bukan bahwa Allah juga tahu hal yang belum ada. Ketidaktahuan Allah mengenai masa depan (yang belum ada) tidak mengurangi sifat mahatahu-Nya. Akan tetapi Alkitab dengan jelas menyatakan Allah adalah Allah yang mengetahui masa depan. Di balik ini terletak persoalan hubungan Allah dengan waktu. Jika teisme klasik membuat kesalahan melihat Allah di luar waktu, maka Teologi Proses membuat kesalahan yang berlawanan. Allah dibuat terikat pada waktu, seperti manusia dikuasainya, bergerak melintasi waktu bersama manusia. Jika ingin menganggap serius imanensi dan transendensi Allah, maka harus melihat-Nya baik aktif di dalam waktu maupun juga melampauinya. Sebagai gambarannya, Allah dapat disamakan bukan dengan mobil yang berjalan bersama dengan manusia, juga bukan dengan satelit yang mengikuti manusia dari kejauhan, tetapi dengan helicopter yang bisa berjalan mengikuti jalan tetapi yang terbang di atasnya.
Kedua, Teologi Proses memberi reaksi terhadap pandangan teisme klasik bahwa ciptaan tidak mempengaruhi Allah, dengan membuat Allah tergantung pada pada alam semesta. Sering dikemukakan bahwa Allah membutuhkan alam semesta dan bahwa alam semesta adalah kekal. Namun, Alkitab menyatakan bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta yang secara bebas mengadakan alam semesta dari yang tidak ada. Kalau pandangan Alkitab membuat Allah bereaksi bersama dunia dan dipengaruhi olehnya (seperti dikemukakan Teologi Proses), maka Ia juga Allah yang bebas dari dunia dan tidak bergantung padanya, seperti kesan yang diberikan dalam analogi otak/tubuh.
Teologi Proses adalah pendekatan baru yang segar, yang melihat doktrin alkitabiah tentang Allah dari segi yang baru. Namun, sayang sekali Teologi Proses diberi kesempatan untuk mengendalikan konsep tentang Allah dan menyensor cerita Alkitab, maka akan memutarbalikan doktrin Alkitab sama seperti yang dibuat pandangan filsafat proses.
Hasil Penalaran Teologi Proses
1) Konsepsi Allah Proses secara ontologis
Konsepsi yang dimiliki Teologi Proses mengenai Allah dipengaruhi adanya filsafat metafisika, yaitu Allah yang dimaksudkan adalah apa yang disebut sebagai Objek Kekal/Ideal. Objek kekal ini adalah kemungkinan dari segala sesuatu yang konkret yang bisa terjadi. Keber-Ada-annya bagi Whitehead adalah dari sudah ada sebelumnya. Whitehead tidak percaya Ex Nihil
Creatio. Whitehead tidak menghubungkan padangannya dengan teori ‘Big-Bang’, tetapi meyakini bahwa semesta ini ada karena semesta-¬semesta yang telah ada sebelumnya dan tidak ada hubungannya dengan Allah atau dalam bahasa teknisnya adalah singularitas. Asumsi dasarnya adalah alam semesta ini berasal bukan dari sesuatu yang tidak terbatas tetapi dari sesuatu yang terbatas yang berasal dari zaman sebelumnya, belum beraturan dan memiliki potensi atau kemungkinan-¬kemungkinan dengan tujuan dan arah sendirinya. Jadi dari pandangan teologi proses tentang Allah adalah bahwa Allah merupakan objek-objek kekal yang memiliki potensi kemungkinan¬-kemungkinan yang menggerakan dan mengarahkan. Para teolog proses menolak pandangan creatio ex nihilo, yang berarti penciptaan dari sesuatu yang sama sekali tidak ada. Mereka percaya penciptaan dari sesuatu yang kacau menjadi teratur dan terarah, karena mereka percaya ada zaman semesta yang telah ada dari semesta ini, sehingga bisa menjadi semesta ini.
2) Konsepsi Allah yang berproses atau mengalami proses
Whitehead menjelaskan bahwa Allah memiliki kutub “bipolar” (2 kutub yaitu kutub fisik dan mental), nama lain dari dua kutub tersebut adalah primordial nature dan consequent nature. Kutub fisik adalah kutub yang mengalami perubahan sedangkan kutub mental tidak mengalami perubahan namun keduanya tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lain, bahkan saling berinteraksi. Inilah yang dimaksudkan natur Allah proses yang memiliki dua natur yaitu bipolar. Satu natur merupakan natur yang berinteraksi langsung dengan dunia dan dunia memberikan sumbangsih besar kepada Allah. Namun juga natur itu memberikan sumbangsih kepada dunia, walau lebih bersifat sumbangsih pasif dan tidak dapat memenentukan apapun. Jadi memang Allah dari teologi proses adalah Allah bukanlah Allah yang tidak berubah atau mengalami perubahan terus menerus tetapi Allah yang memiliki kedua natur tersebut di dalam diri¬-Nya.
3) Konsepsi Allah yang tidak berpribadi
Allah yang dimaksudkan di dalam teologi proses adalah “yang banyak itu menjadi satu dan mengalami peningkatan oleh satu itu”. Jadi Allah proses itu sendiri tidak dapat ditunjukkan oleh satu yang Ada. Dalam perkembangannya pandangan ini berkembang karena tidak adanya ikatan istilah yang dapat menggambarkan definisi Allah ini ke dalam bahasa singularitas, maka mulai dari situlah para teolog proses ini menggunakan istilah Allah dan mulai membahasakan filsafat ini ke dalam bahasa agama. Karena jika tidak demikian, konsepsi Allah dalam teologi proses akan sulit dijelaskan dalam kerangka yang mudah, karena tidak adanya singularitas dalam penamaannya. Dalam teologi proses, Allah direduksi hanya menjadi potensi, seperti kasih. Allah memiliki potensi untuk mengasihi, namun tidak mampu bertindak atas keinginannya sendiri untuk mengasihi. Allah dalam teologi proses mendasarkan keinginan dan pilihan-pilihan¬-Nya berdasarkan sumbangsih¬-sumbangsih elemen¬-elemen yang ada di sekitarnya.
4) Konsepsi Allah yang tidak memiliki kekuatan sebagai penentu segala sesuatu secara mandiri
Whitehead menyebut pemikirannya tentang Tuhan sebagai sebuah sistem pemikiran yang mengacu pada ilmu filsafat. Allah yang dirumuskan dan diyakini oleh Whitehead adalah berasal dari entitas-entitas dalam sebuah kejadian yang saling berinteraksi satu dengan yang lain dan menghasilkan yang lain. Kesempatan-¬kesempatan aktual itu sendiri memiliki daya penentu namun tidak sepenuhnya bisa menentukan segalanya, namun entitas-¬entitas aktual itu harus saling mempengaruhi sehingga dapat menentukan kemungkin¬-kemungkinan berikutnya, walaupun di dalam istilah lain Whitehead menggunakan nama lain hasil dari benturan antara aktual entitas itu sebagai Nexus. Jadi Allah dalam teologi proses bukan Allah yang memiliki kekuatan mutlak menentukan arah dan kejadian-¬kejadian menurut keinginan¬-Nya. Bahkan Allah proses adalah Allah yang tidak memiliki keinginan¬-keinginan. Kekuatan kuasa dari Allah proses adalah ikut merasakan dan menanggung rasa sakit akibat-¬akibat dari kejahatan dalam dunia. Bukan meniadakan kejahatan, namun berada menerima dampak¬-dampak dari kejahatan itu sendiri dan bukan mengendalikan atau menaklukkan kejahatan. Karena jika Allah proses adalah Allah yang terlibat dalam pengendalian dari kejahatan maka Allah itu bukan lagi Allah proses karena sudah memiliki kekuatan mandiri penentu kejahatan dan penakluk kejahatan.
IV. TOKOH-TOKOH TEOLOGI PROSES
Jurgen Moltmann
Biografi Jurgen Moltmann
Pada tahun 1926 Jurgen Moltmann lahir di Hamburg. Ketika beranjak dewasa pada tahun 1945 sampai dengan 1948 Moltmann menjadi tawanan perang baik di Belgia maupun Inggris. Setelah mengakhiri studi teologi pada tahun 1952, Moltmann menjadi guru besar pada tahun 1958 di seminari gereja di Wuppertal. Sehingga nama Jurgen Moltmenn menjadi seorang teolog yang mendapat perhatian besar. Kemudian pada tahu 1964, ia menciptakan karya besar yang pertama yaitu, buku Theologie der Haffnung (Teologi Harapan).
Teologi Jurgen Moltmann
A. Teologi Pengharapan
Jurgen Moltmann menulis bukunya yang pertama dengan judul Teologie der Hoffnung. Pada karyanya pertamanya menganut paham teologi pengharapan. Di dalam bukunya tersebut dinyatakan bahwa seluruh dimensi iman Kristiani dilihat berada di masa depan. Tetapi teologi Moltmann tidak 100% sama dengan teologi harapan yang lain-lainnya.
B. Teologi Allah yang disalibkan
Dalam buku Moltmann yang kedua dinyatakan bahwa seluruh teolog memiliki satu konsep penyataan atau wahyu yang dikuasai oleh pengertian Yunani tentang hakikat dan firman. Padahal yang Alkitabiah ialah jika konsep penyataan atau wahyu itu dikuasai oleh firman sebagai janji. Dengan ini Moltmann menyatakan suatu konsep penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman. Dan hal ini menjadi letak perbedaan antara Moltmann dengan Pannenberg, yang mengemukakan bahwa Allah menyatakan atau mengungkapkan diri di dalam akhir sejarah. Begitu juga dengan Bultmann, yang menyatakan bahwa firman yang diberitakan mengungkapkan historisitas eksistensi manusia.
Moltmann juga menguraikan doktrin mengenai Allah dilihat dari perspektif salib. Ini mengakhiri pandangan mengenai Allah yang tak berperasaan dan jauh dari dunia. Allah orang Kristen adalah Allah yang menderita disebabkan kasih-Nya. Selain itu Moltmann setuju bahwa, dalam satu pengertian, Allah takberubah dan tak berperasaan.
Wolfhart Pannenburg
Biografi Wolfhart Pannenberg
Wolfhart Pannenburg lahir pada tahun 1928 di Stettin, Jerman yang sekarang adalah Szczecin yang berada di Polandia. Sesudah perang ia belajar di universitas Berlin dan Gottengen. Selama masa itu ia beralih dari sekularisme ke agama Kristen. Pada tahun 1950 ia belajar teologi di Basel di bawah Karl Barth. Pada tahun berikutnya ia pindah ke Heidelberg. Disana ia termasuk grup mahasiswa yang mengadakan riset dan kemudian dikenal sbagai kelompok Pannenberg.
Ketika terjadi perbedaan pendapat tentang bersifat sejarah tidaknya kebangkitan Yesus Kristus, perselisihan ini merusak kebersamaan mereka dalam hal pendekatan. Setelah itu Pannenburg menjadi dosen ilmu teologi di Heidelberg pada tahu 1955. Ketika ia pindah pada tahun 1958 ia menjadi professor teologi sistematis di sebuah seminari gereja Wuppertal. Kemudian ia menjadi guru besar teologi sistematis di Universitas Mainz pada tahun 1961, kemudian ia pindah ke Universitas Munchen pada tahun 1968.
Teologi Wolfhart Pannenberg
A. Teologi Iman yang berakar dalam sejarah
Pannenburg menandaskan bahwa teologi harus didasarkan atas sejarah dan harus terbuka terhadap penyelidikan ilmu-ilmu pengetahuan lain. Menyatakan peristiwa seperti kebangkitan Kristus hanya terbuka bagi iman adalah suatu tindakan yang menarik Injil dari pasaran ilmu-ilmu pengetahuan umat manusia.
B. Yesus – Allah dan manusia
Pannenberg menyatakan bahwa ada dua cara berbeda dalam mendekati Kristologi, yaitu dokrin mengenai Yesus Kristus. Cara pertama adalah kristologi dari atas, yang mulai dengan Anak Allah yang ilahi dan kemudian bertanya bagaimana dan dengan cara bagaimana ia menjadi manusia. Cara yang kedua adalah Kristologi dari bawah, yang mulai dengan manusia Yesus dari Nazareth dan kemudian bertanya bagaimana dan dengan cara bagaimana Ia adalah Allah. Pannenberg menganggap pendekatan pertama tidak penting. Cara pandang Pennenberg dengan memulai dari bawah, dari Yesus yang historis untuk menudian tiba pada keallahan-Nya . Jika Yesus setelah bangkit dari antara orang mati dan naik kepada Allah, dan jika dengan demikian akhir zaman sudah dimulai, maka pada akhirnya Allah disingkapkan dalam diri Yesus. Kebangkitan-Nya menunjukkan kesatuan Yesus dengan Sang Bapa.
V. KONTRIBUSI TEOLOGI PROSES
1) Teologi Proses mengambil perkembangan-perkembangan untuk menjawab permasalahan mengenai doktirn Allah. Teologi Proses yakin bahwa untuk menjawab teologia ‘Allah adalah mati’, maka harus memperlihatkan realitas Allah yang objektif melalui metafisika rasional. Penekanan yang baru yang didasarkan pada pengalaman, dan hubungan pemikitran yang logis ini berusaha untuk menegaskan kembali realitas metafisika Allah dalam dunia.
2) Teologi proses memberikan pandangan dunia sebagai sebuah organisme sosial, suatu keseluruhan yang saling bergantung dan berhubungan, bertumbuh menuju pencapaian kepuasan melalui jejaring yang saling memengaruhi.
3) Teologi Proses juga dibuat untuk langkah penyelesaian masalah kejahatan. Dalam masalah pendampingan jemaat dalam menghadapi persoalan kejahatan dan penderitaan di dunia, teologi proses memberikan pendekatan yang lebih empatif. Teologi proses memandang bahwa apa yang terjadi ketika kejahatan dan penderitaan hadir di dunia bukan karena berhubungan dengan Tuhan, namun Tuhan memberikan kebebasan kepada ciptaan¬-Nya sendiri untuk bersikap dan bertindak.
4) Teologi Proses mengakui keberadaan Allah yang transenden, teodesi Allah,.
VI. ANALISIS KRITIS
Analisis kritis di sini bertujuan untuk memberikan tanggapan terhadap “Konsepsi Allah-Proses”. Tanggapan yang diberikan bukan hanya berdasarkan perspektif teologi Kristen. Tetapi juga didasarkan pada kerangka berpikir “Konsepsi Allah-Proses” tersebut, yang perlu dikritisi dan dipertimbangkan dengan lebih sistematis.
Pertama, Whitehead berusaha mengenalkan Tuhan untuk menyelesaikan masalah metafisika. Jika semua itu proses dan perubahan, lalu apa yang menyatukan segalanya, apa yang mencegah kemenangan entropi? Dan apa yang mengizinkan perkenalan terhadap hal-¬hal yang baru? Jawabannya adalah Tuhan, siapa yang menetapkan batasan¬-batasan, sebagai contoh antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Jadi Whitehead sendiri memang mengakui perlu adanya konsepsi penentu untuk teologi proses ini sehingga dia memakai konsepsi Allah (plural). Dengan kata lain, Whitehead percaya bahwa adanya entitas aktual yang lebih dominan.
Kedua, selain pengakuan eksplisit itu teologi proses juga dibuat untuk langkah penyelesaian masalah kejahatan. Dalam masalah pendampingan jemaat dalam menghadapi persoalan kejahatan dan penderitaan di dunia, teologi proses memberikan pendekatan yang lebih empatif. Teologi proses memandang bahwa apa yang terjadi ketika kejahatan dan penderitaan hadir di dunia bukan karena berhubungan dengan Tuhan, namun Tuhan memberikan kebebasan kepada ciptaan¬-Nya sendiri untuk bersikap dan bertindak. Bukan karena Allah tidak Mahakuasa, tetapi karena kebaikan kasih-¬Nya. Kemahakuasaan Allah tidak terletak pada kemampuan untuk mencegah akibat dari penderitaan dan kejahatan itu, tetapi dalam kemampuan untuk menanggung segalanya tanpa dihancurkan olehnya, bahkan sebaliknya menjadikannya sarana penyelamatan. J. Sudarminta menghubungkan teologi proses ini dengan teologi salib, dimana keseriusan Inkarnasi atau penjelmaan Tuhan dalam Yesus Kristus berpartisipasi dalam pergumulan hidup manusia dan sebagai wujud kekuatan kasih yang menerima penderitaan. Inilah yang merupakan sisi teodesi dari teologi proses yang memang harus dipertimbangkan.
Ketiga, teologi proses menekankan bahwa Allah adalah Allah yang mengalami perubahan dan terus menerus mendapatkan sumbangsih dari dunia. Jika dikatakan bahwa Allah berubah terus¬-menerus maka Allah dapat dipengaruhi dan Allah tidak lagi menjadi Allah atas alam ini karena dia mampu diubah. Bukan dia lagi yang berkuasa tetapi suatu hal yang berkuasa itulah yang berkuasa atas Allah.
Keempat, walaupun ada sisi teodesi dalam teologi proses, namun memang teologi proses merupakan langkah meneropong yang supra-alamiah di dalam kacamata alamiah. Para teolog proses masih mendasarkan argumentasinya di atas dasar kemungkinan¬-kemungkinan dari teori-teori alam yang mendukung konsepnya. Kemungkinan-¬kemungkinan dalam teologi proses telah dibatasi dalam kerangka alamiah. Pereduksian konsepsi Allah yang hanya dipandang sebagai potensi dan kemungkinan¬-kemungkinan, yang tidak memiliki kuasa mandiri menentukan segalanya. Kemungkinan¬-kemungkinan ini masih dalam kerangka ilmu alam, sehingga Allah dikurung oleh pandangan teologi alam. Konsepsi Allah ini tidak pernah dibebaskan atau diperluas dalam sudut pandang yang lain.
Kelima, konsepsi Allah yang memiliki dua natur merupakan sebuah konsep yang dapat dikatakan sulit dipahami dengan sepenuhnya, karena bagaimanakah mungkin natur kekal itu tidak bisa dipengaruhi oleh natur konsekuen? Sedangkan teologi proses juga membahas mengenai interaksi dunia dan Allah dalam hubungan mempengaruhi. Dalam konsepsi ini pun Whitehead masih menunjukkan adanya misteri yang tidak mampu dijelaskan. Hal ini juga berpengaruh terhadap konsepsi Allah yang merupakan objek¬-objek kekal yang tersimpan sebagai potensi, tentu tidak mampu menjelaskan hubungan antara potensi kepribadian dengan penampakkan kepribadian itu sendiri. Dengan kata lain, teologi proses tidak mampu menjelaskan mengenai sifat-sifat Allah, jika hal itu tidak dapat ditampakkan dalam sisi natur konsekuen. Natur kekal itu harus memiliki kestabilan kepribadian yang terwujud dalam natur konsekuen.
Keenam, kerangka filosofis telah membuat teologi proses menjadi kacamata satu¬-satunya dalam memandang teks biblis. Hal ini tidaklah tepat karena teks biblis memiliki keunikan dan kerangka pikir sendiri yang perlu dilihat dalam cara yang berbeda. Sehingga “kacamata” yang seharusnya dikenakan adalah penelitian literatur, sosial budaya dan konteks zaman.
Selain tanggapan-tanggapan yang telah disusun berdasarkan kerangaka berpikir “Konsepsi Allah-Proses” sendiri, berikut ini juga akan dipaparkan tanggapan-tanggapan dari sisi bibilikanya.
Pertama, jelas mulai dari kitab pertama di Alkitab, bahwa Allah yang menjadi inisiator proses eksistensi alam ini. Allah dominan atas ciptaan¬-Nya. Bukan lagi sebuah perhitungan kemungkinan¬-kemungkinan fisik, namun eksistensi Allah menentukan eksistensi alam. Allah sebagai pelaku dan menjadi pemula sejarah. Allah telah ada tanpa proses dan Allah adalah penentu proses penciptaan. Allah yang memiliki tujuan¬-tujuan dan tindakan-¬tindakan yang berasal dari diri¬-Nya sendiri, tanpa pengaruh dari luar, Allah yang mutlak, mandiri dan self-existent (Rm. 1:18¬ 20).
Kedua, presuposisi iman Kristen adalah Allah pencipta alam semesta, dalam hal ini presuposisi tersebut didukung oleh analisa struktur literal yang terdapat dalam teks Kejadian 1:1 sampai Kejadian 2:1¬3 yang ditulis dalam bentuk chiastic atau chiasmus. Hal ini menunjukkan kesatuan arti bahwa ada dua subjek utama dalam Alkitab yaitu Allah dan manusia, atau ciptaan-Nya. Allah berperan aktif dalam penciptaan dari tidak ada apa¬-apa sampai hari keenam saat Allah menciptakan manusia, dan Allah memberkati hari ketujuh. Argumentasi ini merupakan sebuah penegasan teologi Perjanjian Lama bahwa Allah adalah Pencipta Tunggal yang menciptakan alam semesta beserta segala isinya dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Analisa biblis ini pun harus menjadi sebuah pertimbangan dalam memahami konsepsi Allah dari sudut pandang teks biblis.
Ketiga, pemahaman teologis mengenai natur Allah konsisten dengan penuturan dan pemaparan Alkitab tentang setiap tindakan Allah dalam sejarah dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Contoh yang sederhana, Allah adalah kasih, maka Allah menciptakan makhluk hidup setelah Dia menciptakan tempat hidup bagi makhluk hidup tersebut. Dengan Allah memenuhi kebutuhan penopang hidup para makhluk ini, Allah bertindak konsisten dengan sifat-Nya, yaitu kasih. Dia konsisten dengan sifat¬-Nya yang dinyatakan dalam tindakan¬-Nya. Tindakan Allah bertindak terhadap dosa manusia, bahwa setiap dosa memiliki konsekuensi. Namun, Allah tidak berhenti di sana, Allah konsisten dengan kasih¬-Nya, sehingga Dia memberikan pengharapan dan keselamatan bahkan sebenarnya anugerah penerimaan bagi manusia, melalui tindakan Allah mengenakan baju pada manusia untuk menutupi rasa malu mereka. Bahkan dalam peristiwa lain, Kain yang adalah seorang pembunuh adiknya, Habel, yang harus mengalami konsekuensi dan menjadi pelarian, Kain pun mendapat perlindungan Allah. Jadi Allah dalam teologi Kristen dan fakta biblika yang ada, digambarkan sebagai Allah yang memiliki kepribadian yang aktif, bukan hanya sekadar potensi, namun Dia benar-¬benar Allah yang menyatakan tindakan¬-Nya kongruen dengan sifat¬-Nya.
VII. KESIMPULAN
Teologi Proses merupakan salah satu bagian dari Teologi Kontemporer yang pergerakannya terlihat menonjol pada akhir 1960-an hingga pada awal 1970-an. Teologi Proses atau filsafat proses, dipelopori oleh filsuf Alfred North Whitehead (1861-1947), dan Charles Hartshorne adalah upaya berteologi yang lebih menekankan “menjadi” (Becoming) atau berproses ketimbang “ada” (Being) atau sudah jadi.
Teologi proses merupakan hasil dari pola pikir filsafat proses yang kemudian dikenakan pada dunia teologi, sehingga telah mempengaruhi pandangan dunia teologi Kristen. Teologi proses memandang Allah sebagai entitas aktual, mengalami proses, sifat¬-sifat Allah merupakan potensi dan natur luar mengalami perubahan terus menerus, tidak memiliki kekuatan penentu sendiri namun bergantung pada sumbangsih dunia.
Untuk hal ini, maka teologi proses hanya bisa dipandang sebagai teologi natural yang tidak mampu memberikan pandangan menyeluruh mengenai Allah dalam konteks teologi biblis Kristen, yang memiliki presuposisi yang berbeda. Maka perlu ada respons yang menunjukkan mengenai konsep Allah teologi biblis, khususnya analisa struktur literasi dalam kitab Kejadian dan beberapa gambaran bagaimana sifat Allah sesuai dengan tindakannya, dalam arti tidak mengalami perubahan atau proses.
Rasid Rachman, Teologi Proses: Makalah pada mata kuliah Perkembangan Teoloogi Kontemporer (S3 STT Jakarta, 2005).
J. Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematika Filsafat Alfred North Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1991)
David L Smith. A Handbook Contemporary Theoloy, (Michigan: Baker Book Haose Vompany, 1992) 150.
Jan S. Aritionang, Teologi-Teologi Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 175.
Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekaran, (Jakarta: Kanisius, 2000), 181.
Peter Way Sandy Lane West Litflemore, The Lion Concise Book of Christian Thought, (Oxford: Lion Publishing PLC, 1990),243.
Harvie M. Conn, Contemporary World Theology (New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing Co, 1985), 130.
Delwin Ralph James dan Gene Reeves, Process Philosophy and Christian Thouhgt , 1971
John B. Cobb, Jr. replies that “Whitehead knew nothing of the ‘Big-Bang’ and thought instead of cosmis epochs evolving out of earlier cosmic epochs with no singularitas involved. Process theology followed him” (Edwards, 2000), 88.
Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology (New York: Free Press, 1978), 348.
R. Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy (London: The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1995), 851.
Tony Lane, Runtut Pijar Tokoh dan Pemikiran Kristen Dari Masa Ke Masa, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016), hal. 245
Dr. Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke-20, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 135
J. Sudarminta, Alfred Whitehead: Tuhan Sebagai “The Poet of the world” Sebuah Gambaran Metaforis Tentang Dialektika Hubungan Tuhan dan Dunia (Class Handout, 2018)
Chiasmus dalam hal ini mendapat peran penting dalam studi biblika, hal ini dikarenakan pada zaman Alkitab tidak menggunakan paragraf, tanda baca, huruf besar dan spasi. Chiasmus digunakan untuk mengarahkan pembaca pada tema pusat atau makna dari teks tersebut (Breck, 1991, pp. 6099).
1: 1–2: 3 membentuk bagian pertama dari Kejadian; kedua dimulai dengan 2: 4. 2: 1–3 menggemakan 1: 1 oleh memperkenalkan frasa yang sama tetapi secara terbalik ketertiban: "ia menciptakan," "Tuhan," "surga dan bumi "muncul kembali sebagai" surga dan bumi ”(2: 1)“ Allah ”(2: 2),“ diciptakan ”(2: 3). Ini pola chiastic membuat bagian menjadi rapi tutup yang diperkuat oleh inklusi "Allah menciptakan" menghubungkan 1: 1 dan 2: 3 (Wenham, 1987).
0 Response to "TEOLOGI PROSES"
Posting Komentar